Sudut Pandang Aurel.Mobil anak buahnya melesat menembus malam, lampu jalan menghilang di belakang kami dengan samar.Rangga memelukku erat, ciumannya lembut dan tersebar di pipiku, membawa kelembutan yang membuat dadaku sakit.“Aku terlambat... Maafkan aku,” gumamnya, suaranya rendah hampir pecah.Di matanya, ada begitu banyak cinta, kekhawatiran, kerentanan yang jarang dia tunjukkan kepada siapa pun.Jantungku berdebar, sedikit gemetar tanpa sadar.Aku mengulurkan tangan, jari-jariku mengusap rahangnya.“Tidak apa-apa,” kataku lembut. “Dia tidak benar-benar menyakitiku.”Dia menurunkan pandangannya, mengembuskan napas tak beraturan.“Ini salahku. Aku bersumpah, aku takkan membiarkanmu terluka lagi. Tidak sedikit pun.”Lalu dia menyandarkan kepalanya di bahuku, tubuhnya sedikit gemetar.Aku tertawa kecil, tak percaya.“Lucu... Aku yang terluka, tapi kamulah yang hancur.”Dia tidak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya, mendekapku seolah rasa amanku juga bisa menenangkannya.Para dokt
Read more