Share

Terjerembap dalam Pelarian
Terjerembap dalam Pelarian
Penulis: Man D

Bab 1

Penulis: Man D
Sudut Pandang Aurel.

Malam itu, Rangga berbeda.

Lebih liar.

Lebih keras.

Penguasa absolut kerajaan mafia Marina terus membuatku mencapai klimaks, seolah ingin menguras habis seluruh tenaga yang tersisa dalam diriku.

Udara terasa pekat dengan campuran hasrat, keringat, dan asap Cohiba yang pekat.

Api gairah itu belum benar-benar padam dari kulitku.

Dia membungkuk, napasnya panas dan serak di telingaku.

“Aurel,” gumamnya, suaranya rendah dan parau. “Sarah akan kembali beberapa hari lagi.”

Untuk sekejap, paru-paruku seakan membeku.

Namun keheningan itu hanya berlangsung beberapa detik. Aku memaksakan diriku untuk kembali tenang.

Pria yang memegang kendali dunia bawah, kekuasaannya mutlak.

Secercah keringat samar menempel di dadanya yang berotot, memantulkan cahaya, memancarkan daya tarik yang murni dan primal.

Menggoda, tetapi berbahaya.

Namun, tak lama kemudian, semua itu tak berarti apa-apa bagiku.

Sarah adalah putri dari sopirnya Rangga, pria yang rela tertembak demi Rangga dan meninggal dunia.

Sejak saat itu, Rangga sangat memperhatikannya, karena rasa bersalah, karena rasa berutang budi yang tak akan pernah bisa dibayarnya.

Sarah hanyalah seorang aktris rendah, nyaris tak dikenal selain dari beberapa majalah glamor, tetapi Rangga bersikeras reputasi Sarah tak tersentuh.

Katanya, Sarah tak sanggup menanggung satu skandal pun, bahkan secuil pun.

Jadi setiap kali Sarah kembali ke kota, Rangga akan menceraikanku, sehingga dunia akan melihatnya sebagai pria lajang, dan Sarah sebagai wanita yang tak bersalah.

Dan ketika Sarah pergi, Rangga akan mencari jalan untuk kembali padaku lagi, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Pertama kali dia minta cerai, aku hancur sepenuhnya.

Aku berteriak, menangis, memohon-mohon padanya untuk mencabut kembali gugatan cerai tersebut.

Tetapi dia tidak melakukannya.

Belakangan, aku belajar menerimanya, atau setidaknya berpura-pura menerimanya.

Aku akan melacak keberadaannya, muncul di restoran, hotel, bahkan tempat lelang favoritnya, berpura-pura itu semua hanya kebetulan, hanya untuk cari kesempatan mengucapkan beberapa patah kata padanya.

Dia menertawakanku karena itu.

Dia berkata dengan begitu tenang hingga hampir terdengar seperti fakta, “Aurel, kamu menyedihkan. Kamu tidak bisa hidup tanpaku.”

Aku ingin membencinya karena itu, tetapi dia benar.

Anak buahnya juga mengejekku.

Bagi mereka, aku tak lebih dari wanita yang selalu ditinggalkan dan dipungut kembali oleh Rangga, seorang wanita matre murahan yang putus asa dan tak pernah belajar dari kesalahannya.

Namun kali ini, aku mendorongnya menjauh selagi dia masih di dalamku.

“Baiklah,” kataku. “Kita lanjutkan perceraiannya besok.”

Kakiku masih gemetar, tetapi suaraku dingin dan tegas.

Berkas-berkas perceraian itu sudah aku tanda tangani, lalu aku menyerahkannya padanya. Rangga mengerjap, terkejut dengan ketegasanku.

Lalu, senyum tipis tersungging di sudut mulutnya.

Puas, menyetujui.

“Akhirnya, kamu belajar menjadi baik, Aurel.”

Dia menandatangani namanya dan menyerahkan kembali kertas itu padaku.

“Setelah dia pergi, kita akan menikah lagi. Sebulan lagi, tunggu aku.”

Dia menangkup daguku, mencondongkan tubuh untuk menciumku.

Namun aku memalingkan wajahku.

Biasanya, dalam perannya sebagai bos Keluarga Marina, aku akan memintanya menandatangani perjanjian yang terukir dengan tinta:

[Saya, Rangga Laksamana, akan menikah lagi dengan Aurel pada [tanggal].]

Namun kali ini, aku tidak mengatakan apa pun.

Bagaimana pun juga, di mata Rangga, reputasi Sarah lebih penting dari apa pun.

Setiap permohonan dan penolakan yang kuajukan, hanya bisa dianggap kejam, bahkan tanpa ampun, terhadap putri dari penolongnya.

Tetapi Sarah tidak pernah menyembunyikan permusuhannya terhadapku.

Sifat posesifnya terhadap Rangga selalu terpampang nyata, tepat di hadapanku.

Jika pernikahan hanya sekadar permainan yang bisa dia mainkan atau tinggalkan sesuka hatinya, maka aku tidak akan memainkannya lagi.

Aku melangkah ke ruang ganti dan mengemasi barang-barangku.

Kurang dari 15 menit, aku keluar sambil menyeret koper.

Rangga tampak sedikit terkejut.

“Aurel... mungkin aku bisa menyuruhnya menginap di hotel, jadi kamu tidak perlu pergi?”

“Lupakan saja,” kataku. “Dia lebih penting dariku.”

Aku tidak ingin dia menanggung beban mengecewakan penolongnya.

Aku berbalik hendak pergi, tetapi Rangga menahan pergelangan tanganku.

“Karena kamu sudah belajar untuk menjadi baik, jadilah baik sepenuhnya. Tidak ada lagi pertemuan yang dibuat-buat. Dan jangan ungkit-ungkit urusan kita di media.”

Aku ngaku, aku memang pernah mengamuk, melakukan hal-hal bodoh.

Tetapi pengintaian dan liputan media itu tidak ada hubungannya denganku.

Aku sudah lupa berapa kali paparazzi mengikuti mereka ke bilik-bilik klub malam, kamar hotel, mengambil foto-foto mesra.

Sarah selalu bersandar di bahu Rangga, atau mabuk dalam pelukannya. Tangannya di dada Rangga, berpose begitu menggoda.

Setiap kali terjadi, kisah itu selalu menjadi populer.

Sarah menangis untuk membersihkan namanya, sementara semua kesalahan jatuh padaku—si cewek matre terlantar.

Para penggemarnya melontarkan hinaan paling keji, merundungku tanpa henti.

‘Kepolosannya’ dibangun dengan menginjak-injak reputasiku.

Aku coba melampiaskan kekesalanku pada Rangga, tetapi dia mengabaikanku.

“Siapa peduli apa kata mereka? Kamu sudah mendapatkanku, itu sudah cukup.”

Aku?

Mendapatkannya?

Malam-malam itu, aku menghadapi badai penghinaan sendirian, sementara dia bahkan tak mau repot-repot menjelaskan sepatah kata pun.

Kenangan masa lalu menyengat, membuatku muak.

Aku menepis tangannya dan berbalik ke arah pintu.

“Aurel...” panggil Rangga dari belakang.

Aku berhenti, tetapi tak menoleh ke belakang.

“Tanggal 20 bulan depan. Jangan lupa, itu tanggal kita menikah lagi.”

Aku melambaikan tangan ke belakang dan mendorong pintu hingga terbuka.

Gerbang berat itu terbanting menutup di belakangku.

Tanggal 20?

Ponselku menyala, menampilkan jadwal penerbanganku.

Dan benar saja... keberangkatanku dijadwalkan tanggal 20.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 9

    Sudut Pandang Aurel.Mobil anak buahnya melesat menembus malam, lampu jalan menghilang di belakang kami dengan samar.Rangga memelukku erat, ciumannya lembut dan tersebar di pipiku, membawa kelembutan yang membuat dadaku sakit.“Aku terlambat... Maafkan aku,” gumamnya, suaranya rendah hampir pecah.Di matanya, ada begitu banyak cinta, kekhawatiran, kerentanan yang jarang dia tunjukkan kepada siapa pun.Jantungku berdebar, sedikit gemetar tanpa sadar.Aku mengulurkan tangan, jari-jariku mengusap rahangnya.“Tidak apa-apa,” kataku lembut. “Dia tidak benar-benar menyakitiku.”Dia menurunkan pandangannya, mengembuskan napas tak beraturan.“Ini salahku. Aku bersumpah, aku takkan membiarkanmu terluka lagi. Tidak sedikit pun.”Lalu dia menyandarkan kepalanya di bahuku, tubuhnya sedikit gemetar.Aku tertawa kecil, tak percaya.“Lucu... Aku yang terluka, tapi kamulah yang hancur.”Dia tidak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya, mendekapku seolah rasa amanku juga bisa menenangkannya.Para dokt

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 8

    Sudut Pandang Aurel.“Aurel.” Suaranya kini lirih. “Kamu boleh lakukan apa pun yang kamu mau, bertemu teman-temanmu, bekerja, menghilang sebentar...”“Aku tidak akan menghentikanmu. Asal... jangan tinggalkan aku selamanya.”Ada getaran dalam nadanya yang belum pernah kudengar sebelumnya, sesuatu yang sedikit manusiawi di balik kesombongannya.Keheningan memenuhi mobil.Akhirnya, tubuhku berhenti menegang, dan matanya... perlahan kembali tajam seperti yang kukenal.Dan saat itu, aku menyadari...Dia bisa menghancurkanku jika dia mau, tetapi dia sama sekali tidak melakukannya.Helaan napas keluar sebelum aku menyerah meronta.“Bagaimana kamu tahu aku kabur?”Dia melirik ponsel di sampingnya dan tersenyum tipis.“Ada pelacak di dalamnya.”Kemarahan melandaku. Aku mengangkat ponsel itu, siap menghancurkannya. Tetapi dia hanya menatapku dalam diam.Setelah beberapa saat, dia berbicara dengan suara rendah, hampir penuh penyesalan, “Baru sekarang aku benar-benar mengerti betapa salahnya aku.

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 7

    Sudut Pandang Aurel.Saat aku terbangun, dunia terasa hening dan mencekam.Kepalaku terasa berat, pikiranku melayang tak tentu arah.Bayangan terakhir di benakku adalah Rangga mencondongkan tubuh ke arahku, menempelkan sapu tangan ke wajahku, aroma kimia yang samar menempel di kulitku sebelum semuanya menjadi gelap.Ruangan di sekelilingku terasa asing.Terlalu mewah, terlalu sempurna untuk menjadi milikku.Tirai berwarna krem bergoyang lembut tertiup angin, menyapu furnitur mahoni yang berkilau di bawah cahaya lembut yang sudah diatur.Setiap detail berbisik tentang kendali, tentang dirinya.Jari-jariku ragu-ragu di kenop pintu, setengah berharap pintu itu terkunci. Ternyata tidak.Pintunya terbuka dengan mudah, dan aku melangkah keluar.Rangga sedang menungguku.Duduk di sofa di lantai bawah seolah-olah ini adalah hari yang biasa saja.Saat dia mendongak, sesuatu yang tak terbaca melintas di wajahnya.Lalu dia tersenyum dan berjalan mendekat, menundukkan kepalanya untuk mengecup keni

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 6

    Sudut Pandang Aurel.Aku menutup diri, menjalani hari-hariku dalam kesendirian yang sunyi.Tempat ini tidak jauh dari wilayah kekuasaan Rangga, tetapi dalam wilayah kekuasaan Keluarga Erlangga, rival terkejamnya.Dia tidak akan dapat menemukanku dengan mudah di sini.Meninggalkan Rangga dan Sarah terasa seperti menghilangkan bebanku.Aku tidak perlu lagi bangun setiap pagi dengan memikirkan orang-orang menjijikkan itu dan hal-hal yang telah mereka lakukan.Sedikit rasa penyesalan masih terasa, mengapa aku tidak melakukan ini lebih awal?Aku sudah membuang nomor lamaku, membeli yang baru dengan nama palsu, dan hanya menghubungi Mawar.“Aurel... kamu tidak mengerti. Rangga sampai gila nyari kamu,” katanya hati-hati.“Beberapa anak buahnya diganti karena mengecewakannya... dan Sarah? Dia dikirim ke luar negeri.”“Emosinya berbahaya akhir-akhir ini, tak seorang pun berani berbuat salah.”Senyum tipis yang nyaris tak terlihat tersungging di wajahku.“Dia berpegang teguh pada cinta yang hany

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 5

    Sudut pandang Rangga.Suara di ujung sana terdengar begitu tajam hingga menembus udara.“Selamat tinggal, mantanku.”Lalu... hening. Nada panggilan terputus terdengar di telingaku.Aku mencoba menelepon lagi, tetapi sambungannya mati.Mantanku...Kotak cincin itu tercengkeram di telapak tanganku, aku menunduk dan melihat bekas cekungan samar yang ditinggalkannya di kulitku.Di dalamnya, berlian merah muda itu berkilauan, tanpa cacat, langka, lebih besar dari yang dikenakan Sarah.Aku membelinya dari seorang kolektor pribadi, dan membayangkan memakaikannya di jari Aurel sendiri, menandai awal yang baru.Dan sekarang... dia memanggilku mantannya.Dia bersungguh-sungguh.Aku bukan lagi siapa-siapa baginya.Aku menatap Mawar, sensasi panas berkobar di belakang mataku.“Di mana dia?” Suaraku rendah, tetapi berbahaya, jenis suara yang muncul sebelum sesuatu pecah.Aku mengulurkan tanganku pada Mawar, lalu berhenti, jari-jariku mengepal sebelum terkulai ke samping.Mawar mundur, matanya terbe

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 4

    Sudut Pandang Aurel.Rangga terus meneleponku selama berhari-hari sejak ajakan makan malam itu.Setiap kali namanya muncul di layar, aku teringat bisikan Sarah yang lembut dan menggoda malam itu, kubiarkan telepon terus berdering sampai berhenti.Lalu muncul sebuah pesan.Rangga: [Aurel, kumohon. Keluarlah, aku hanya ingin bertemu denganmu.]Aku: [Maaf. Aku sudah selesai menjadi ‘cadangan’ bagi seseorang.]Dulu, betapa pun marahnya aku, saat dia mengulurkan tangannya, meski hanya sedikit, aku akan menghapus air mataku, memaksakan senyum, dan langsung berlari ke pelukannya.Namun keadaan berubah ketika Sarah kembali.Semakin sering Sarah muncul, semakin Rangga kehilangan kesabaran terhadapku, terhadap hubungan kami.Dia berhenti menjadi orang yang berusaha. Akulah yang selalu meminta maaf, selalu meminta untuk tetap bertahan.Kalau dipikir-pikir lagi, aku hampir tidak tahan lagi dengan diriku yang dulu.Yang aku inginkan kali ini hanyalah makan malam terakhir pada tanggal 19, malam sebe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status