LOGINBercerai dan menikah lagi, aku sudah lupa berapa kali aku dan Rangga rujuk dalam pernikahan. Dia pernah memperlakukanku seperti sesuatu yang berharga, tetapi kurang dari setahun setelah pernikahan kami, dia mengajukan perceraian pertama kami. Alasannya sederhana, Sarah akan kembali. “Sarah itu seorang tokoh publik,” katanya padaku. “Aku tak ingin ada yang mengira dia terlibat dengan pria beristri.” Selebritas tingkat rendah itu tidak punya apa pun kecuali pengorbanan ayahnya. Ayahnya dulu rela mati demi Rangga, halangi peluru demi dia, nyawa ganti nyawa. Dan karena itu, Rangga merasa berutang segalanya padanya. Setiap kali Sarah kembali ke negara ini, Rangga menceraikanku. Dan setiap kali Sarah pergi, kami menikah lagi. Pertama kali kami berpisah, aku menenggelamkan air mataku dalam wiski dan terhuyung-huyung kembali ke rumahnya dalam keadaan setengah mabuk. Lampu di dalam terasa hangat, Rangga bersamanya. Sementara aku berdiri di luar, menggigil sepanjang malam. Kali kedua, aku mengikuti setiap gerak-geriknya—restoran, lelang, acara amal—hanya untuk ‘tak sengaja’ ketemu dengannya lagi. Kemudian, aku belajar lebih baik. Saat dia menyebut kata cerai, aku akan diam-diam mengepak koperku dan menghilang dari rumahnya. Cinta dan penghinaan telah membuatku terjebak dalam siklus putus-nyambung dengannya yang tiada habisnya. Namun kali ini, ketika Rangga menungguku di Kantor Catatan Sipil untuk menikah lagi, aku tak pernah muncul...
View MoreSudut Pandang Aurel.Mobil anak buahnya melesat menembus malam, lampu jalan menghilang di belakang kami dengan samar.Rangga memelukku erat, ciumannya lembut dan tersebar di pipiku, membawa kelembutan yang membuat dadaku sakit.“Aku terlambat... Maafkan aku,” gumamnya, suaranya rendah hampir pecah.Di matanya, ada begitu banyak cinta, kekhawatiran, kerentanan yang jarang dia tunjukkan kepada siapa pun.Jantungku berdebar, sedikit gemetar tanpa sadar.Aku mengulurkan tangan, jari-jariku mengusap rahangnya.“Tidak apa-apa,” kataku lembut. “Dia tidak benar-benar menyakitiku.”Dia menurunkan pandangannya, mengembuskan napas tak beraturan.“Ini salahku. Aku bersumpah, aku takkan membiarkanmu terluka lagi. Tidak sedikit pun.”Lalu dia menyandarkan kepalanya di bahuku, tubuhnya sedikit gemetar.Aku tertawa kecil, tak percaya.“Lucu... Aku yang terluka, tapi kamulah yang hancur.”Dia tidak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya, mendekapku seolah rasa amanku juga bisa menenangkannya.Para dokt
Sudut Pandang Aurel.“Aurel.” Suaranya kini lirih. “Kamu boleh lakukan apa pun yang kamu mau, bertemu teman-temanmu, bekerja, menghilang sebentar...”“Aku tidak akan menghentikanmu. Asal... jangan tinggalkan aku selamanya.”Ada getaran dalam nadanya yang belum pernah kudengar sebelumnya, sesuatu yang sedikit manusiawi di balik kesombongannya.Keheningan memenuhi mobil.Akhirnya, tubuhku berhenti menegang, dan matanya... perlahan kembali tajam seperti yang kukenal.Dan saat itu, aku menyadari...Dia bisa menghancurkanku jika dia mau, tetapi dia sama sekali tidak melakukannya.Helaan napas keluar sebelum aku menyerah meronta.“Bagaimana kamu tahu aku kabur?”Dia melirik ponsel di sampingnya dan tersenyum tipis.“Ada pelacak di dalamnya.”Kemarahan melandaku. Aku mengangkat ponsel itu, siap menghancurkannya. Tetapi dia hanya menatapku dalam diam.Setelah beberapa saat, dia berbicara dengan suara rendah, hampir penuh penyesalan, “Baru sekarang aku benar-benar mengerti betapa salahnya aku.
Sudut Pandang Aurel.Saat aku terbangun, dunia terasa hening dan mencekam.Kepalaku terasa berat, pikiranku melayang tak tentu arah.Bayangan terakhir di benakku adalah Rangga mencondongkan tubuh ke arahku, menempelkan sapu tangan ke wajahku, aroma kimia yang samar menempel di kulitku sebelum semuanya menjadi gelap.Ruangan di sekelilingku terasa asing.Terlalu mewah, terlalu sempurna untuk menjadi milikku.Tirai berwarna krem bergoyang lembut tertiup angin, menyapu furnitur mahoni yang berkilau di bawah cahaya lembut yang sudah diatur.Setiap detail berbisik tentang kendali, tentang dirinya.Jari-jariku ragu-ragu di kenop pintu, setengah berharap pintu itu terkunci. Ternyata tidak.Pintunya terbuka dengan mudah, dan aku melangkah keluar.Rangga sedang menungguku.Duduk di sofa di lantai bawah seolah-olah ini adalah hari yang biasa saja.Saat dia mendongak, sesuatu yang tak terbaca melintas di wajahnya.Lalu dia tersenyum dan berjalan mendekat, menundukkan kepalanya untuk mengecup keni
Sudut Pandang Aurel.Aku menutup diri, menjalani hari-hariku dalam kesendirian yang sunyi.Tempat ini tidak jauh dari wilayah kekuasaan Rangga, tetapi dalam wilayah kekuasaan Keluarga Erlangga, rival terkejamnya.Dia tidak akan dapat menemukanku dengan mudah di sini.Meninggalkan Rangga dan Sarah terasa seperti menghilangkan bebanku.Aku tidak perlu lagi bangun setiap pagi dengan memikirkan orang-orang menjijikkan itu dan hal-hal yang telah mereka lakukan.Sedikit rasa penyesalan masih terasa, mengapa aku tidak melakukan ini lebih awal?Aku sudah membuang nomor lamaku, membeli yang baru dengan nama palsu, dan hanya menghubungi Mawar.“Aurel... kamu tidak mengerti. Rangga sampai gila nyari kamu,” katanya hati-hati.“Beberapa anak buahnya diganti karena mengecewakannya... dan Sarah? Dia dikirim ke luar negeri.”“Emosinya berbahaya akhir-akhir ini, tak seorang pun berani berbuat salah.”Senyum tipis yang nyaris tak terlihat tersungging di wajahku.“Dia berpegang teguh pada cinta yang hany
Sudut pandang Rangga.Suara di ujung sana terdengar begitu tajam hingga menembus udara.“Selamat tinggal, mantanku.”Lalu... hening. Nada panggilan terputus terdengar di telingaku.Aku mencoba menelepon lagi, tetapi sambungannya mati.Mantanku...Kotak cincin itu tercengkeram di telapak tanganku, aku menunduk dan melihat bekas cekungan samar yang ditinggalkannya di kulitku.Di dalamnya, berlian merah muda itu berkilauan, tanpa cacat, langka, lebih besar dari yang dikenakan Sarah.Aku membelinya dari seorang kolektor pribadi, dan membayangkan memakaikannya di jari Aurel sendiri, menandai awal yang baru.Dan sekarang... dia memanggilku mantannya.Dia bersungguh-sungguh.Aku bukan lagi siapa-siapa baginya.Aku menatap Mawar, sensasi panas berkobar di belakang mataku.“Di mana dia?” Suaraku rendah, tetapi berbahaya, jenis suara yang muncul sebelum sesuatu pecah.Aku mengulurkan tanganku pada Mawar, lalu berhenti, jari-jariku mengepal sebelum terkulai ke samping.Mawar mundur, matanya terbe
Sudut Pandang Aurel.Rangga terus meneleponku selama berhari-hari sejak ajakan makan malam itu.Setiap kali namanya muncul di layar, aku teringat bisikan Sarah yang lembut dan menggoda malam itu, kubiarkan telepon terus berdering sampai berhenti.Lalu muncul sebuah pesan.Rangga: [Aurel, kumohon. Keluarlah, aku hanya ingin bertemu denganmu.]Aku: [Maaf. Aku sudah selesai menjadi ‘cadangan’ bagi seseorang.]Dulu, betapa pun marahnya aku, saat dia mengulurkan tangannya, meski hanya sedikit, aku akan menghapus air mataku, memaksakan senyum, dan langsung berlari ke pelukannya.Namun keadaan berubah ketika Sarah kembali.Semakin sering Sarah muncul, semakin Rangga kehilangan kesabaran terhadapku, terhadap hubungan kami.Dia berhenti menjadi orang yang berusaha. Akulah yang selalu meminta maaf, selalu meminta untuk tetap bertahan.Kalau dipikir-pikir lagi, aku hampir tidak tahan lagi dengan diriku yang dulu.Yang aku inginkan kali ini hanyalah makan malam terakhir pada tanggal 19, malam sebe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments