Share

Bab 3

Author: Man D
Sudut Pandang Aurel.

Akhir-akhir ini, aku makan, minum, dan bermain tanpa beban.

Aku tak lagi mengkhawatirkan rutinitas harian Rangga atau harus berhati-hati di sekitar urusannya.

Hidup terasa ringan, hampir begitu bebas dan tanpa beban.

Teman-teman sesekali mengirimiku kabar terbaru tentang Sarah, tetapi aku hanya tersenyum dan membiarkannya berlalu begitu saja.

Dulu, aku akan melacak setiap unggahan media sosialnya, menelusuri setiap foto, mencari jejak sekecil apa pun tentang dirinya dan Rangga.

Aku kemudian akan merancang ‘pertemuan tak sengaja’, berharap dia menyadari betapa pedulinya aku.

Tetapi sekarang, semua itu tampak sama sekali tidak berarti.

Pesan-pesan dari teman-temanku hanya sekilas kulihat dan segera kulupakan.

Aku hampir menghapus keberadaan mereka dari pikiranku.

Jauh di lubuk hatiku, aku benar-benar tak peduli lagi.

Beberapa hari lagi, aku akan meninggalkan kota ini sepenuhnya.

Memikirkannya saja membuat dadaku terasa ringan, tak terbebani.

Jadi ketika Rangga menelepon, sesuatu yang jarang terjadi akhir-akhir ini, aku menjawab dengan suara riang.

“Aurel?” Ada nada terkejut dalam suaranya. “Kamu... kedengarannya sedang bahagia.”

Aku memiringkan kepalaku. “Apa itu masalah?”

“Dulu kamu selalu menangis setelah meninggalkanku... meneleponku dua atau tiga puluh kali sehari...”

Aku tertawa ironis. “Ya, kamu tahu... begitulah aku yang dulu.”

Ada jeda sejenak, lalu dia berkata, “Sudah lama sejak terakhir kali aku bertemu denganmu. Aku sudah memesan Restoran Celestia untuk tanggal 19.”

“Aku tidak mau pergi,” potongku tajam dan tegas.

Namun hari ini, dia tampak sangat sabar.

“Aurel.” Suaranya melembut, hampir memohon, “Tanggal 19 adalah hari jadi kita. Makan malam denganku, ya.”

“Hari jadi?” kataku dengan enteng. “Aku sudah menikah dan bercerai berkali-kali, sampai-sampai aku lupa hari apa itu.”

Ada jeda di telepon.

“Perceraian... itu salahku.” Nada suaranya menurun dan semakin dalam.

“Kamu tahu... Sarah itu tokoh publik. Aku tidak bisa pertaruhkan reputasinya.”

Jadi, aku selalu diharapkan menanggung semuanya?

Menjadi orang yang sial.

Menjadi sasaran kemarahan penggemarnya di dunia maya setiap kali dia mengadakan konferensi pers.

Kenangan itu menusukku bagai jarum kecil, tajam dan terus-menerus.

Suaraku berubah dingin.

“Kamu nggak perlu jelasin semua ini. Aku nggak mau makan malam.”

Aku tak ingin melihatnya.

“Tunggu...” Nada suaranya berubah mendesak. “Apa kamu tidak ingat? Lima tahun yang lalu, di Restoran Celestia adalah pertama kalinya kita bertemu...”

Jari-jariku sedikit gemetar.

Lima tahun lalu, aku merayakan ulang tahun seorang teman di Celestia.

Satu dorongan dari temanku membuatku terjerembab ke pelukan seorang pria di meja sebelah.

Pada saat itu, tatapannya tajam bagai pisau, hawa panas yang berbahaya menyelimutiku.

Namun dengan cepat, suatu kelembutan yang hampir tak terasa meredakan ketegangan.

Saat itu, Rangga baru saja memegang kendali kerajaan mafianya, seluruh otot tubuhnya menegang. Setiap gerakannya penuh perhitungan, siap menghadapi ancaman apa pun yang mungkin datang.

Dan di sanalah aku, pisau kue plastik bergetar di tanganku, menekan tanpa sengaja di dadanya.

Bingung, pipiku memerah.

Aku bergegas menyeka krim dari setelan jasnya, berulang kali meminta maaf.

Dan di tengah kekacauanku yang tak sengaja, sebuah senyum tipis sekilas tersungging di sudut mulutnya, senyum yang hampir tak kusadari.

Momen penuh kelembutan itu terukir jelas dalam ingatanku.

Dan kemudian, aku membiarkan diriku jatuh cinta padanya.

“Aurel... berjanjilah padaku, ya? Aku ingin bertemu denganmu.”

Suara Rangga menarikku kembali ke masa kini, sebuah getaran hangat bergejolak di dadaku.

Waktu berlalu begitu cepat. Lima tahun... Aku sudah mencintainya selama itu.

Baiklah. Biarkan semuanya kembali ke titik awalnya.

Di mana sesuatu bermula, di situ pula seharusnya berakhir.

Aku berbisik, “Baiklah. Sampai jumpa nanti.”

Sebelum aku sempat menutup telepon, sebuah suara lembut dan gemetar terdengar dari ujung telepon.

“Rangga... Aku sedang tidak enak badan...”

“Rangga... jangan...”

Lalu, terdengar nada genit tersirat.

Jijik, kulempar ponsel itu ke samping.

Bagaimana mungkin dia... terjerat dengan wanita di satu waktu, lalu berkata ingin bertemu denganku di waktu berikutnya?

Lalu, sebuah berita muncul di layarku.

Sarah, mabuk di bar, digendong Rangga ke hotel.

Aku tertawa, meski ada rasa sakit yang menusuk di dadaku.

Kupikir aku takkan pernah merasakan sakit lagi untuknya...

Lupakan saja.

Biarkan Restoran Celestia menjadi akhir cerita kami.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 9

    Sudut Pandang Aurel.Mobil anak buahnya melesat menembus malam, lampu jalan menghilang di belakang kami dengan samar.Rangga memelukku erat, ciumannya lembut dan tersebar di pipiku, membawa kelembutan yang membuat dadaku sakit.“Aku terlambat... Maafkan aku,” gumamnya, suaranya rendah hampir pecah.Di matanya, ada begitu banyak cinta, kekhawatiran, kerentanan yang jarang dia tunjukkan kepada siapa pun.Jantungku berdebar, sedikit gemetar tanpa sadar.Aku mengulurkan tangan, jari-jariku mengusap rahangnya.“Tidak apa-apa,” kataku lembut. “Dia tidak benar-benar menyakitiku.”Dia menurunkan pandangannya, mengembuskan napas tak beraturan.“Ini salahku. Aku bersumpah, aku takkan membiarkanmu terluka lagi. Tidak sedikit pun.”Lalu dia menyandarkan kepalanya di bahuku, tubuhnya sedikit gemetar.Aku tertawa kecil, tak percaya.“Lucu... Aku yang terluka, tapi kamulah yang hancur.”Dia tidak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya, mendekapku seolah rasa amanku juga bisa menenangkannya.Para dokt

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 8

    Sudut Pandang Aurel.“Aurel.” Suaranya kini lirih. “Kamu boleh lakukan apa pun yang kamu mau, bertemu teman-temanmu, bekerja, menghilang sebentar...”“Aku tidak akan menghentikanmu. Asal... jangan tinggalkan aku selamanya.”Ada getaran dalam nadanya yang belum pernah kudengar sebelumnya, sesuatu yang sedikit manusiawi di balik kesombongannya.Keheningan memenuhi mobil.Akhirnya, tubuhku berhenti menegang, dan matanya... perlahan kembali tajam seperti yang kukenal.Dan saat itu, aku menyadari...Dia bisa menghancurkanku jika dia mau, tetapi dia sama sekali tidak melakukannya.Helaan napas keluar sebelum aku menyerah meronta.“Bagaimana kamu tahu aku kabur?”Dia melirik ponsel di sampingnya dan tersenyum tipis.“Ada pelacak di dalamnya.”Kemarahan melandaku. Aku mengangkat ponsel itu, siap menghancurkannya. Tetapi dia hanya menatapku dalam diam.Setelah beberapa saat, dia berbicara dengan suara rendah, hampir penuh penyesalan, “Baru sekarang aku benar-benar mengerti betapa salahnya aku.

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 7

    Sudut Pandang Aurel.Saat aku terbangun, dunia terasa hening dan mencekam.Kepalaku terasa berat, pikiranku melayang tak tentu arah.Bayangan terakhir di benakku adalah Rangga mencondongkan tubuh ke arahku, menempelkan sapu tangan ke wajahku, aroma kimia yang samar menempel di kulitku sebelum semuanya menjadi gelap.Ruangan di sekelilingku terasa asing.Terlalu mewah, terlalu sempurna untuk menjadi milikku.Tirai berwarna krem bergoyang lembut tertiup angin, menyapu furnitur mahoni yang berkilau di bawah cahaya lembut yang sudah diatur.Setiap detail berbisik tentang kendali, tentang dirinya.Jari-jariku ragu-ragu di kenop pintu, setengah berharap pintu itu terkunci. Ternyata tidak.Pintunya terbuka dengan mudah, dan aku melangkah keluar.Rangga sedang menungguku.Duduk di sofa di lantai bawah seolah-olah ini adalah hari yang biasa saja.Saat dia mendongak, sesuatu yang tak terbaca melintas di wajahnya.Lalu dia tersenyum dan berjalan mendekat, menundukkan kepalanya untuk mengecup keni

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 6

    Sudut Pandang Aurel.Aku menutup diri, menjalani hari-hariku dalam kesendirian yang sunyi.Tempat ini tidak jauh dari wilayah kekuasaan Rangga, tetapi dalam wilayah kekuasaan Keluarga Erlangga, rival terkejamnya.Dia tidak akan dapat menemukanku dengan mudah di sini.Meninggalkan Rangga dan Sarah terasa seperti menghilangkan bebanku.Aku tidak perlu lagi bangun setiap pagi dengan memikirkan orang-orang menjijikkan itu dan hal-hal yang telah mereka lakukan.Sedikit rasa penyesalan masih terasa, mengapa aku tidak melakukan ini lebih awal?Aku sudah membuang nomor lamaku, membeli yang baru dengan nama palsu, dan hanya menghubungi Mawar.“Aurel... kamu tidak mengerti. Rangga sampai gila nyari kamu,” katanya hati-hati.“Beberapa anak buahnya diganti karena mengecewakannya... dan Sarah? Dia dikirim ke luar negeri.”“Emosinya berbahaya akhir-akhir ini, tak seorang pun berani berbuat salah.”Senyum tipis yang nyaris tak terlihat tersungging di wajahku.“Dia berpegang teguh pada cinta yang hany

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 5

    Sudut pandang Rangga.Suara di ujung sana terdengar begitu tajam hingga menembus udara.“Selamat tinggal, mantanku.”Lalu... hening. Nada panggilan terputus terdengar di telingaku.Aku mencoba menelepon lagi, tetapi sambungannya mati.Mantanku...Kotak cincin itu tercengkeram di telapak tanganku, aku menunduk dan melihat bekas cekungan samar yang ditinggalkannya di kulitku.Di dalamnya, berlian merah muda itu berkilauan, tanpa cacat, langka, lebih besar dari yang dikenakan Sarah.Aku membelinya dari seorang kolektor pribadi, dan membayangkan memakaikannya di jari Aurel sendiri, menandai awal yang baru.Dan sekarang... dia memanggilku mantannya.Dia bersungguh-sungguh.Aku bukan lagi siapa-siapa baginya.Aku menatap Mawar, sensasi panas berkobar di belakang mataku.“Di mana dia?” Suaraku rendah, tetapi berbahaya, jenis suara yang muncul sebelum sesuatu pecah.Aku mengulurkan tanganku pada Mawar, lalu berhenti, jari-jariku mengepal sebelum terkulai ke samping.Mawar mundur, matanya terbe

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 4

    Sudut Pandang Aurel.Rangga terus meneleponku selama berhari-hari sejak ajakan makan malam itu.Setiap kali namanya muncul di layar, aku teringat bisikan Sarah yang lembut dan menggoda malam itu, kubiarkan telepon terus berdering sampai berhenti.Lalu muncul sebuah pesan.Rangga: [Aurel, kumohon. Keluarlah, aku hanya ingin bertemu denganmu.]Aku: [Maaf. Aku sudah selesai menjadi ‘cadangan’ bagi seseorang.]Dulu, betapa pun marahnya aku, saat dia mengulurkan tangannya, meski hanya sedikit, aku akan menghapus air mataku, memaksakan senyum, dan langsung berlari ke pelukannya.Namun keadaan berubah ketika Sarah kembali.Semakin sering Sarah muncul, semakin Rangga kehilangan kesabaran terhadapku, terhadap hubungan kami.Dia berhenti menjadi orang yang berusaha. Akulah yang selalu meminta maaf, selalu meminta untuk tetap bertahan.Kalau dipikir-pikir lagi, aku hampir tidak tahan lagi dengan diriku yang dulu.Yang aku inginkan kali ini hanyalah makan malam terakhir pada tanggal 19, malam sebe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status