Share

Bab 4

Author: Man D
Sudut Pandang Aurel.

Rangga terus meneleponku selama berhari-hari sejak ajakan makan malam itu.

Setiap kali namanya muncul di layar, aku teringat bisikan Sarah yang lembut dan menggoda malam itu, kubiarkan telepon terus berdering sampai berhenti.

Lalu muncul sebuah pesan.

Rangga: [Aurel, kumohon. Keluarlah, aku hanya ingin bertemu denganmu.]

Aku: [Maaf. Aku sudah selesai menjadi ‘cadangan’ bagi seseorang.]

Dulu, betapa pun marahnya aku, saat dia mengulurkan tangannya, meski hanya sedikit, aku akan menghapus air mataku, memaksakan senyum, dan langsung berlari ke pelukannya.

Namun keadaan berubah ketika Sarah kembali.

Semakin sering Sarah muncul, semakin Rangga kehilangan kesabaran terhadapku, terhadap hubungan kami.

Dia berhenti menjadi orang yang berusaha. Akulah yang selalu meminta maaf, selalu meminta untuk tetap bertahan.

Kalau dipikir-pikir lagi, aku hampir tidak tahan lagi dengan diriku yang dulu.

Yang aku inginkan kali ini hanyalah makan malam terakhir pada tanggal 19, malam sebelum aku pergi, sebagai yang terakhir kali.

Sore itu, aku mencatok rambutku dengan gaya gelombang lembut yang sama seperti penampilanku lima tahun lalu. Helaian rambut cokelatku jatuh di bahuku seperti air terjun sutra.

Mawar menelepon tepat saat aku sedang menyelesaikan riasanku.

“Halo, coba tebak? Kudengar Sarah dan Rangga bertengkar tadi malam.” Suaranya penuh dengan kegembiraan.

“Benarkah?” Aku mengernyitkan alis, membetulkan lipstikku. “Itu jarang terjadi. Kupikir Rangga membangun dunianya di sekitar Sarah.”

Mawar sedikit meninggikan suaranya. “Sepertinya ini karenamu! Tidak ada yang tahu apa yang terjadi, tapi Rangga pergi dengan marah dari makan malam dan meninggalkan Sarah di sana.”

Aku menjaga nada suaraku tetap tenang. “Terima kasih sudah memberi tahuku, Mawar. Aku sangat menghargainya.”

Dia ragu-ragu. “Kamu... tidak peduli?”

Tawa pelan terdengar sebelum aku bisa menghentikannya.

“Aku sudah mau pergi. Biarkan mereka nikmati kebahagiaan versi apa pun yang bisa mereka dapatkan. Aku cuma berharap semoga mereka bahagia.”

Lalu aku mengenakan gaun biru yang sama seperti yang kukenakan lima tahun lalu, menata rambut dan riasanku seperti dulu, dan menuju Restoran Celestia.

Di mana segalanya dimulai, di situlah semuanya akan berakhir.

Meja yang sama, pemandangan yang sama.

Rangga pasti sudah menyuruh pelayan restoran menyiapkan semuanya terlebih dahulu, Restoran Celestia tampak jauh lebih mewah daripada lima tahun lalu.

Kristal yang indah, lilin yang berkelap-kelip, dan hiasan bunga lili putih di tengah ruangan memenuhi ruangan dengan aroma yang samar.

Tidak ada tamu lain malam ini, hanya barisan pelayan yang berdiri diam di kejauhan.

Rangga menyewa seluruh restoran.

Beginilah tipikal Rangga.

Aku menghela napas, menatap ke luar jendela tempat lampu-lampu kota mulai meredup di balik senja.

Apa yang harus kukatakan saat dia tiba?

Apakah dia akan menerimanya dengan tenang, atau marah, seperti yang selalu dia lakukan ketika segalanya lepas dari genggamannya?

Ponselku bergetar. Nama Rangga muncul di layar.

"Aurel, maafkan aku. Rapatnya lebih lama dari yang kuduga. Aku akan ke sana sekarang."

"Sudah lama sekali tidak ketemu, aku merindukanmu."

Aku dapat mendengar samar-samar irama langkah kakinya, kehangatan pelan dalam suaranya yang pernah membuat jantungku berdebar-debar.

“Baiklah,” kataku lembut, berpura-pura tenang. “Untung saja aku sedang dalam suasana hati yang pemaaf malam ini.”

Namun saat langit berubah dari kuning ke nila, kursi di seberangku tetap kosong.

Setengah jam berlalu.

Lalu satu jam.

Rangga masih belum muncul.

Aku menelepon...

Tidak ada jawaban.

Lalu nama Mawar muncul di layarku.

“Aurel, cek berita yang lagi ngetren. Sarah udah gila.”

Jantungku menegang saat membuka berita.

Mobil Sarah berbelok melintasi jalur Rangga, membuatnya berhenti mendadak di tengah kemacetan.

Kedua mobil bertabrakan dengan sempurna, tidak keras tetapi cukup menarik perhatian banyak orang.

Kamera menangkap segalanya.

[Rangga berlari ke arahnya, kepanikan terukir di wajahnya saat dia menarik Sarah ke dalam pelukannya.]

Rekaman lain menunjukkan dia menghentikan taksi, mendekap Sarah seperti sesuatu yang rapuh, dan langsung menuju rumah sakit.

Tabloid-tabloid sedang ramai membicarakannya.

[Hanya kecelakaan kecil, tapi kepanikan Rangga menunjukkan semuanya, dia tampak takut kehilangan Sarah.]

[Sarah tampaknya tidak terluka. Dalam pelukan Rangga, dia tampak... bahagia.]

[Setelah pertengkaran sengit tadi malam, keduanya tampaknya telah berdamai dengan cara yang paling dramatis dan penuh gairah.]

Rasa sakit yang tajam dan terus-menerus menggelayuti dadaku, samar tetapi mendesak, seperti bisikan pelan yang tak bisa kuabaikan.

Satu demi satu hidangan lezat tersaji di atas meja, aroma lilin yang menyala memenuhi udara, seluruh restoran bermandikan cahaya lembut nan romantis.

Seorang pelayan mendekat.

“Apakah Anda ingin menunggu sedikit lebih lama, Bu?”

Aku mengaktifkan mode diam di ponselku. “Aku akan mulai tanpa dia.”

'Makan malam mewah sendirian tidak terlalu buruk,' kataku dalam hati.

Jika dia tidak datang, aku bisa menikmatinya sendiri.

Tetapi... lobsternya kurang kaya rasa seperti biasanya.

Foie gras-nya... rasa pahitnya masih terasa, sedikit, tetapi tetap saja ada.

Aku hampir pertimbangkan untuk memanggil kokinya, tetapi aku merasa itu konyol.

Setelah memakan beberapa gigitan lebih karena kebiasaan daripada karena lapar, aku mendorong kursiku ke belakang dan berdiri.

Restoran ini tak akan pernah melihatku lagi.

Aku menyeret koperku menyusuri jalanan malam yang sepi menuju bandara.

Kafe tempatku duduk hampir kosong, tetapi ponselku terus-menerus bergetar karena telepon Rangga.

Aku memblokirnya.

Dan kemudian pesan-pesannya mulai muncul melalui aplikasi lain.

[Aurel, maafkan aku. Sarah terluka, aku harus mengurusnya dulu.]

[Kita masih punya banyak hari jadi, kan? Aku akan menebusnya.]

[Besok kita akan menikah lagi. Jangan lupa.]

Rasa ingin tahu, atau mungkin kebutuhan untuk mengakhiri segalanya, membuatku membuka media sosial Sarah.

Sudah lama sejak aku mengintip dunianya.

Dan di sanalah, terpampang sederet foto dirinya bersama Rangga di setiap kesempatan.

Pembaruan terakhir yang diposting beberapa jam lalu...

[Kamu janji akan selalu menjagaku.]

[Dan aku selalu percaya...]

Dalam foto itu, dia bersandar dalam pelukan Rangga, rapuh dan lembut. Sementara Rangga memeluknya dengan kelembutan dan kesan protektif yang dulu kukira hanya milikku.

Aku tersenyum ironis, tak menyadari kapan air mata mulai mengalir di pipiku, meninggalkan rasa asin dan pahit.

Fajar baru saja mulai mewarnai langit.

Aku menyeka air mataku, merapikan rambutku, dan memastikan penampilanku tampak tenang.

Pukul 7, aku sudah check in.

Pesan Rangga muncul di layarku, menanyakan apa aku sedang dalam perjalanan.

Aku tidak menjawab.

Sebaliknya, aku diam-diam menghapus kontaknya.

Pukul 8, aku sedang mengantre untuk naik pesawat.

Nomor-nomor tak dikenal terus-menerus muncul di ponselku, tetapi aku tidak menjawab, karena tahu itu adalah Rangga yang mencoba menghubungiku.

Pukul 9, pesawat mulai meluncur perlahan menuju landasan.

Tepat saat aku hendak mematikan ponselku, panggilan telepon Mawar masuk. Begitu aku mengangkatnya, suara Rangga yang tegang dan mendesak, terdengar dari telepon, “Aurel, kamu di mana?!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 9

    Sudut Pandang Aurel.Mobil anak buahnya melesat menembus malam, lampu jalan menghilang di belakang kami dengan samar.Rangga memelukku erat, ciumannya lembut dan tersebar di pipiku, membawa kelembutan yang membuat dadaku sakit.“Aku terlambat... Maafkan aku,” gumamnya, suaranya rendah hampir pecah.Di matanya, ada begitu banyak cinta, kekhawatiran, kerentanan yang jarang dia tunjukkan kepada siapa pun.Jantungku berdebar, sedikit gemetar tanpa sadar.Aku mengulurkan tangan, jari-jariku mengusap rahangnya.“Tidak apa-apa,” kataku lembut. “Dia tidak benar-benar menyakitiku.”Dia menurunkan pandangannya, mengembuskan napas tak beraturan.“Ini salahku. Aku bersumpah, aku takkan membiarkanmu terluka lagi. Tidak sedikit pun.”Lalu dia menyandarkan kepalanya di bahuku, tubuhnya sedikit gemetar.Aku tertawa kecil, tak percaya.“Lucu... Aku yang terluka, tapi kamulah yang hancur.”Dia tidak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya, mendekapku seolah rasa amanku juga bisa menenangkannya.Para dokt

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 8

    Sudut Pandang Aurel.“Aurel.” Suaranya kini lirih. “Kamu boleh lakukan apa pun yang kamu mau, bertemu teman-temanmu, bekerja, menghilang sebentar...”“Aku tidak akan menghentikanmu. Asal... jangan tinggalkan aku selamanya.”Ada getaran dalam nadanya yang belum pernah kudengar sebelumnya, sesuatu yang sedikit manusiawi di balik kesombongannya.Keheningan memenuhi mobil.Akhirnya, tubuhku berhenti menegang, dan matanya... perlahan kembali tajam seperti yang kukenal.Dan saat itu, aku menyadari...Dia bisa menghancurkanku jika dia mau, tetapi dia sama sekali tidak melakukannya.Helaan napas keluar sebelum aku menyerah meronta.“Bagaimana kamu tahu aku kabur?”Dia melirik ponsel di sampingnya dan tersenyum tipis.“Ada pelacak di dalamnya.”Kemarahan melandaku. Aku mengangkat ponsel itu, siap menghancurkannya. Tetapi dia hanya menatapku dalam diam.Setelah beberapa saat, dia berbicara dengan suara rendah, hampir penuh penyesalan, “Baru sekarang aku benar-benar mengerti betapa salahnya aku.

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 7

    Sudut Pandang Aurel.Saat aku terbangun, dunia terasa hening dan mencekam.Kepalaku terasa berat, pikiranku melayang tak tentu arah.Bayangan terakhir di benakku adalah Rangga mencondongkan tubuh ke arahku, menempelkan sapu tangan ke wajahku, aroma kimia yang samar menempel di kulitku sebelum semuanya menjadi gelap.Ruangan di sekelilingku terasa asing.Terlalu mewah, terlalu sempurna untuk menjadi milikku.Tirai berwarna krem bergoyang lembut tertiup angin, menyapu furnitur mahoni yang berkilau di bawah cahaya lembut yang sudah diatur.Setiap detail berbisik tentang kendali, tentang dirinya.Jari-jariku ragu-ragu di kenop pintu, setengah berharap pintu itu terkunci. Ternyata tidak.Pintunya terbuka dengan mudah, dan aku melangkah keluar.Rangga sedang menungguku.Duduk di sofa di lantai bawah seolah-olah ini adalah hari yang biasa saja.Saat dia mendongak, sesuatu yang tak terbaca melintas di wajahnya.Lalu dia tersenyum dan berjalan mendekat, menundukkan kepalanya untuk mengecup keni

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 6

    Sudut Pandang Aurel.Aku menutup diri, menjalani hari-hariku dalam kesendirian yang sunyi.Tempat ini tidak jauh dari wilayah kekuasaan Rangga, tetapi dalam wilayah kekuasaan Keluarga Erlangga, rival terkejamnya.Dia tidak akan dapat menemukanku dengan mudah di sini.Meninggalkan Rangga dan Sarah terasa seperti menghilangkan bebanku.Aku tidak perlu lagi bangun setiap pagi dengan memikirkan orang-orang menjijikkan itu dan hal-hal yang telah mereka lakukan.Sedikit rasa penyesalan masih terasa, mengapa aku tidak melakukan ini lebih awal?Aku sudah membuang nomor lamaku, membeli yang baru dengan nama palsu, dan hanya menghubungi Mawar.“Aurel... kamu tidak mengerti. Rangga sampai gila nyari kamu,” katanya hati-hati.“Beberapa anak buahnya diganti karena mengecewakannya... dan Sarah? Dia dikirim ke luar negeri.”“Emosinya berbahaya akhir-akhir ini, tak seorang pun berani berbuat salah.”Senyum tipis yang nyaris tak terlihat tersungging di wajahku.“Dia berpegang teguh pada cinta yang hany

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 5

    Sudut pandang Rangga.Suara di ujung sana terdengar begitu tajam hingga menembus udara.“Selamat tinggal, mantanku.”Lalu... hening. Nada panggilan terputus terdengar di telingaku.Aku mencoba menelepon lagi, tetapi sambungannya mati.Mantanku...Kotak cincin itu tercengkeram di telapak tanganku, aku menunduk dan melihat bekas cekungan samar yang ditinggalkannya di kulitku.Di dalamnya, berlian merah muda itu berkilauan, tanpa cacat, langka, lebih besar dari yang dikenakan Sarah.Aku membelinya dari seorang kolektor pribadi, dan membayangkan memakaikannya di jari Aurel sendiri, menandai awal yang baru.Dan sekarang... dia memanggilku mantannya.Dia bersungguh-sungguh.Aku bukan lagi siapa-siapa baginya.Aku menatap Mawar, sensasi panas berkobar di belakang mataku.“Di mana dia?” Suaraku rendah, tetapi berbahaya, jenis suara yang muncul sebelum sesuatu pecah.Aku mengulurkan tanganku pada Mawar, lalu berhenti, jari-jariku mengepal sebelum terkulai ke samping.Mawar mundur, matanya terbe

  • Terjerembap dalam Pelarian   Bab 4

    Sudut Pandang Aurel.Rangga terus meneleponku selama berhari-hari sejak ajakan makan malam itu.Setiap kali namanya muncul di layar, aku teringat bisikan Sarah yang lembut dan menggoda malam itu, kubiarkan telepon terus berdering sampai berhenti.Lalu muncul sebuah pesan.Rangga: [Aurel, kumohon. Keluarlah, aku hanya ingin bertemu denganmu.]Aku: [Maaf. Aku sudah selesai menjadi ‘cadangan’ bagi seseorang.]Dulu, betapa pun marahnya aku, saat dia mengulurkan tangannya, meski hanya sedikit, aku akan menghapus air mataku, memaksakan senyum, dan langsung berlari ke pelukannya.Namun keadaan berubah ketika Sarah kembali.Semakin sering Sarah muncul, semakin Rangga kehilangan kesabaran terhadapku, terhadap hubungan kami.Dia berhenti menjadi orang yang berusaha. Akulah yang selalu meminta maaf, selalu meminta untuk tetap bertahan.Kalau dipikir-pikir lagi, aku hampir tidak tahan lagi dengan diriku yang dulu.Yang aku inginkan kali ini hanyalah makan malam terakhir pada tanggal 19, malam sebe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status