Share

Chapter 5

Sebelum Tristan, Shanon, dan Vikha bertolak ke vila, Arya mengajak mereka bersantap siang di salah satu rumah makan sederhana yang ada di pinggir jalan. Arya sengaja mengajak ketiganya ke rumah makan yang memang menyediakan beberapa menu khas Bali bagian timur. Setelah tadi mata ketiga temannya dimanjakan oleh pemandangan Taman Edelweiss dan Taman Jinja yang memesona, kini giliran nasi sela, sate lilit ikan tuna serta olahan ikan tuna lainnya yang akan memanjakan lidah mereka. Bahkan, Shanon dan Vikha tidak sungkan-sungkan menambah porsi makannya agar kebutuhan perut keduanya terpenuhi. Arya dan Tristan hanya menggelengkan kepala melihat kelahapan dua gadis cantik yang tengah asyik bersantap siang tersebut. Tidak sampai di situ, Vikha dan Shanon pun sepakat membeli beberapa tusuk sate lilit serta pepes telengis untuk dinikmatinya menuju vila. Tentu saja hal itu membuat Arya dan Tristan tidak habis pikir terhadap kelakuan dua sahabatnya tersebut yang ternyata tidak jaga image dalam urusan makan.

Usai mengisi perut dan menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, kini ketiga sahabat tersebut telah tiba di vila yang sebelumnya sudah dipesan oleh Vikha. Lokasi vila yang mereka tempati sangat dekat dengan laut, jadi mata ketiganya pun akan kembali dimanjakan oleh keindahan air berwarna kebiruan itu. Vikha dan Shanon akan berbagi kamar, sedangkan Tristan menempati kamarnya seorang diri. Tristan memberitahukan kepada kedua sahabatnya bahwa dirinya akan beristirahat sebentar setelah kelelahan menyetir. Ternyata Vikha dan Shanon juga ingin beristirahat, apalagi perut mereka sudah kenyang, serta sepoi angin laut sangat mendukung mata keduanya untuk segera terpejam.

***

Merasa sudah cukup beristirahat, dengan perlahan dan hati-hati Shanon menuruni ranjang agar Vikha yang masih tidur pulas di sampingnya tidak terbangun. Usai membasuh wajah dan mengganti pakaian, Shanon memutuskan untuk keluar kamar. Ia ingin berjalan-jalan di sekitar vila sambil menunggu waktu yang telah mereka sepakati tadi tiba. Ia dan kedua sahabatnya akan mengunjungi Virgin Beach untuk berenang sekaligus melihat matahari terbenam.

“Mau ke mana, Sha?” tanya Tristan sambil menutup pintu kamarnya. Penampilan laki-laki tersebut terlihat jauh lebih segar setelah beristirahat dibandingkan tadi. Bahkan, kini pakaiannya pun telah berganti dari sebelumnya.

“Eh, kamu sudah bangun ternyata,” ucap Shanon sedikit terkejut. “Aku hanya ingin jalan-jalan di sekitar sini. Kamu sendiri mau ke mana?” tanyanya balik.

 “Aku juga mau jalan-jalan, tapi ke mini market,” Tristan menjawab sembari terkekeh. “Aku ingin membeli sikat dan pasta gigi. Setelah memeriksa tas, ternyata aku lupa membawa kedua barang itu. Kamu mau ikut?” tawarnya.

Shanon ikut tersenyum. “Boleh juga. Ayo.” Ia menerima tawaran Tristan, dan mereka pun mulai berjalan bersisian.

“Ngomong-ngomong, besok kita akan ke mana, Sha?” Tristan menanyakan rencana mereka besok kepada Shanon setelah keluar dari vila.

“Kata Vikha besok kita akan mengunjungi Taman Ujung atau Tirta Gangga, hanya itu yang aku tahu,” jawab Shanon setahunya.

Tristan hanya manggut-manggut. Ke mana pun tempat yang dituju besok, tetap saja mereka akan pergi bertiga. “Sha, ayo ke Lotus Lagoon sebentar. Mumpung tempatnya tidak jauh dari sini,” ajaknya  sambil memegang pergelangan tangan Shanon.

“Tapi Vikha ….”

“Cuma sebentar saja. Lagi pula kalau nanti Vikha tanya, kita cukup bilang sehabis membeli sikat dan pasta gigi di mini market sambil jalan-jalan sebentar,” tukas Tristan yang mulai menggiring Shanon menuju kolam bunga teratai. “Kamu tenang saja, Vikha tidak akan marah,” sambungnya menenangkan.

Hanya beberapa menit untuk menjangkau Lotus Lagoon dari tempat Shanon dan kedua sahabatnya menginap. Kini Shanon terkesima menyaksikan indahnya bunga teratai berwarna pink dan fuschia yang tengah bermekaran. Tristan menyuruh Shanon mendekat ke tempat orang-orang yang tengah sibuk berfoto dengan latar belakang keelokan bunga teratai. Tujuan Tristan ternyata ingin memfoto Shanon di hamparan bunga teratai yang memenuhi kolam menggunakan kamera ponsel pribadi milik laki-laki tersebut. Untuk membalas tindakan sahabatnya itu, Shanon pun mengajak Tristan berswafoto berdua.

Tidak terasa hampir lima belas menit Shanon dan Tristan menghabiskan waktu berfoto ria di sekitar Lotus Lagoon, mereka pun menyudahi keseruannya tersebut. Keduanya kembali ke tujuan awal, yakni; membeli sikat dan pasta gigi untuk Tristan.

“Nanti aku kirimkan fotomu,” ujar Tristan saat memasuki sebuah mini market.

Shanon mengangguk. “Yang jelek dihapus saja, agar memory ponselmu tidak penuh.” Shanon terkekeh sambil mengulas senyum.

“Hasil fotomu tidak ada yang jelek. Tadi aku sempat melihat sekaligus mengeceknya sekilas,” Tristan menanggapinya santai.

Shanon hanya mengangguk percaya, entah yang dikatakan Tristan sesuai kenyataan atau kebohongan. “Tris, ternyata Vikha sudah bangun. Ia menanyakan keberadaanku,” beri tahunya sambil menunjukkan pesan singkat dari Vikha kepada Tristan.

“Bilang saja kita sedang di mini market,” Tristan menanggpinya dengan santai dan mulai mencari keberadaan barang yang akan dibelinya. “Ada yang ingin kamu beli, Sha?” tanyanya setelah Shanon mengiyakan ucapannya.

Shanon menjawabnya dengan gelengan kepala sambil sibuk membalas pesan Vikha.

“Coba kamu tanya Vikha, apakah ada yang ingin ia titip? Mumpung kita masih berada di mini market. Kamu tahu sendiri bagaimana kebiasaan Vikha,” pinta Tristan.

“Vikha ingin dibelikan ice cream rasa vanila. Katanya, merk-nya boleh saja yang penting jelas dan terdaftar, Tris,” Shanon menyampaikan pesan yang diterimanya dari Vikha kepada Tristan sambil menahan tawa.

***

Sekembalinya dari mini market, Shanon mengajak Tristan ke kamarnya untuk menemui Vikha yang sudah bangun. Keduanya kompak mengendikkan bahu saat mendapati Vikha berkacak pinggang ketika melihat kedatangan mereka.

“Ini pesananmu, Nona.” Shanon menyerahkan kantong plastik yang berisi beberapa bungkus ice cream rasa vanila berbagai merk.

Ekspresi pura-pura kesal yang tadinya Vikha perlihatkan, langsung berubah semringah ketika melihat Shanon menyerahkan kantong plastik. “Terima kasih banyak. Nanti aku ganti uangmu ya, Sha,” ucapnya setelah menerima dan memeriksa isi kantong plastik yang diberikan oleh Shanon.

“Berikan saja nanti uangnya kepada Tristan. Tadi aku keluar tidak membawa dompet, jadi Tristan yang berbaik hati membayar belanjaanku,” aku Shanon jujur.

“Gantinya dua kali lipat ya, Kha. Harga pokok ice cream ditambah biaya antarnya,” Tristan menimpali sambil mengedipkan sebelah matanya.

Vikha mendengkus. “Itu namanya penindasan terhadap kaum jelata,” protesnya.

Tristan balik mendengkus dan pura-pura ingin muntah mendengar tanggapan Vikha yang dianggapnya terlalu mendramatisir, sedangkan Shanon hanya tertawa renyah sambil menggelengkan kepala.

“Ngomong-ngomong, kita akan berangkat sekarang?” tanya Shanon dengan topik pembicaraan lain. Ia menatap Vikha dan Tristan secara bergantian.

“Kita biarkan dulu Nona yang satu ini menikmati sekaligus menghabiskan ice cream-nya,” Tristan mewakili Vikha menjawab pertanyaan Shanon. “Lagi pula aku sudah selesai berkemas,” sambungnya.

“Kurang lebih setengah jam lagi, Sha,” Vikha menimpali sebelum mulai menikmati ice cream.

Shanon mengangguk. “Kalau begitu kalian lanjutkan saja mengobrolnya, aku mau berkemas dulu,” ucapnya.

“Taruh saja pakaian dan keperluan lainnya yang ingin kamu bawa di ranselku, Sha. Satu saja kita bawa ransel ke sana,” Vikha menyarankan.

“Dompet dan ponsel kalian jangan ditinggalkan di sini. Bawa saja,” Tristan mengingatkan kedua sahabatnya yang memang sering ceroboh.

“Siap, Pak!” Shanon dan Vikha menjawabnya dengan kompak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status