Sebelum Tristan, Shanon, dan Vikha bertolak ke vila, Arya mengajak mereka bersantap siang di salah satu rumah makan sederhana yang ada di pinggir jalan. Arya sengaja mengajak ketiganya ke rumah makan yang memang menyediakan beberapa menu khas Bali bagian timur. Setelah tadi mata ketiga temannya dimanjakan oleh pemandangan Taman Edelweiss dan Taman Jinja yang memesona, kini giliran nasi sela, sate lilit ikan tuna serta olahan ikan tuna lainnya yang akan memanjakan lidah mereka. Bahkan, Shanon dan Vikha tidak sungkan-sungkan menambah porsi makannya agar kebutuhan perut keduanya terpenuhi. Arya dan Tristan hanya menggelengkan kepala melihat kelahapan dua gadis cantik yang tengah asyik bersantap siang tersebut. Tidak sampai di situ, Vikha dan Shanon pun sepakat membeli beberapa tusuk sate lilit serta pepes telengis untuk dinikmatinya menuju vila. Tentu saja hal itu membuat Arya dan Tristan tidak habis pikir terhadap kelakuan dua sahabatnya tersebut yang ternyata tidak jaga image dalam urusan makan.
Usai mengisi perut dan menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, kini ketiga sahabat tersebut telah tiba di vila yang sebelumnya sudah dipesan oleh Vikha. Lokasi vila yang mereka tempati sangat dekat dengan laut, jadi mata ketiganya pun akan kembali dimanjakan oleh keindahan air berwarna kebiruan itu. Vikha dan Shanon akan berbagi kamar, sedangkan Tristan menempati kamarnya seorang diri. Tristan memberitahukan kepada kedua sahabatnya bahwa dirinya akan beristirahat sebentar setelah kelelahan menyetir. Ternyata Vikha dan Shanon juga ingin beristirahat, apalagi perut mereka sudah kenyang, serta sepoi angin laut sangat mendukung mata keduanya untuk segera terpejam.
***
Merasa sudah cukup beristirahat, dengan perlahan dan hati-hati Shanon menuruni ranjang agar Vikha yang masih tidur pulas di sampingnya tidak terbangun. Usai membasuh wajah dan mengganti pakaian, Shanon memutuskan untuk keluar kamar. Ia ingin berjalan-jalan di sekitar vila sambil menunggu waktu yang telah mereka sepakati tadi tiba. Ia dan kedua sahabatnya akan mengunjungi Virgin Beach untuk berenang sekaligus melihat matahari terbenam.
“Mau ke mana, Sha?” tanya Tristan sambil menutup pintu kamarnya. Penampilan laki-laki tersebut terlihat jauh lebih segar setelah beristirahat dibandingkan tadi. Bahkan, kini pakaiannya pun telah berganti dari sebelumnya.
“Eh, kamu sudah bangun ternyata,” ucap Shanon sedikit terkejut. “Aku hanya ingin jalan-jalan di sekitar sini. Kamu sendiri mau ke mana?” tanyanya balik.
“Aku juga mau jalan-jalan, tapi ke mini market,” Tristan menjawab sembari terkekeh. “Aku ingin membeli sikat dan pasta gigi. Setelah memeriksa tas, ternyata aku lupa membawa kedua barang itu. Kamu mau ikut?” tawarnya.
Shanon ikut tersenyum. “Boleh juga. Ayo.” Ia menerima tawaran Tristan, dan mereka pun mulai berjalan bersisian.
“Ngomong-ngomong, besok kita akan ke mana, Sha?” Tristan menanyakan rencana mereka besok kepada Shanon setelah keluar dari vila.
“Kata Vikha besok kita akan mengunjungi Taman Ujung atau Tirta Gangga, hanya itu yang aku tahu,” jawab Shanon setahunya.
Tristan hanya manggut-manggut. Ke mana pun tempat yang dituju besok, tetap saja mereka akan pergi bertiga. “Sha, ayo ke Lotus Lagoon sebentar. Mumpung tempatnya tidak jauh dari sini,” ajaknya sambil memegang pergelangan tangan Shanon.
“Tapi Vikha ….”
“Cuma sebentar saja. Lagi pula kalau nanti Vikha tanya, kita cukup bilang sehabis membeli sikat dan pasta gigi di mini market sambil jalan-jalan sebentar,” tukas Tristan yang mulai menggiring Shanon menuju kolam bunga teratai. “Kamu tenang saja, Vikha tidak akan marah,” sambungnya menenangkan.
Hanya beberapa menit untuk menjangkau Lotus Lagoon dari tempat Shanon dan kedua sahabatnya menginap. Kini Shanon terkesima menyaksikan indahnya bunga teratai berwarna pink dan fuschia yang tengah bermekaran. Tristan menyuruh Shanon mendekat ke tempat orang-orang yang tengah sibuk berfoto dengan latar belakang keelokan bunga teratai. Tujuan Tristan ternyata ingin memfoto Shanon di hamparan bunga teratai yang memenuhi kolam menggunakan kamera ponsel pribadi milik laki-laki tersebut. Untuk membalas tindakan sahabatnya itu, Shanon pun mengajak Tristan berswafoto berdua.
Tidak terasa hampir lima belas menit Shanon dan Tristan menghabiskan waktu berfoto ria di sekitar Lotus Lagoon, mereka pun menyudahi keseruannya tersebut. Keduanya kembali ke tujuan awal, yakni; membeli sikat dan pasta gigi untuk Tristan.
“Nanti aku kirimkan fotomu,” ujar Tristan saat memasuki sebuah mini market.
Shanon mengangguk. “Yang jelek dihapus saja, agar memory ponselmu tidak penuh.” Shanon terkekeh sambil mengulas senyum.
“Hasil fotomu tidak ada yang jelek. Tadi aku sempat melihat sekaligus mengeceknya sekilas,” Tristan menanggapinya santai.
Shanon hanya mengangguk percaya, entah yang dikatakan Tristan sesuai kenyataan atau kebohongan. “Tris, ternyata Vikha sudah bangun. Ia menanyakan keberadaanku,” beri tahunya sambil menunjukkan pesan singkat dari Vikha kepada Tristan.
“Bilang saja kita sedang di mini market,” Tristan menanggpinya dengan santai dan mulai mencari keberadaan barang yang akan dibelinya. “Ada yang ingin kamu beli, Sha?” tanyanya setelah Shanon mengiyakan ucapannya.
Shanon menjawabnya dengan gelengan kepala sambil sibuk membalas pesan Vikha.
“Coba kamu tanya Vikha, apakah ada yang ingin ia titip? Mumpung kita masih berada di mini market. Kamu tahu sendiri bagaimana kebiasaan Vikha,” pinta Tristan.
“Vikha ingin dibelikan ice cream rasa vanila. Katanya, merk-nya boleh saja yang penting jelas dan terdaftar, Tris,” Shanon menyampaikan pesan yang diterimanya dari Vikha kepada Tristan sambil menahan tawa.
***
Sekembalinya dari mini market, Shanon mengajak Tristan ke kamarnya untuk menemui Vikha yang sudah bangun. Keduanya kompak mengendikkan bahu saat mendapati Vikha berkacak pinggang ketika melihat kedatangan mereka.
“Ini pesananmu, Nona.” Shanon menyerahkan kantong plastik yang berisi beberapa bungkus ice cream rasa vanila berbagai merk.
Ekspresi pura-pura kesal yang tadinya Vikha perlihatkan, langsung berubah semringah ketika melihat Shanon menyerahkan kantong plastik. “Terima kasih banyak. Nanti aku ganti uangmu ya, Sha,” ucapnya setelah menerima dan memeriksa isi kantong plastik yang diberikan oleh Shanon.
“Berikan saja nanti uangnya kepada Tristan. Tadi aku keluar tidak membawa dompet, jadi Tristan yang berbaik hati membayar belanjaanku,” aku Shanon jujur.
“Gantinya dua kali lipat ya, Kha. Harga pokok ice cream ditambah biaya antarnya,” Tristan menimpali sambil mengedipkan sebelah matanya.
Vikha mendengkus. “Itu namanya penindasan terhadap kaum jelata,” protesnya.
Tristan balik mendengkus dan pura-pura ingin muntah mendengar tanggapan Vikha yang dianggapnya terlalu mendramatisir, sedangkan Shanon hanya tertawa renyah sambil menggelengkan kepala.
“Ngomong-ngomong, kita akan berangkat sekarang?” tanya Shanon dengan topik pembicaraan lain. Ia menatap Vikha dan Tristan secara bergantian.
“Kita biarkan dulu Nona yang satu ini menikmati sekaligus menghabiskan ice cream-nya,” Tristan mewakili Vikha menjawab pertanyaan Shanon. “Lagi pula aku sudah selesai berkemas,” sambungnya.
“Kurang lebih setengah jam lagi, Sha,” Vikha menimpali sebelum mulai menikmati ice cream.
Shanon mengangguk. “Kalau begitu kalian lanjutkan saja mengobrolnya, aku mau berkemas dulu,” ucapnya.
“Taruh saja pakaian dan keperluan lainnya yang ingin kamu bawa di ranselku, Sha. Satu saja kita bawa ransel ke sana,” Vikha menyarankan.
“Dompet dan ponsel kalian jangan ditinggalkan di sini. Bawa saja,” Tristan mengingatkan kedua sahabatnya yang memang sering ceroboh.
“Siap, Pak!” Shanon dan Vikha menjawabnya dengan kompak.
Menemukan lokasi Virgin Beach atau penduduk setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Pantai Bias Putih, ternyata tidak semudah mencari obyek wisata lain karena terkendala akses jalan menuju tempat tersebut. Padahal pantai tersebut letaknya cukup dekat dengan Candidasa, tepatnya di Desa Bugbug. Sesuai namanya, pantai ini belum terlalu banyak didatangi wisatawan domestik maupun internasional, mungkin dikarenakan lokasinya yang tersembunyi dan jauh dari lalu-lalang kendaraan. Namun perlu diketahui bahwa, pemandangan laut di Virgin Beach sangatlah indah. Selain lembutnya pasir putih saat diinjak, air lautnya pun sangat jernih. “Nama Pantai Bias Putih yang diberikan warga sekitar untuk tempat ini mungkin dikarenakan warna pasirnya ya, Sha?” Vikha merentangkan kedua tangannya, berharap udara segar memenuhi setiap ruas tubuhnya. “Bisa jadi, Kha, sedangkan dinamai Virgin Beach kemungkinan karena pantainya belum banyak diketahui oleh wisatawan domestik atau internasional. Letaknya pun cender
Kecanggungan dirasakan Shanon terhadap Tristan saat mereka sedang menikmati sarapan bersama. Ia merasa malu ketika mengingat dirinya ketiduran dalam dekapan laki-laki yang kini duduk tenang di hadapannya. Ia tidak memungkiri mendapat kenyamanan saat lengan-lengan kekar milik Tristan mendekap tubuhnya. Kemarin Tristan membangunkannya saat tengah malam dan menyuruhnya melanjutkan tidur di kamar bersama Vikha. Meski terkejut menyadari dirinya ketiduran, tapi Shanon masih sempat mengucapkan rasa terima kasih kepada Tristan yang telah bersedia dan sukarela meminjamkan dadanya. Berbeda halnya dengan Tristan yang berusaha terlihat biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa kemarin malam bersama Shanon. Padahal, ia juga tengah didera rasa canggung sama seperti Shanon, mengingat kedekatan mereka kemarin malam. Bahkan, kini ia tidak berani menatap Shanon yang duduk tepat di depannya berlama-lama. “Sebelum meninggalkan vila, alangkah baiknya kita periksa kembali barang bawaan masing-masing
“Aku tidak asal tuduh, Kha,” Tristan menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan di depannya. “Aku memang belum pernah menemani seorang perempuan menonton drama romantis. Namun, aku pernah melihat perempuan menangis tersedu-sedu saat menonton adegan romantis. Entah karena perempuan tersebut terharu atau iri melihat keromantisan yang terpampang di layar televisi,” imbuhnya. “Siapa perempuan itu, Tris? Pacarmu?” cecar Vikha penasaran. Ia merasa waspada jika ternyata sahabatnya ini telah menjalin hubungan serius dengan lawan jenis secara diam-diam, sama halnya seperti Shanon dulu. “Kakakku,” Tristan menjawabnya dengan santai dan tersenyum ke arah Vikha yang tertawa setelah mendengar jawabannya. Ia menyempatkan diri menatap Shanon yang tengah menundukkan kepala di belakang kemudi melalui spion di atasnya. “Tris, aku boleh buka ini?” Vikha menunjukkan snack berukuran jumbo yang berbahan dasar rumput laut kepada Tristan. “Silakan, Nona. Aku membawanya ke sini tujuannya memang un
Sepulangnya berlibur minggu lalu, ketiga sahabat itu telah kembali berkutat pada rutinitas dan tanggung jawabnya terhadap pekerjaan masing-masing. Sejak itu pula Vikha jarang bisa bertemu Tristan di kantor, walau sekadar ingin makan siang bersama, karena mereka memang berbeda divisi. Lain halnya dengan Shanon, sahabatnya itu dan Tristan bekerja di divisi yang sama. Pikiran Vikha sering terganggu saat mengingat celetukan yang dilontarkan Shanon di mobil waktu itu. Bukan hanya itu, penolakan Tristan secara tidak langsung atas celetukan tersebut juga kerap membuatnya sedih. Vikha mengurungkan niat ketika hendak menyandarkan punggungnya yang terasa kaku pada kursi kerjanya saat mendengar ponselnya bergetar. Setelah membaca pesan yang diterimanya, ia segera membalas ajakan makan siang dari Shanon. Ia bergegas merapikan meja kerjanya sambil menunggu Shanon menyambanginya untuk berangkat bersama menuju tempat makan siang. “Makan siang di mana, Kha?” tanya Rena, rekan kerja yang satu divisi
Setelah tiba di rumah kontrakannya, Shanon langsung mengajak Tristan ke ruang tamunya dan mempersilakan sahabatnya tersebut duduk di sofa. Selama perjalanan pulang, pikiran Shanon sibuk menimbang keinginannya untuk menceritakan luka batinnya kepada Tristan, hingga akhirnya ia yakin dengan keputusan yang akan diambilnya. “Sha, jika kamu belum siap ingin menceritakannya padaku, sebaiknya jangan dipaksakan,” Tristan memberi saran kepada Shanon yang terlihat kacau di depannya. Dengan jelas Tristan melihat sorot mata Shanon yang memancarkan berbagai macam gejolak emosi. Dengan cepat Shanon menggelengkan kepalanya. “Aku siap, Tris.” Selain merespons saran dari Tristan, tanggapannya tersebut juga untuk memantapkan keputusannya. “Aku sudah tidak kuat lagi untuk memendamnya seorang diri,” akunya sambil menatap sendu Tristan. “Baiklah. Jika keputusanmu tersebut bisa membuatmu merasa lebih baik, aku bersedia menjadi pendengar setiamu,” ucap Tristan penuh kelembutan. Ia sangat iba melihat kondi
Seminggu telah berlalu saat Shanon mengatakan dengan jujur mengenai kebodohan dan penyesalannya kepada Tristan, kini ia merasa hatinya menjadi lebih ringan. Awalnya Shanon pasrah akan reaksi Tristan keesokan harinya di kantor, tapi pada kenyataannya perlakuan dan sikap sahabatnya tersebut tetap seperti biasa, sehingga membuatnya merasa sangat lega. Atas saran Tristan, akhirnya Shanon datang ke acara resepsi pernikahan Richard beberapa hari yang lalu. Tristan juga memintanya untuk tetap bersikap santai saat berada di acara resepsi tersebut, meski rasa sakit hatinya akan muncul ketika melihat laki-laki yang pernah dicintainya bersanding dengan wanita lain di pelaminan. Untung saja Shanon datang bersama Tristan dan Vikha, sehingga ia bisa mengalihkan rasa sakit hatinya. Kedua sahabatnya tersebut pun segera mengajaknya meninggalkan tempat resepsi setelah memberi ucapan selamat kepada pasangan pengantin, dan berbasa-basi sebentar dengan beberapa rekan kerja mereka. Hubungan Shanon dengan V
Hampir sepekan Tristan merasa ada yang berbeda dari sikap kedua sahabatnya. Shanon yang terlihat seperti menjaga jarak saat berada di luar jam kantor, sedangkan Vikha mencoba lebih intens membangun interaksi dengannya. Bahkan, ia dan Vikha sudah tiga hari ini selalu berangkat sekaligus pulang kerja bersama, karena sepeda motor sahabatnya tersebut masih berada di bengkel dan belum sempat diambil. Bukan hanya itu, Vikha juga mengajaknya makan malam dan tempat yang dipilih sahabatnya pun cenderung romantis. Tempat yang lebih cocok didatangi oleh pasangan kekasih untuk berkencan. Tristan semakin curiga bahwa telah terjadi sesuatu di antara kedua sahabat perempuannya tersebut. Apalagi setiap diajak bergabung, Shanon pasti menolak dengan berbagai macam alasan. Tristan yang tengah sibuk memikirkan perubahan sikap kedua sahabatnya, menoleh saat mendengar sapaan seseorang. “Tumben, Ar?” tanyanya kepada Arya yang telah berdiri di depan meja kerjanya. “Iya, aku hanya ingin berkeliling sambil me
Vikha telah memantapkan keputusannya untuk menyatakan perasaannya secara langsung kepada Tristan nanti malam. Vikha telah menghubungi Tristan agar menghadiri undangan makan malamnya di tempat yang sudah ia pilih. Meski Vikha sangat berharap perasaannya berbalas, tapi ia tetap menyiapkan hati andai yang terjadi tidak sesuai harapan. Demi menunjang penampilannya nanti malam, kini Vikha tengah berada di salon langganannya untuk mempercantik diri. Selain itu, kegiatan ini ia lakukan untuk meminimalkan rasa gugup sekaligus gelisah yang tengah berkecamuk dalam hatinya. Setelah hampir sepuluh menit Vikha berada di salon, Shanon yang sudah berjanji akan menemaninya belum juga menampakkan diri. “Aku kira kamu tidak jadi datang, Sha,” ucap Vikha saat melihat kedatangan Shanon dari pantulan cermin besar di depannya. Shanon hanya menyengir menanggapi ucapan Vikha atas keterlambatannya. Ia langsung menduduki sofa empuk yang tersedia di sudut ruangan. “Creambath saja,” jawabnya saat salah satu kar