“Aku tidak asal tuduh, Kha,” Tristan menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan di depannya. “Aku memang belum pernah menemani seorang perempuan menonton drama romantis. Namun, aku pernah melihat perempuan menangis tersedu-sedu saat menonton adegan romantis. Entah karena perempuan tersebut terharu atau iri melihat keromantisan yang terpampang di layar televisi,” imbuhnya.
“Siapa perempuan itu, Tris? Pacarmu?” cecar Vikha penasaran. Ia merasa waspada jika ternyata sahabatnya ini telah menjalin hubungan serius dengan lawan jenis secara diam-diam, sama halnya seperti Shanon dulu.
“Kakakku,” Tristan menjawabnya dengan santai dan tersenyum ke arah Vikha yang tertawa setelah mendengar jawabannya. Ia menyempatkan diri menatap Shanon yang tengah menundukkan kepala di belakang kemudi melalui spion di atasnya.
“Tris, aku boleh buka ini?” Vikha menunjukkan snack berukuran jumbo yang berbahan dasar rumput laut kepada Tristan.
“Silakan, Nona. Aku membawanya ke sini tujuannya memang untuk dimakan. Bukan disimpan selamanya di bagasi mobilku,” balas Tristan yang kemudian terkekeh.
“Kamu mau, Sha?” Vikha menawarkan snack yang telah dibukanya kepada Shanon.
Shanon menggeleng. “Aku mau minum saja,” ujarnya dan mengambil teh beraroma apel yang berkemasan botol.
“Kalau kamu tidak mau, aku akan menghabiskannya,” ancam Vikha sambil terus mengambil kepingan-kepingan snack yang dipangkunya. “Buka mulutmu, Tris. Aku tidak mau dikatakan tega karena membiarkanmu kelaparan.” Vikha mulai menyuapi Tristan setelah laki-laki itu menuruti perintahnya.
“Terima kasih, Kha,” ucap Tristan. “Kamu yakin tidak mau, Sha? Nanti kamu tidak boleh marah ya, jika snack ini benar-benar kami habiskan berdua saja,” Tristan mencoba membujuk Shanon agar ikut menghabiskan snack yang dinikmatinya bersama Vikha.
Shanon mengangguk yakin. “Ngomong-ngomong, kalau seperti ini kalian terlihat layaknya pasangan kekasih dan sangat cocok,” celetuknya. “Kenapa kalian tidak mencoba menjalin hubungan sebagai kekasih saja? Lagi pula dalam persahabatan kita, bukankah tidak ada larangan untuk hal itu?” sambungnya menggoda.
Tangan Vikha yang ingin kembali menyuapi Tristan menggantung setelah mendengar celetukan Shanon, begitu juga dengan Tristan. Laki-laki tersebut membatalkan keinginannya menelan snack yang sudah selesai dikunyahnya. Dalam satu waktu Tristan dan Vikha saling bertatapan. Tidak lama kemudian, keduanya kembali membuang muka karena salah tingkah atas celetukan Shanon yang diluar dugaan mereka.
“Hei, mengapa kalian malah menjadi salah tingkah begitu dan langsung terdiam?” Shanon menegur reaksi kedua sahabatnya. Ia menyipitkan matanya sambil menatap Vikha dan Tristan secara bergantian, walau yang dilihatnya hanya kedua punggung sang sahabat. “Jangan-jangan, selama ini kalian telah menjalin hubungan khusus ya? Tanpa sepengetahuanku,” terkanya. Bahkan, kini ia telah memajukan tubuhnya, sehingga berada di tengah-tengah antara Tristan dan Vikha.
Tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan, dengan cepat Tristan memukul pelan kening Shanon menggunakan sebelah tangannya yang bebas. “Jangan bicara sembarangan,” tegurnya pada Shanon. “Kha, jangan diambil hati ucapan Shanon ya, anggap saja sahabat kita ini pikirannya tengah terganggu gara-gara melihat pemandangan tadi. Maklum saja sama orang yang sedang putus cinta, pikiran dan ucapannya sering ngelantur,” sambungnya lembut kepada Vikha agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Vikha merasa kecewa mendengar tanggapan Tristan atas celetukan Shanon, karena secara tidak langsung laki-laki itu telah menolaknya. Ia hanya mengangguk samar sebagai responsnya atas ucapan Tristan tersebut.
“Tris, apakah aku tidak termasuk dalam kriteria calon kekasihmu?” tanya Vikha dalam hati. Ia tersenyum kaku melihat keakraban Tristan dan Shanon di sampingnya, meski itu hanyalah interaksi kecil. Bahkan, ia juga sudah sering melihatnya.
“Sha, kembali ke tempat dudukmu. Aku tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu padamu kalau kakiku menginjak rem secara mendadak.” Meski kata-kata yang keluar dari mulut Tristan bernada tegas untuk Shanon, tapi terdengar lembut dan penuh perhatian di telinga Vikha.
“Iya, Pak Sopirku,” jawab Shanon setengah hati dan kembali ke tempat duduknya semula.
“Sha, sepertinya yang lebih tepat dan cocok menjadi kekasih Tristan itu kamu, bukan aku,” batin Vikha berkata. Ia kembali melanjutkan kegiatannya menikmati snack yang sempat terjeda oleh celetukan asal Shanon, walau kini selera makannya telah menguap.
***
Sebelum tiba di Denpasar dan mengistirahatkan tubuh di kontrakan masing-masing, Tristan mengajak kedua sahabatnya bersantap siang di restoran Keramas Aero Park. Restoran tersebut terletak di kabupaten Gianyar, tepatnya di Desa Keramas. Keramas Aero Park merupakan salah satu restoran yang mempunyai konsep unik di Bali. Sesuai nama dan tema yang diusung, di restoran ini pengunjung bisa merasakan nuansa makan di dalam pesawat. Selain di dalam pesawat, pengunjung juga bisa menyantap makan siangnya di taman yang ada di belakang pesawat.
Tristan dan kedua sahabatnya memilih tempat untuk menyantap menu makan siangnya di taman yang teduh. Berhubung hari Minggu, pengunjung yang datang untuk makan siang pun lumayan banyak. Selain bisa menikmati makan siang bersama teman, kekasih, atau keluarga, para pengunjung juga dapat berswafoto dengan latar pesawat.
“Aku ke toilet sebentar ya,” pamit Vikha kepada Shanon dan Tristan saat mereka menunggu makanan yang dipesannya datang.
“Perlu diantar dan ditemani, Kha?” tanya Shanon dengan nada bercanda.
Vikha merotasikan bola matanya. “Tentu saja tidak, Sha,” jawabnya.
“Lagi pula, mana ada hantu di siang bolong seperti sekarang,” Tristan menimpali jawaban Vikha sambil terkekeh. Di antara kedua sahabatnya tersebut, Vikha memang lebih penakut dibandingkan Shanon.
“Siapa juga yang takut hantu?” balas Vikha pura-pura memperlihatkan keberaniannya. Ia segera menuju toilet setelah kedua sahabatnya hanya tertawa mendengar balasannya.
“Sudah tahu penakut, tontonannya malah film horor terus,” gerutu Tristan seraya menatap punggung Vikha yang sudah menjauh. “Kamu juga, Sha. Kalau sudah tahu dirimu penakut, jangan sering-sering menonton film horor. Bukannya mencari hiburan, tapi malah menakuti diri sendiri itu namanya,” sambungnya kepada Shanon.
Shanon hanya menyengir mendengar Tristan menggerutu. “Nonton film horor itu seru, Tris, terlebih untuk orang penakut seperti kami. Sensasi horor yang kami dapat itu jadi berlipat-lipat,” belanya.
“Percuma saja kalau ujung-ujungnya malah membuat diri sendiri semakin takut tidak jelas,” Tristan kembali mengingatkan sekaligus tidak mau kalah menanggapi pembelaan Shanon. “Sudah, jangan diperpanjang lagi. Yang ada kalian malah mengeroyokku,” putusnya untuk menghindari perdebatan yang tidak berujung.
Bertepatan dengan Tristan mengakhiri ucapannya, dua orang waitress menghampiri meja mereka sambil membawa nampan yang berisi pesanan masing-masing. Belum selesai waitress menata hidangannya di atas meja, Vikha telah kembali dari toilet dan bergabung bersama mereka.
“Selamat makan,” ucap Vikha dengan penuh antusias kepada Tristan dan Shanon setelah kedua waitress tadi undur diri.
“Sudah kelaparan selama berapa hari, Kha?” ejek Tristan karena melihat reaksi Vikha.
“Berhari-hari,” jawab Vikha berdusta. Ia sama sekali tidak tersinggung dengan ejekan yang dilayangkan Tristan kepadanya. Sebab, ia juga sering mengejek laki-laki tersebut.
“Pantas saja reaksimu seperti itu,” Tristan kembali melanjutkan ejekannya dan Vikha pun hanya menanggapinya dengan derai tawa.
“Ditahan dulu aksi saling mengejek kalian, sebaiknya kita segera makan saja hidangan-hidangan ini. Kasihan mereka kalau terlalu lama kita anggurkan,” Shanon menengahi.
“Setuju.” Vikha memberikan kedua jempolnya kepada Shanon.
Ketiganya pun mulai menikmati hidangan yang telah dipesannya masing-masing sambil mengobrol santai.
Shanon akhirnya menghela napas lega. Dari posisinya ia melihat kehadiran Tristan yang kini sedang berjalan santai ke arahnya. Tanpa membuang waktu Shanon langsung mendorong Richard agar tubuhnya terbebas dari impitan laki-laki tersebut. Ia mengusap bergantian pergelangan tangannya yang terasa kebas karena dipegang cukup erat oleh Richard.“Hai, Richard,” sapa Tristan tanpa memperlihatkan emosi yang telah menyelimuti hati dan pikirannya. “Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu sekeluarga?” tanyanya berbasa-basi.“Untuk apa kamu datang kemari?” Richard mengabaikan pertanyaan basa-basi yang Tristan lontarkan. Sambil memasukkan sebelah tangannya ke saku celana yang dipakainya, ia menatap Tristan tak bersahabat.Bibir Tristan menyunggingkan senyum tipis. Walau tangannya sudah sangat gatal ingin menghajar laki-laki yang kini sedang menatapnya dengan angkuh, tapi ia berusaha keras untuk tetap bersikap tenang. Ia tetap melangkahkan kakinya dengan santai menuju tempat Shanon berdiri.
Bukannya mereda, semakin malam hujan kian menderas. Sebelum tidur Shanon membawakan bantal dan selimut untuk Tristan yang masih sibuk memainkan game di ponselnya. Tristan akan menggunakan sofa yang ada di ruang tengah untuk tidur. Baru saja Tristan membaringkan tubuhnya di atas sofa setelah usai bermain game, tiba-tiba ia merasa perutnya kembali mulas. Sejak mulai bermain game Tristan sudah beberapa kali ke kamar mandi yang ada di samping dapur. Awalnya ia hanya menganggap sakit perut biasa, tapi ternyata dugaannya keliru. Selain sakit, kini perutnya juga terasa panas dan perih. Hal tersebut diakibatkan karena saat makan malam tadi ia menghabiskan empat bungkus sambal.Setelah beberapa menit berada di dalam kamar mandi, akhirnya Tristan keluar sembari memegang perutnya. Ia menghapus keringat di keningnya sambil berjalan pelan menuju kamar Shanon untuk menanyakan obat sakit perut.“Sha,” Tristan memanggil Shanon seraya mengetuk pin
Tristan tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Shanon, karena dua rekan kerja di divisinya sedang absen. Ia dan Shanon pun sama-sama sibuk mengambil alih pekerjaan milik kedua rekannya yang sedang absen tersebut. Bahkan, saat jam makan siang pun mereka lewati secara terpisah. Mereka berbicara atau berinteraksi hanya sebatas urusan yang menyangkut pekerjaan.Sambil menunggu layar komputer di depannya mati, Tristan menyandarkan punggungnya yang kaku pada kursi kebesarannya. Bahkan, kini ia telah melepas kacamatanya yang sangat berjasa membantu matanya bekerja. Ia juga menyempatkan diri untuk memejamkan matanya sejenak, agar otot-otot pada indra penglihatannya tersebut dapat beristirahat, meski hanya sebentar. Baginya hari ini benar-benar sangat melelahkan sekaligus mengesalkan. Bagaimana tidak, ia dan rekan-rekan di divisinya terpaksa harus lembur karena diminta menyiapkan laporan untuk rapat dadakan yang akan diadakan besok pagi. Akhirnya mereka pun pulang saat ja
Shanon terpaksa menolak ajakan Vikha berolahraga di lapangan Niti Mandala yang ada di Renon, sebab ia akan menggunakan waktu liburnya untuk mengunjungi sang ibu. Walau Vikha terlihat kecewa atas penolakannya, tapi sahabatnya tersebut memaklumi alasannya. Untung saja ketika Vikha mendatangi kontrakannya, ia masih bersiap-siap sebelum berangkat ke rumah sang ibu. Awalnya Shanon ingin berangkat kemarin sore, sepulangnya dari kantor, tapi karena Anita meminta diantar sekaligus ditemani ke rumah sakit menjenguk sepupunya, jadi niatnya pun terpaksa ditunda.Kedatangan Shanon membuat Nola yang baru saja menyelesaikan kegiatannya menyapu halaman rumah terkejut, pasalnya sang anak tidak mengabarkan terlebih dulu akan pulang. “Kenapa kamu tidak mengabari Mama terlebih dulu, Nak?” tanyanya setelah Shanon turun dari motor dan mencium punggung tangannya.“Aku sengaja memberi kejutan Mama,” jawab Shanon asal sambil menyengir. Ia memeluk wanita yang sangat dihormati dan dicintainya dengan penuh kasi
Nola sudah pulang dari rumah sakit, Shanon pun telah kembali bekerja seperti biasa. Untung saja dua hari izin tidak membuat pekerjaannya menumpuk, sehingga ia bisa bernapas lega. Shanon tersenyum canggung kepada Tristan yang baru saja memasuki ruangan, ketika ia mengalihkan tatapannya dari layar monitor.“Bagaimana keadaan ibumu?” tanya Tristan yang telah berada di samping meja kerja Shanon.“Baik,” Shanon menjawab sedikit canggung, tapi ia tetap menyunggingkan senyum.“Tidak ada luka serius?” Tristan kembali bertanya setelah duduk.Shanon menggeleng sembari memberanikan diri menatap Tristan sedikit lebih lama. “Terima kasih sudah peduli terhadap keadaan ibuku, Tris,” pintanya tulus.Tristan hanya menanggapi ucapan terima kasih Shanon dengan anggukan.Sikap Tristan yang terlihat enggan berlama-lama berinteraksi dengannya membuat Shanon mengembalikan tatapannya pada layar monitor di depannya. Ia tidak keberatan jika sekarang Tristan yang ingin menjaga jarak dengannya. Menurutnya sangat
Tristan datang ke kantor dengan tidak bersemangat karena kurang tidur akibat memikirkan keadaan Talitha yang hingga kini belum memberi kabar. Sebelum berangkat ke kantor Tristan sempat menghubungi ponsel sang kakak, sayangnya tidak ada respons. Ketika ia kembali ingin mencoba menghubungi sang kakak, suara Anita yang tengah menanyakan keberadaan seseorang langsung menarik minatnya. Walau bukan dirinya yang ditanya, tapi Tristan refleks menoleh ke meja kerja di sampingnya dan tidak melihat sang pemilik berada di sana seperti biasa.“Shanon hari ini izin, katanya ada urusan keluarga yang sangat mendadak,” Bu Utami, wanita tambun yang menjadi manager di divisi keuangan memberi informasi sekaligus menjawab keingintahuan Anita mengenai ketidakhadiran Shanon. “Shanon memberi kabar sebelum saya berangkat ke kantor,” sambungnya.Pemberitahuan Bu Utami membuat pikiran Tristan kini terpecah, antara memikirkan keadaan sang kakak dan rasa penasarannya terhadap urusan keluarga Shanon. Baru saja Tri