Menemukan lokasi Virgin Beach atau penduduk setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Pantai Bias Putih, ternyata tidak semudah mencari obyek wisata lain karena terkendala akses jalan menuju tempat tersebut. Padahal pantai tersebut letaknya cukup dekat dengan Candidasa, tepatnya di Desa Bugbug. Sesuai namanya, pantai ini belum terlalu banyak didatangi wisatawan domestik maupun internasional, mungkin dikarenakan lokasinya yang tersembunyi dan jauh dari lalu-lalang kendaraan. Namun perlu diketahui bahwa, pemandangan laut di Virgin Beach sangatlah indah. Selain lembutnya pasir putih saat diinjak, air lautnya pun sangat jernih.
“Nama Pantai Bias Putih yang diberikan warga sekitar untuk tempat ini mungkin dikarenakan warna pasirnya ya, Sha?” Vikha merentangkan kedua tangannya, berharap udara segar memenuhi setiap ruas tubuhnya.
“Bisa jadi, Kha, sedangkan dinamai Virgin Beach kemungkinan karena pantainya belum banyak diketahui oleh wisatawan domestik atau internasional. Letaknya pun cenderung tersembunyi,” Shanon menimpali sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Benar saja, meski lazy chair tersedia di sini, tapi jumlahnya tidak terlalu banyak. Di sekitar pantai juga hanya ada warung-warung sederhana dan pengunjungnya pun tidak padat seperti pantai yang ada di wilayah Sanur, Kuta, Jimbaran, atau Nusa Dua.
“Lebih baik kita segera menikmati keindahan pemandangan di sini sambil merasakan segarnya air laut itu.” Tristan menunjuk jernihnya hamparan air di depannya.
“Ayo,” jawab Vikha dan Shanon bersamaan setelah menaruh ranselnya di atas pasir. Dengan penuh antusias keduanya berlari menyusul Tristan yang sudah lebih dulu menceburkan diri ke laut.
***
Setelah dua puluh menit berenang menikmati segarnya air laut di Virgin Beach, Tristan menepi dan duduk di bibir pantai sambil memainkan pasir yang terkena air. Ia senang melihat Shanon hari ini bisa banyak tersenyum dan tertawa, sehingga membuat wanita tersebut terlihat semakin memesona. Ia sangat menyayangkan keputusan Richard yang begitu mudahnya melepaskan wanita seperti Shanon. Ia mengakui sangat tidak senang saat Shanon dengan jujur memberitahunya dan Vikha mengenai hubungan yang tengah dijalinnya bersama Richard. Saat itu ingin rasanya ia mengungkapkan dengan jujur isi hati yang selama ini dipendamnya kepada Shanon. Namun, ketika melihat binar kebahagiaan terpancar dari wajah Shanon, ia terpaksa harus kembali mengubur dalam-dalam rasa tersebut hingga kini.
“Rasanya seperti mengunjungi pantai pribadi ya, Tris,” Shanon berkomentar setelah duduk di samping Tristan. “Terkejut? Makanya, jangan melamun ketika tengah bersenang-senang.” Ia terkekeh melihat keterkejutan laki-laki di sampingnya yang ternyata tidak menyadari kehadirannya.
“Sudah puas berenang?” tanya Tristan sambil mengusap rambutnya yang basah karena dipergoki tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.
Shanon mengangguk sambil memainkan air laut yang menyapu pasir di dekatnya. “Kita harus kembali mengunjungi tempat yang indah dan menenangkan ini di lain waktu.”
“Kamu benar. Sungguh sangat disayangkan jika kunjungan kita sekarang ini menjadi yang terakhir,” Tristan menimpali dan melumuri kaki mulus Shanon yang diluruskan menggunakan pasir bercampur air laut.
Shanon tidak tinggal diam. Ia langsung membalas keisengan Tristan dengan melumuri balik kaki sahabatnya itu dengan pasir basah. Karena tidak ada yang mau mengalah, keduanya pun sampai terlibat kejar-kejaran hanya untuk saling membalas aksi satu sama lain. Bahkan, beberapa kali Shanon berteriak meminta pertolongan kepada Vikha karena Tristan berhasil menangkap tubuhnya saat sedang berlari. Bukannya menolong setelah mendengar teriakan Shanon, Vikha malah mengabaikannya begitu saja. Gadis itu lebih memilih bergeming di dalam air, karena enggan untuk melepaskan kejernihan sekaligus kesegaran yang dirasakan tubuhnya.
Lelah berlari Shanon pun akhirnya membaringkan tubuhnya sekaligus merentangkan kedua tangannya di atas hamparan pasir putih, di sebelah Vikha yang sudah duduk di tepi pantai. Ia menatap birunya langit sambil membiarkan kakinya dibelai oleh air laut.
“Lelahnya,” Shanon mengadu pada dirinya sendiri sambil tersenyum dan mengatur deru napasnya.
“Makanya, jangan main kejar-kejaran,” Vikha menanggapi sembari terkekeh melihat Shanon yang mencoba menormalkan deru napasnya.
“Tristan yang lebih dulu menjahiliku, Kha,” Shanon kembali mengadu.
“Jangan percaya, Kha, aku tadi tidak melakukan apa-apa. Shanon yang memprovokasiku,” elak Tristan yang kini sudah duduk di samping Shanon. Ia menahan tawa saat melihat Shanon menatapnya tajam.
Kesal mendengar elakan Tristan, Shanon pun ikut duduk seperti kedua sahabat di sisi kiri dan kanannya. Tanpa berniat menyanggah elakan Tristan lagi, ia langsung berdiri dari duduknya.
“Mau ke mana, Sha?” tanya Vikha setelah terkejut karena tiba-tiba Shanon berdiri.
“Kembali berenang,” jawab Shanon ketus tanpa menghentikan langkah kakinya.
Menyadari kekesalan Shanon, Vikha dan Tristan pun saling pandang. Keduanya mengangguk dan menyeringai setelah satu sama lain mengerti niatnya untuk kembali mengerjai Shanon. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Vikha dan Tristan berdiri pelan-pelan agar Shanon tidak menyadarinya. Mereka sama-sama menghitung tanpa suara, kemudian Tristan langsung mengangkat tubuh Shanon dan membawanya ke tengah laut. Vikha terbahak mendengar pekikan terkejut Shanon gara-gara ulah Tristan. Terlebih ketika Tristan menjatuhkan Shanon begitu saja. Tawa Vikha semakin menjadi-jadi saat melihat Shanon mulai memukul Tristan secara membabi buta sebagai bentuk pembalasannya. Melihat keseruan Shanon dan Tristan, Vikha pun menyusul kedua sahabatnya untuk bergabung.
***
Ketiganya meninggalkan pantai ketika matahari telah kembali ke peraduannya. Mereka sengaja merencanakan hal tersebut karena ingin menjadi saksi atas berakhirnya tugas sang surya dalam menyinari bumi. Setelah ketiganya kembali ke vila dan selesai membasuh diri, kini mereka sedang berada di restoran. Selain untuk mengisi perut masing-masing dengan hidangan yang menggugah selera, mereka juga dapat menikmati indahnya pemandangan laut pada malam hari.
Sambil menunggu pesanan masing-masing diantarkan, ketiganya mengobrol ringan dan membahas tentang kegiatan yang telah dilalui hari ini. Tidak membuang kesempatan, Vikha pun memberitahukan destinasi yang akan mereka kunjungi besok. Taman Ujung-lah yang menjadi obyek wisata pilihannya. Tristan dan Shanon ternyata tidak keberatan dengan destinasi pilihan Vikha, keduanya pun tanpa ragu menyepakatinya.
“Berarti hanya Taman Ujung yang akan kita kunjungi besok?” Tristan memastikan tanpa memedulikan kedatangan waiter yang membawakan minuman pesanan mereka.
“Iya. Usai dari sana kita langsung kembali ke Denpasar, biar tidak terlalu lelah,” Vikha memberikan jawaban yang masuk akal.
“Aku setuju dengan Vikha,” Shanon menimpali. “Tidak baik juga kalau kita kembali ke Denpasar terlalu sore. Mungkin di lain waktu saja kita mengunjungi destinasi yang lebih jauh. Sebaiknya waktu yang tersisa besok kita pakai beristirahat dan menyiapkan tenaga untuk kembali beraktivitas besok lusa,” sambungnya.
Tristan memberikan kedua jempol tangannya kepada Shanon dan Vikha. Bertepatan dengan itu, makanan pesanan mereka pun datang. Ketiganya sangat antusias menikmati hidangan yang akan membuat perut masing-masing kenyang.
***
Langit malam terlihat sangat indah, meski hanya cahaya bintang yang menghiasinya. Sepoi angin yang berembus mampu memberikan rasa sejuk sekaligus menenangkan bagi tubuh serta pikiran. Tristan kembali menyesap soft drink kaleng yang tadi dibelinya di mini market, sesaat setelah usai makan malam bersama kedua sahabatnya. Ia bersantai di kursi malas–di pinggir kolam renang yang tersedia di vila tempat mereka menginap sambil mendengarkan deburan ombak.
Tristan menoleh saat merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Ia menyunggingkan senyum tipisnya kepada orang yang kini sudah duduk di kursi malas di sebelahnya. “Kenapa belum tidur?” tanyanya sambil memperbaiki posisi berbaringnya.
“Belum ngantuk,” jawab Shanon tanpa menatap lawan bicaranya. “Langitnya sangat indah, walau tidak ada sinar bulan yang menghiasinya,” ia mengomentari pemandangan angkasa yang dijangkau indra penglihatannya.
“Bukan sinar bulan yang menjadi penentu keindahan langit, melainkan bintang-bintang yang kompak memancarkan cahayanya,” balas Tristan sambil mendongak, menatap langit. “Meski kebanyakan orang mengatakan bahwa sinar bulan yang terindah, tapi tidak untukku. Bagiku, cahaya yang paling mengagumkan berasal dari mereka. Bintang-bintang itu,” Tristan menyuarakan pendapatnya seraya menunjuk ke atas.
“Kenapa?” Mendengar pendapat Tristan, Shanon tertarik dan menoleh.
“Selain bintang mampu menghasilkan cahayanya sendiri, jumlahnya pun sangat banyak,” jawab Tristan sederhana.
Shanon mengangguk. Ia kembali mendongak dan menatap bintang-bintang yang bersinar, seolah mereka sedang tersenyum kepadanya.
“Sha, aku harap semoga dengan liburan singkat ini kamu mampu mengobati luka hatimu, meski hanya sedikit,” Tristan kembali bersuara setelah keheningan menghampiri mereka selama beberapa saat.
Meski luka hati yang dialaminya belum terobati, tapi melihat upaya Tristan dan Vikha dalam menghiburnya membuat Shanon sangat terharu. “Terima kasih banyak atas kepedulian kalian berdua terhadapku,” ucapnya tulus. “Kalian tidak hanya ada ketika aku bahagia, melainkan selalu bersamaku saat kepedihan dan kemalangan menimpaku,” tambahnya dengan suara serak dan mata berkaca-kaca.
Tristan bangun dari posisi setengah berbaringnya dan pindah ke kursi malas yang diduduki Shanon. Ia merengkuh pundak Shanon dengan erat. Ia juga dengan sukarela meminjamkan dadanya kepada Shanon untuk dijadikan sandaran. Tristan hanya berharap, beban di hati Shanon ikut luruh bersamaan dengan butiran kristal yang menetes dari kedua sudut mata sahabatnya.
“Menangislah sepuasmu. Keluarkan semua yang menyesakkan hatimu bersamaan dengan lelehan air matamu,” bisik Tristan lembut sambil membelai punggung Shanon.
Tristan membiarkan Shanon leluasa meluapkan kesedihannya. Saat ini jiwa sahabatnya tersebut sangat rapuh, jadi sudah sewajarnya ia memberikan sandaran. Berulang kali ia mengusap punggung Shanon yang berada dalam dekapannya, sambil sesekali mencium penuh kelembutan kepala sahabatnya tersebut. Suasana malam yang hening seolah menjadi saksi bisu kepedulian Tristan kepada Shanon.
Shanon akhirnya menghela napas lega. Dari posisinya ia melihat kehadiran Tristan yang kini sedang berjalan santai ke arahnya. Tanpa membuang waktu Shanon langsung mendorong Richard agar tubuhnya terbebas dari impitan laki-laki tersebut. Ia mengusap bergantian pergelangan tangannya yang terasa kebas karena dipegang cukup erat oleh Richard.“Hai, Richard,” sapa Tristan tanpa memperlihatkan emosi yang telah menyelimuti hati dan pikirannya. “Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu sekeluarga?” tanyanya berbasa-basi.“Untuk apa kamu datang kemari?” Richard mengabaikan pertanyaan basa-basi yang Tristan lontarkan. Sambil memasukkan sebelah tangannya ke saku celana yang dipakainya, ia menatap Tristan tak bersahabat.Bibir Tristan menyunggingkan senyum tipis. Walau tangannya sudah sangat gatal ingin menghajar laki-laki yang kini sedang menatapnya dengan angkuh, tapi ia berusaha keras untuk tetap bersikap tenang. Ia tetap melangkahkan kakinya dengan santai menuju tempat Shanon berdiri.
Bukannya mereda, semakin malam hujan kian menderas. Sebelum tidur Shanon membawakan bantal dan selimut untuk Tristan yang masih sibuk memainkan game di ponselnya. Tristan akan menggunakan sofa yang ada di ruang tengah untuk tidur. Baru saja Tristan membaringkan tubuhnya di atas sofa setelah usai bermain game, tiba-tiba ia merasa perutnya kembali mulas. Sejak mulai bermain game Tristan sudah beberapa kali ke kamar mandi yang ada di samping dapur. Awalnya ia hanya menganggap sakit perut biasa, tapi ternyata dugaannya keliru. Selain sakit, kini perutnya juga terasa panas dan perih. Hal tersebut diakibatkan karena saat makan malam tadi ia menghabiskan empat bungkus sambal.Setelah beberapa menit berada di dalam kamar mandi, akhirnya Tristan keluar sembari memegang perutnya. Ia menghapus keringat di keningnya sambil berjalan pelan menuju kamar Shanon untuk menanyakan obat sakit perut.“Sha,” Tristan memanggil Shanon seraya mengetuk pin
Tristan tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Shanon, karena dua rekan kerja di divisinya sedang absen. Ia dan Shanon pun sama-sama sibuk mengambil alih pekerjaan milik kedua rekannya yang sedang absen tersebut. Bahkan, saat jam makan siang pun mereka lewati secara terpisah. Mereka berbicara atau berinteraksi hanya sebatas urusan yang menyangkut pekerjaan.Sambil menunggu layar komputer di depannya mati, Tristan menyandarkan punggungnya yang kaku pada kursi kebesarannya. Bahkan, kini ia telah melepas kacamatanya yang sangat berjasa membantu matanya bekerja. Ia juga menyempatkan diri untuk memejamkan matanya sejenak, agar otot-otot pada indra penglihatannya tersebut dapat beristirahat, meski hanya sebentar. Baginya hari ini benar-benar sangat melelahkan sekaligus mengesalkan. Bagaimana tidak, ia dan rekan-rekan di divisinya terpaksa harus lembur karena diminta menyiapkan laporan untuk rapat dadakan yang akan diadakan besok pagi. Akhirnya mereka pun pulang saat ja
Shanon terpaksa menolak ajakan Vikha berolahraga di lapangan Niti Mandala yang ada di Renon, sebab ia akan menggunakan waktu liburnya untuk mengunjungi sang ibu. Walau Vikha terlihat kecewa atas penolakannya, tapi sahabatnya tersebut memaklumi alasannya. Untung saja ketika Vikha mendatangi kontrakannya, ia masih bersiap-siap sebelum berangkat ke rumah sang ibu. Awalnya Shanon ingin berangkat kemarin sore, sepulangnya dari kantor, tapi karena Anita meminta diantar sekaligus ditemani ke rumah sakit menjenguk sepupunya, jadi niatnya pun terpaksa ditunda.Kedatangan Shanon membuat Nola yang baru saja menyelesaikan kegiatannya menyapu halaman rumah terkejut, pasalnya sang anak tidak mengabarkan terlebih dulu akan pulang. “Kenapa kamu tidak mengabari Mama terlebih dulu, Nak?” tanyanya setelah Shanon turun dari motor dan mencium punggung tangannya.“Aku sengaja memberi kejutan Mama,” jawab Shanon asal sambil menyengir. Ia memeluk wanita yang sangat dihormati dan dicintainya dengan penuh kasi
Nola sudah pulang dari rumah sakit, Shanon pun telah kembali bekerja seperti biasa. Untung saja dua hari izin tidak membuat pekerjaannya menumpuk, sehingga ia bisa bernapas lega. Shanon tersenyum canggung kepada Tristan yang baru saja memasuki ruangan, ketika ia mengalihkan tatapannya dari layar monitor.“Bagaimana keadaan ibumu?” tanya Tristan yang telah berada di samping meja kerja Shanon.“Baik,” Shanon menjawab sedikit canggung, tapi ia tetap menyunggingkan senyum.“Tidak ada luka serius?” Tristan kembali bertanya setelah duduk.Shanon menggeleng sembari memberanikan diri menatap Tristan sedikit lebih lama. “Terima kasih sudah peduli terhadap keadaan ibuku, Tris,” pintanya tulus.Tristan hanya menanggapi ucapan terima kasih Shanon dengan anggukan.Sikap Tristan yang terlihat enggan berlama-lama berinteraksi dengannya membuat Shanon mengembalikan tatapannya pada layar monitor di depannya. Ia tidak keberatan jika sekarang Tristan yang ingin menjaga jarak dengannya. Menurutnya sangat
Tristan datang ke kantor dengan tidak bersemangat karena kurang tidur akibat memikirkan keadaan Talitha yang hingga kini belum memberi kabar. Sebelum berangkat ke kantor Tristan sempat menghubungi ponsel sang kakak, sayangnya tidak ada respons. Ketika ia kembali ingin mencoba menghubungi sang kakak, suara Anita yang tengah menanyakan keberadaan seseorang langsung menarik minatnya. Walau bukan dirinya yang ditanya, tapi Tristan refleks menoleh ke meja kerja di sampingnya dan tidak melihat sang pemilik berada di sana seperti biasa.“Shanon hari ini izin, katanya ada urusan keluarga yang sangat mendadak,” Bu Utami, wanita tambun yang menjadi manager di divisi keuangan memberi informasi sekaligus menjawab keingintahuan Anita mengenai ketidakhadiran Shanon. “Shanon memberi kabar sebelum saya berangkat ke kantor,” sambungnya.Pemberitahuan Bu Utami membuat pikiran Tristan kini terpecah, antara memikirkan keadaan sang kakak dan rasa penasarannya terhadap urusan keluarga Shanon. Baru saja Tri