Kecanggungan dirasakan Shanon terhadap Tristan saat mereka sedang menikmati sarapan bersama. Ia merasa malu ketika mengingat dirinya ketiduran dalam dekapan laki-laki yang kini duduk tenang di hadapannya. Ia tidak memungkiri mendapat kenyamanan saat lengan-lengan kekar milik Tristan mendekap tubuhnya. Kemarin Tristan membangunkannya saat tengah malam dan menyuruhnya melanjutkan tidur di kamar bersama Vikha. Meski terkejut menyadari dirinya ketiduran, tapi Shanon masih sempat mengucapkan rasa terima kasih kepada Tristan yang telah bersedia dan sukarela meminjamkan dadanya.
Berbeda halnya dengan Tristan yang berusaha terlihat biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa kemarin malam bersama Shanon. Padahal, ia juga tengah didera rasa canggung sama seperti Shanon, mengingat kedekatan mereka kemarin malam. Bahkan, kini ia tidak berani menatap Shanon yang duduk tepat di depannya berlama-lama.
“Sebelum meninggalkan vila, alangkah baiknya kita periksa kembali barang bawaan masing-masing. Takutnya ada yang tertinggal,” Vikha mengingatkan kedua sahabatnya sekaligus memecah kebisuan di antara mereka saat sedang menikmati sarapan.
“Iya,” Shanon menjawab tanpa mengangkat kepalanya, sedangkan Tristan hanya mengangguk sambil menyeruput kopi hitam kesukaannya.
“Ada yang mau pisang bakar lagi?” tanya Vikha sebelum beranjak dari kursinya. Ia ingin memesan lagi makanan yang menurutnya enak tersebut. Mereka kini tengah menikmati sarapan di kedai dekat pantai, yang letaknya tidak jauh dari vila.
“Tidak, Kha. Roti bakarku saja belum habis,” ujar Shanon sambil memperlihatkan piring yang masih berisi setengah dari menu sarapannya.
“Aku juga tidak, Kha. Sudah cukup,” Tristan menimpali. Meski pisang bakar di piringnya hampir habis, tapi ia tidak ingin memesan lagi.
“Baiklah, kalau begitu aku mau memesan pisang bakar lagi. Perutku masih lapar,” ucap Vikha sambil terkekeh sebelum berlalu menuju pemilik kedai untuk menyampaikan pesanannya.
“Tris, terima kasih atas dekapanmu kemarin malam,” ucap Shanon pelan kepada Tristan sepeninggal Vikha.
Tristan memperbaiki letak kacamatanya dan tersenyum ke arah Shanon. “Kamu sudah berterima kasih kemarin malam, Sha. Memangnya kamu mau berapa kali mengatakannya? Lagi pula, sudah sepantasnya aku sebagai sahabatmu memberikan tempat bersandar yang nyaman untukmu,” balasnya dengan tenang tanpa menghapus senyuman di bibirnya. “Jika bisa, aku ingin menjadi tempatmu bersandar lebih dari sebagai sahabat, Sha,” batinnya menambahkan.
Mendengar ucapan Tristan, Shanon mengangguk dan membalas senyuman hangat sahabatnya tersebut. Perlahan, suasana di antara keduanya pun berangsur normal. Bahkan, kini mereka sudah mulai mengobrol seperti biasa sambil menunggu kedatangan Vikha.
***
Shanon, Tristan, dan Vikha sudah tiba di Taman Ujung, destinasi terakhir yang mereka kunjungi dalam rangka menikmati liburan singkatnya. Vikha sangat antusias menelusuri tempat-tempat yang membuatnya kagum, sedangkan Shanon dan Tristan hanya mengikutinya sambil tersenyum melihat tingkah sang sahabat di depannya. Saking antusiasnya, Vikha berjalan cepat dan meninggalkan kedua sahabatnya jauh di belakang.
Saat memasuki jembatan sebelum menuju istana apung, Vikha melambatkan langkah kakinya ketika melihat beberapa orang tengah sibuk mengambil gambar sepasang model. Dari pakaian yang digunakan oleh sepasang model itu, ia mengasumsikan bahwa kerumunan orang tersebut tengah sibuk mengambil gambar untuk keperluan pre-wedding. Awalnya Vikha sangat senang bisa melihat pasangan pengantin yang tengah melakukan foto pre-wedding di tempat ini. Namun, saat ia terus melangkah dan semakin mendekat, tiba-tiba gerakan kakinya mulai terasa sangat berat. Setelah menajamkan penglihatannya, ia langsung menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya sendiri. Ia mengenal sepasang model yang kini tengah berpelukan mesra tersebut dengan sangat jelas.
Alarm di otak Vikha langsung berbunyi, agar secepatnya meninggalkan tempat tersebut. Ia berharap bisa mencegah Shanon melihat pemandangan yang sangat menyakiti hati tersebut. Namun, semua harapan Vikha sirna, ternyata kedua sahabatnya telah mematung tidak jauh di belakangnya, terlebih Shanon yang wajahnya kini terlihat memucat. Vikha beradu pandang dengan Tristan yang juga sangat terkejut melihat pemandangan di depannya, dan melalui tatapan matanya ia meminta maaf. Vikha menyalahkan dirinya sendiri karena membuat Shanon kembali bersedih. Awalnya ia merasa senang karena usahanya dan Tristan menghibur Shanon hampir berjalan sempurna, tapi kini hal tersebut malah menjadi sia-sia. Seharusnya ia tidak memasukkan Taman Ujung ke dalam daftar kunjungannya selama liburan.
“Sha,” panggil Vikha dengan nada sedih setelah berdiri di samping Shanon.
Mendengar panggilan sedih Vikha yang diasumsikan sebagai bentuk rasa bersalah, Shanon mengerjapkan mata sebelum menoleh ke sumber suara. Ia menghela napasnya dalam-dalam, kemudian mendongak agar cairan yang membuat matanya berkaca-kaca tidak menetes. “Aku baik-baik saja,” ucapnya tercekat karena berusaha keras menekan kepedihan hatinya.
Melihat keadaan Shanon membuat Vikha semakin merasa bersalah. Bahkan, kini mata Vikha juga ikut berkaca-kaca. Berbeda halnya dengan Tristan yang memasang ekspresi datar. Tanpa berkata dan meminta izin, Tristan langsung membawa Shanon ke pelukannya. Akibat tindakan Tristan, pegangan tangan Vikha pada lengan Shanon pun langsung terlepas. Dengan erat Tristan mendekap tubuh rapuh Shanon, ia segera membawa sang sahabat meninggalkan tempat tersebut.
Langkah Tristan yang sudah menjauh terpaksa terhenti ketika menyadari sesuatu. Ia berbalik dan mendapati Vikha tidak mengikutinya. “Apakah kamu lebih memilih menonton kemesraan pasangan itu?” tanyanya datar kepada Vikha. Ia berusaha menyembunyikan emosinya saat menegur Vikha yang bergeming di tempat.
Vikha terkesiap saat nada datar menusuk indra pendengarannya, sehingga dengan spontan ia menggeleng. Vikha mengangguk dengan cepat ketika Tristan mengisyaratkan agar mengikutinya. Vikha berusaha mempercepat langkahnya agar tidak ditinggal oleh laki-laki yang sudah lama diharapkan menjadi kekasihnya. Walau rasa cemburu sering terlintas di benaknya ketika melihat kebersamaan Tristan dan Shanon, tapi ia selalu berusaha mengabaikannya, karena dirinya tidak mau dikatakan egois. Vikha juga selalu menasihati hatinya sendiri bahwa perhatian dan perlakuan Tristan kepada Shanon saat ini, tidak lebih dari kepedulian seorang sahabat. Waktu dirinya bersedih, Tristan juga akan memperlakukannya berbeda, sama seperti Shanon saat ini. Oleh karena itu, sekarang ia harus memaklumi keadaan dan pemandangan di hadapannya.
“Kita langsung pulang saja,” Tristan langsung membuat keputusan ketika melirik Vikha telah berjalan di sampingnya. Tangan laki-laki tersebut tetap setia merangkul pundak Shanon.
“Iya,” jawab Vikha pelan karena rasa bersalahnya. Namun, di bagian terdalam hatinya, ia merasa Tristan mengabaikan kehadirannya. Laki-laki itu terus berkata penuh kelembutan untuk menenangkan Shanon. Untung saja pengunjung Taman Ujung belum terlalu ramai, jadi ia tidak terlihat seperti obat nyamuk di antara Tristan dan Shanon.
Setelah berjalan kurang lebih dua puluh menit, ketiganya pun sampai di parkiran. Shanon dan Vikha diminta memasuki mobil lebih dulu oleh Tristan, sedangkan ia menuju bagasi mengambil snack serta minuman yang tadi dibelinya sebelum tiba di Taman Ujung.
“Sha, aku minta maaf karena secara tidak sengaja kembali membuatmu bersedih, sehingga liburan ini menjadi kacau,” pinta Vikha kepada Shanon yang duduk di kursi penumpang di belakangnya. “Andai saja aku tidak merekomendasikan Taman Ujung ke dalam daftar kunjungan liburan ini, pasti kita pulang dengan rasa bahagia, terutama untukmu,” imbuhnya benar-benar merasa bersalah.
Shanon menyusut air matanya dengan tissue di pangkuannya sebelum menanggapi ucapan Vikha. “Ini bukan salah siapa pun, jadi hilangkan rasa bersalahmu, Kha. Seharusnya aku yang meminta maaf kepada kalian, karena telah membuat sisa liburan kita menjadi berantakan,” Shanon balik meminta maaf. “Sial! Kenapa aku harus bercucuran air mata hanya karena melihat seorang mantan melakukan foto pre-wedding,” umpatnya pada diri sendiri sambil kembali menyeka air matanya.
“Wajar kamu menangis ketika melihat mantanmu melakukan foto pre-wedding, sebab hatimu bukan terbuat dari baja,” Tristan menimpali setelah memasuki mobil. “Jangankan melihat langsung sesi pemotretan pre-wedding sang mantan, aku yakin kalian menonton drama romantis saja pasti bercucuran air mata,” sambungnya dengan nada mengejek. Ia berharap mampu mengalihkan suasana melankolis di dalam mobil.
Wajah Vikha langsung tersipu mendengar ejekan Tristan, meski laki-laki itu belum pernah melihatnya langsung saat menonton drama romantis. Reaksi Shanon berbeda dengan Vikha, ia hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Tristan yang sengaja menyindirnya. Shanon pernah diejek habis-habisan oleh Tristan karena tertangkap basah tengah menangis saat menonton drama romantis. Saat itu tanpa pemberitahuan terlebih dulu, Tristan mendatangi kontrakannya untuk meminjam uang ketika ingin mencari menu makan malam, sebab dompet sahabatnya tersebut ketinggalan.
“Jangan asal menuduh, Tris,” tegur Vikha. “Memangnya kamu pernah menemani perempuan menonton drama romantis?” selidiknya setelah Tristan menyalakan mesin mobil dan mulai menjalankannya perlahan.
Shanon akhirnya menghela napas lega. Dari posisinya ia melihat kehadiran Tristan yang kini sedang berjalan santai ke arahnya. Tanpa membuang waktu Shanon langsung mendorong Richard agar tubuhnya terbebas dari impitan laki-laki tersebut. Ia mengusap bergantian pergelangan tangannya yang terasa kebas karena dipegang cukup erat oleh Richard.“Hai, Richard,” sapa Tristan tanpa memperlihatkan emosi yang telah menyelimuti hati dan pikirannya. “Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu sekeluarga?” tanyanya berbasa-basi.“Untuk apa kamu datang kemari?” Richard mengabaikan pertanyaan basa-basi yang Tristan lontarkan. Sambil memasukkan sebelah tangannya ke saku celana yang dipakainya, ia menatap Tristan tak bersahabat.Bibir Tristan menyunggingkan senyum tipis. Walau tangannya sudah sangat gatal ingin menghajar laki-laki yang kini sedang menatapnya dengan angkuh, tapi ia berusaha keras untuk tetap bersikap tenang. Ia tetap melangkahkan kakinya dengan santai menuju tempat Shanon berdiri.
Bukannya mereda, semakin malam hujan kian menderas. Sebelum tidur Shanon membawakan bantal dan selimut untuk Tristan yang masih sibuk memainkan game di ponselnya. Tristan akan menggunakan sofa yang ada di ruang tengah untuk tidur. Baru saja Tristan membaringkan tubuhnya di atas sofa setelah usai bermain game, tiba-tiba ia merasa perutnya kembali mulas. Sejak mulai bermain game Tristan sudah beberapa kali ke kamar mandi yang ada di samping dapur. Awalnya ia hanya menganggap sakit perut biasa, tapi ternyata dugaannya keliru. Selain sakit, kini perutnya juga terasa panas dan perih. Hal tersebut diakibatkan karena saat makan malam tadi ia menghabiskan empat bungkus sambal.Setelah beberapa menit berada di dalam kamar mandi, akhirnya Tristan keluar sembari memegang perutnya. Ia menghapus keringat di keningnya sambil berjalan pelan menuju kamar Shanon untuk menanyakan obat sakit perut.“Sha,” Tristan memanggil Shanon seraya mengetuk pin
Tristan tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Shanon, karena dua rekan kerja di divisinya sedang absen. Ia dan Shanon pun sama-sama sibuk mengambil alih pekerjaan milik kedua rekannya yang sedang absen tersebut. Bahkan, saat jam makan siang pun mereka lewati secara terpisah. Mereka berbicara atau berinteraksi hanya sebatas urusan yang menyangkut pekerjaan.Sambil menunggu layar komputer di depannya mati, Tristan menyandarkan punggungnya yang kaku pada kursi kebesarannya. Bahkan, kini ia telah melepas kacamatanya yang sangat berjasa membantu matanya bekerja. Ia juga menyempatkan diri untuk memejamkan matanya sejenak, agar otot-otot pada indra penglihatannya tersebut dapat beristirahat, meski hanya sebentar. Baginya hari ini benar-benar sangat melelahkan sekaligus mengesalkan. Bagaimana tidak, ia dan rekan-rekan di divisinya terpaksa harus lembur karena diminta menyiapkan laporan untuk rapat dadakan yang akan diadakan besok pagi. Akhirnya mereka pun pulang saat ja
Shanon terpaksa menolak ajakan Vikha berolahraga di lapangan Niti Mandala yang ada di Renon, sebab ia akan menggunakan waktu liburnya untuk mengunjungi sang ibu. Walau Vikha terlihat kecewa atas penolakannya, tapi sahabatnya tersebut memaklumi alasannya. Untung saja ketika Vikha mendatangi kontrakannya, ia masih bersiap-siap sebelum berangkat ke rumah sang ibu. Awalnya Shanon ingin berangkat kemarin sore, sepulangnya dari kantor, tapi karena Anita meminta diantar sekaligus ditemani ke rumah sakit menjenguk sepupunya, jadi niatnya pun terpaksa ditunda.Kedatangan Shanon membuat Nola yang baru saja menyelesaikan kegiatannya menyapu halaman rumah terkejut, pasalnya sang anak tidak mengabarkan terlebih dulu akan pulang. “Kenapa kamu tidak mengabari Mama terlebih dulu, Nak?” tanyanya setelah Shanon turun dari motor dan mencium punggung tangannya.“Aku sengaja memberi kejutan Mama,” jawab Shanon asal sambil menyengir. Ia memeluk wanita yang sangat dihormati dan dicintainya dengan penuh kasi
Nola sudah pulang dari rumah sakit, Shanon pun telah kembali bekerja seperti biasa. Untung saja dua hari izin tidak membuat pekerjaannya menumpuk, sehingga ia bisa bernapas lega. Shanon tersenyum canggung kepada Tristan yang baru saja memasuki ruangan, ketika ia mengalihkan tatapannya dari layar monitor.“Bagaimana keadaan ibumu?” tanya Tristan yang telah berada di samping meja kerja Shanon.“Baik,” Shanon menjawab sedikit canggung, tapi ia tetap menyunggingkan senyum.“Tidak ada luka serius?” Tristan kembali bertanya setelah duduk.Shanon menggeleng sembari memberanikan diri menatap Tristan sedikit lebih lama. “Terima kasih sudah peduli terhadap keadaan ibuku, Tris,” pintanya tulus.Tristan hanya menanggapi ucapan terima kasih Shanon dengan anggukan.Sikap Tristan yang terlihat enggan berlama-lama berinteraksi dengannya membuat Shanon mengembalikan tatapannya pada layar monitor di depannya. Ia tidak keberatan jika sekarang Tristan yang ingin menjaga jarak dengannya. Menurutnya sangat
Tristan datang ke kantor dengan tidak bersemangat karena kurang tidur akibat memikirkan keadaan Talitha yang hingga kini belum memberi kabar. Sebelum berangkat ke kantor Tristan sempat menghubungi ponsel sang kakak, sayangnya tidak ada respons. Ketika ia kembali ingin mencoba menghubungi sang kakak, suara Anita yang tengah menanyakan keberadaan seseorang langsung menarik minatnya. Walau bukan dirinya yang ditanya, tapi Tristan refleks menoleh ke meja kerja di sampingnya dan tidak melihat sang pemilik berada di sana seperti biasa.“Shanon hari ini izin, katanya ada urusan keluarga yang sangat mendadak,” Bu Utami, wanita tambun yang menjadi manager di divisi keuangan memberi informasi sekaligus menjawab keingintahuan Anita mengenai ketidakhadiran Shanon. “Shanon memberi kabar sebelum saya berangkat ke kantor,” sambungnya.Pemberitahuan Bu Utami membuat pikiran Tristan kini terpecah, antara memikirkan keadaan sang kakak dan rasa penasarannya terhadap urusan keluarga Shanon. Baru saja Tri