“Selamat pagi,” sapa Zen ketika Lea menggeliat dan membuka sedikit kelopak matanya.
Pergulatan panas semalam menyisakan rasa lelah yang teramat sangat hingga Lea betah meringkuk di bawah selimut dengan tubuh polos. Wanita itu terlalu nyaman berada di sana, sampai dia terbangun di saat matahari sudah bergerak semakin tinggi. Rasa lelah akibat bercinta dengan sang suami membuatnya ingin menghabiskan waktu lebih banyak untuk tetap berada di atas tempat tidur. Bergelung di bawah selimut seharian terdengar seperti sebuah ide yang brilian untuk memulihkan tenaga sebelum Zen kembali “menghajarnya” tanpa ampun.
“Kau sudah bangun?” tanya Lea dengan suara serak yang semakin terdengar serak karena baru bangun dari tidur. Wanita itu menarik dan merapatkan selimut hingga batas leher.
Zen berjalan ke arah ranjang dengan sebuah cangkir keramik di tangannya. Aroma kafein yang begitu harum, menyapa indera penciuman Lea selagi Zen mengikis jara
Keterdiaman Zen semakin memperbesar tanda tanya di benak Lea. Untuk beberapa saat mereka sama-sama diam, bertahan dengan ego masing-masing. Lalu Zen menarik kedua sudut bibirnya ke atas, menimbulkan suara dengkusan pelan.“Kemarilah,” pinta Zen seraya beringsut merapatkan diri dengan Lea.Pria itu menghela napas sembari mendekap sang istri dan menciumi kepalanya. “Kau perlu sedikit santai, Sweet Cake. Terlalu tegang tidak akan baik untuk kesehatanmu,” ucap Zen.Lea menengadah, melihat wajah sang suami dari bawah. “Jangan mengalihkan pembicaraan, Zen. Apa menurutmu aku sebodoh itu?” tanya Lea.Zen tidak mengira kalau Lea sudah sepenasaran itu terhadap masalah yang dia hadapi. Namun ini belum saatnya bagi Lea untuk mengetahui terlalu jauh tentang urusannya, bahkan mungkin Zen tidak akan membiarkan Lea terlalu jauh terlibat. Ah, salah! Zen tidak akan pernah membiarkan wanita itu terlibat dalam segala urusan yang berhubunga
“Merindukanku, Tuan Aberdein?” Darah dalam tubuh Zen rasanya mendidih melihat senyum lebar dari pria yang sedang memutar haluan superyacht keluar dari jalur yang semestinya itu. Tatapan elangnya sama sekali tak beralih dari sosok tersebut. “Bagaimana kabarmu?” tanya pria itu, yang tak lain adalah Brewster. Zen mengatupkan bibir rapat-rapat, sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan tersebut meski di dalam hatinya mnyimpan pertanyaan besar yang membuat hasrat membunuhnya kembali terpanggil. Bagaimana bisa Brewster berdiri di hadapannya dalam keadaan baik-baik saja? Memang terdapat bekas luka tambahan di wajahnya, yaitu bekas luka bakar yang memanjang di sisi kiri wajah pria itu. Masih tampak memerah, dan bisa dipastikan bahwa luka itu belum lama tertanam di sana. “Terkejut melihatku masih hidup?” Brewster merentangkan kedua tangan dengan senyum lebar yang semakin membuat Zen ingin segera menghabisinya. Menarik napas pelan, mengontrol emosi ya
Sayup-sayup suara tawa seseorang dan suara gelas yang beradu menyapa indera pendengaran Zen. Rasa sakit yang menusuk-nusuk kepala membuat pria itu tak dapat menggerakkan kelopak mata yang memejam. Tak hanya kelopak mata saja yang terasa sulit untuk digerakkan, sekujur tubuh Zen pun tak dapat bergerak. Tangan dan kaki pria itu terasa kebas. Rasanya seperti diikat dengan sangat kuat menggunakan tambang. Diikat? Ah, Zen baru ingat jika di superyacht itu sedang ada dua bajingan yang berusaha untuk membunuhnya. Tidak heran jika dirinya kini berakhir dengan tangan dan kaki terikat. Dia bisa merasakan kedua tangannya saling menyentuh. Itu berarti kedua tangannnya tidak diikat pada sesuatu, tapi hanya diikat menjadi satu di belakang tubuhnya. Oh, bukan! Lebih tepatnya diikat di belakang punggung kursi. Tidak salah lagi. Biarpun tak melihat secara langsung, Zen tahu jika dirinya tengah duduk dan diikat pada sebuah kursi. Kedua kakinya pun tak dapat bergerak karena ter
Hening, hanya suara napas dan degup jantungnya sendiri yang mampu didengar oleh Lea. Wanita itu mengerjap pelan, seperti sedang berada dalam slow motion. Otaknya terasa kosong untuk beberapa saat. Lalu satu persatu suara yang menghilang itu kembali memenuhi indera pendengaran Lea. “Zen!” serunya. Panik dan takut bercampur menjadi satu dan berhasil mengoyak benak Lea hingga hancur berkeping-keping. Melupakan perintah untuk kembali ke stateroom dan menghubungi Arthur, Lea berbalik. Wanita itu memutar langkah, berlari menaiki anak tangga menuju deck dengan tergesa-gesa. Begitu sampai di ujung tangga tertinggi, Lea langsung memutar pandangan ke sekitar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Beberapa meter darinya, Lea dapat melihat Zen yang menekuk lutut dengan kepala menunduk. Suara erangan pria itu juga dapat didengar oleh Lea, menunjukkan bahwa ada rasa sakit yang teramat besar, yang dia rasakan. Sebuah peluru baru saja menembus paha kiri Zen. “Zen!” seru Lea de
Perasaan bersalah menggerogoti hati Lea kala melihat suaminya berduel dengan Brewster. Lea tahu betul Brewster itu pria seperti apa. Tubuhnya seperti besi, seolah tak mempan dipukul. Tak perlu bertanya dari mana Lea mengetahuinya, karena wanita itu pernah mencoba sendiri. Dia pernah memukul Brewster menggunakan balok kayu, tapi pria itu tetap bergeming dan justru balok kayu itu yang patah.“Maafkan aku, Zen … maafkan aku,” lirih Lea sambil mengatupkan kedua telapak tangan dan menempelkan ujung jemarinya ke bibir. Rapalan doa terus dia ucapkan dalam hati untuk kemenangan sang suami. Wanita itu bahkan terus menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi.Beberapa kali Lea memejam, tak sanggup melihat berbagai macam tendangan dan pukulan yang mendarat di tubuh Zen, hingga berkali-kali pula pria itu tersungkur di lantai. Teriakan dan erangan kesakitan terus terdengar, baik dari mulut Zen maupun Brewster. Meski dengan kaki dan tangan yang terluka, nyat
Hancur.Tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang sangat dicintai. Terlebih lagi jika orang itu harus meregang nyawa karena menyelamatkan orang terkasih. Begitupun yang dirasakan Lea saat ini. Melihat Zen terkulai lemas dalam pangkuannya sungguh meremukkan hati. Jika bisa mengulang waktu, dia tidak akan melakukan tindakan sok berani dan membiarkan Zen memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dari Bram dan Brewster. Namun menyesal pun tak akan mengubah keadaan yang terjadi.Seluruh tubuh Lea terasa lemas, seolah tak bertulang. Dia meraung, tidak siap jika Zen harus meninggalkannya. Wanita itu bersimpuh seraya mendekap kepala Zen, menjerit, meneriakkan nama pria itu. Sekeras apa pun dia mengguncang tubuh sang suami, nyatanya pria itu tak jua membuka kelopak mata.“Zen! Buka matamu, Sayang …. Jangan tinggalkan aku …,” rintih Lea yang nyaris tak dapat bersuara lagi.Siapa pun yang mendengar tangisnya pasti t
Dalam hatinya, Lea mulai menghitung. Degup jantung yang begitu menghentak membuat dadanya kian sesak. Ini gila. Lea belum pernah merasakan jantungnya berdetak secepat ini sebelumnya. Bahkan ketika ketakutannya kepada Bram sedang berada di titik puncak, dia tak pernah merasa seperti ini.Satu gerakan kecil. Ya … hanya butuh satu gerakan kecil dari telunjuknya, maka Lea akan segera bertemu dengan Zen. Wanita itu hanya perlu menggenggam kuat-kuat senjata semi otomatis itu dan menarik trigger-nya. Semudah dan sesederhana itu. Namun kenyataannya, jari Lea terasa kaku, sangat sulit untuk digerakkan.“Aarrgh!” Lea menengadah, menjerit sekencang-kencangnya lantas tertunduk lemas.Wanita itu terus berteriak, memaki dirinya sendiri yang tak bernyali untuk menyelesaikan apa yang harus dia tuntaskan. Dengan senjata yang masih dalam genggamannya, Lea menutup wajah dan meraung sejadinya.“Kenapa aku tidak bisa melakukannya?” sesal w
Duduk di kabin belakang sebuah mobil SUV, Lea menatap kosong ke arah jendela. Beberapa waktu lalu, dia baru saja menginjakkan kaki di dermaga. Seperti yang dikatakan Jhonatan, seseorang datang menjemputnya di superyacht. Sebuah mantel tebal membungkus tubuh indahnya yang terdapat banyak noda darah. Pikiran Lea belum bisa tenang meski Jhonatan mengatakan bahwa pria itu akan menyelamatkan Zen. Masih saja ada ketakutan jika sang suami tidak akan bisa bertahan hingga mereka tiba di tempat yang dituju. Mobil yang ditumpangi Lea terus melaju seolah tanpa hambatan. Entahlah, mungkin karena Lea yang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga dia tidak mengetahui situasi sekitar. Dua pria yang duduk di kabin depan pun tak ada yang mengajaknya berbicara atau sekadar menanyakan keadaannya. “Kau akan baik-baik saja, Zen. Aku akan menunggumu kembali. Kita akan bersama lagi, Sayang,” gumam Lea dengan jemari yang saling bertaut dan mata memejam. Banyak sekali doa yang d