Sayup-sayup suara tawa seseorang dan suara gelas yang beradu menyapa indera pendengaran Zen. Rasa sakit yang menusuk-nusuk kepala membuat pria itu tak dapat menggerakkan kelopak mata yang memejam. Tak hanya kelopak mata saja yang terasa sulit untuk digerakkan, sekujur tubuh Zen pun tak dapat bergerak. Tangan dan kaki pria itu terasa kebas. Rasanya seperti diikat dengan sangat kuat menggunakan tambang.
Diikat?
Ah, Zen baru ingat jika di superyacht itu sedang ada dua bajingan yang berusaha untuk membunuhnya. Tidak heran jika dirinya kini berakhir dengan tangan dan kaki terikat. Dia bisa merasakan kedua tangannya saling menyentuh. Itu berarti kedua tangannnya tidak diikat pada sesuatu, tapi hanya diikat menjadi satu di belakang tubuhnya. Oh, bukan! Lebih tepatnya diikat di belakang punggung kursi.
Tidak salah lagi. Biarpun tak melihat secara langsung, Zen tahu jika dirinya tengah duduk dan diikat pada sebuah kursi. Kedua kakinya pun tak dapat bergerak karena ter
Yang pernah baca Refuse to Lose pasti tahu siapa Evangeline patricia, hehehe
Hening, hanya suara napas dan degup jantungnya sendiri yang mampu didengar oleh Lea. Wanita itu mengerjap pelan, seperti sedang berada dalam slow motion. Otaknya terasa kosong untuk beberapa saat. Lalu satu persatu suara yang menghilang itu kembali memenuhi indera pendengaran Lea. āZen!ā serunya. Panik dan takut bercampur menjadi satu dan berhasil mengoyak benak Lea hingga hancur berkeping-keping. Melupakan perintah untuk kembali ke stateroom dan menghubungi Arthur, Lea berbalik. Wanita itu memutar langkah, berlari menaiki anak tangga menuju deck dengan tergesa-gesa. Begitu sampai di ujung tangga tertinggi, Lea langsung memutar pandangan ke sekitar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Beberapa meter darinya, Lea dapat melihat Zen yang menekuk lutut dengan kepala menunduk. Suara erangan pria itu juga dapat didengar oleh Lea, menunjukkan bahwa ada rasa sakit yang teramat besar, yang dia rasakan. Sebuah peluru baru saja menembus paha kiri Zen. āZen!ā seru Lea de
Perasaan bersalah menggerogoti hati Lea kala melihat suaminya berduel dengan Brewster. Lea tahu betul Brewster itu pria seperti apa. Tubuhnya seperti besi, seolah tak mempan dipukul. Tak perlu bertanya dari mana Lea mengetahuinya, karena wanita itu pernah mencoba sendiri. Dia pernah memukul Brewster menggunakan balok kayu, tapi pria itu tetap bergeming dan justru balok kayu itu yang patah.“Maafkan aku, Zen … maafkan aku,” lirih Lea sambil mengatupkan kedua telapak tangan dan menempelkan ujung jemarinya ke bibir. Rapalan doa terus dia ucapkan dalam hati untuk kemenangan sang suami. Wanita itu bahkan terus menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi.Beberapa kali Lea memejam, tak sanggup melihat berbagai macam tendangan dan pukulan yang mendarat di tubuh Zen, hingga berkali-kali pula pria itu tersungkur di lantai. Teriakan dan erangan kesakitan terus terdengar, baik dari mulut Zen maupun Brewster. Meski dengan kaki dan tangan yang terluka, nyat
Hancur.Tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang sangat dicintai. Terlebih lagi jika orang itu harus meregang nyawa karena menyelamatkan orang terkasih. Begitupun yang dirasakan Lea saat ini. Melihat Zen terkulai lemas dalam pangkuannya sungguh meremukkan hati. Jika bisa mengulang waktu, dia tidak akan melakukan tindakan sok berani dan membiarkan Zen memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dari Bram dan Brewster. Namun menyesal pun tak akan mengubah keadaan yang terjadi.Seluruh tubuh Lea terasa lemas, seolah tak bertulang. Dia meraung, tidak siap jika Zen harus meninggalkannya. Wanita itu bersimpuh seraya mendekap kepala Zen, menjerit, meneriakkan nama pria itu. Sekeras apa pun dia mengguncang tubuh sang suami, nyatanya pria itu tak jua membuka kelopak mata.“Zen! Buka matamu, Sayang …. Jangan tinggalkan aku …,” rintih Lea yang nyaris tak dapat bersuara lagi.Siapa pun yang mendengar tangisnya pasti t
Dalam hatinya, Lea mulai menghitung. Degup jantung yang begitu menghentak membuat dadanya kian sesak. Ini gila. Lea belum pernah merasakan jantungnya berdetak secepat ini sebelumnya. Bahkan ketika ketakutannya kepada Bram sedang berada di titik puncak, dia tak pernah merasa seperti ini.Satu gerakan kecil. Ya … hanya butuh satu gerakan kecil dari telunjuknya, maka Lea akan segera bertemu dengan Zen. Wanita itu hanya perlu menggenggam kuat-kuat senjata semi otomatis itu dan menarik trigger-nya. Semudah dan sesederhana itu. Namun kenyataannya, jari Lea terasa kaku, sangat sulit untuk digerakkan.“Aarrgh!” Lea menengadah, menjerit sekencang-kencangnya lantas tertunduk lemas.Wanita itu terus berteriak, memaki dirinya sendiri yang tak bernyali untuk menyelesaikan apa yang harus dia tuntaskan. Dengan senjata yang masih dalam genggamannya, Lea menutup wajah dan meraung sejadinya.“Kenapa aku tidak bisa melakukannya?” sesal w
Duduk di kabin belakang sebuah mobil SUV, Lea menatap kosong ke arah jendela. Beberapa waktu lalu, dia baru saja menginjakkan kaki di dermaga. Seperti yang dikatakan Jhonatan, seseorang datang menjemputnya di superyacht. Sebuah mantel tebal membungkus tubuh indahnya yang terdapat banyak noda darah. Pikiran Lea belum bisa tenang meski Jhonatan mengatakan bahwa pria itu akan menyelamatkan Zen. Masih saja ada ketakutan jika sang suami tidak akan bisa bertahan hingga mereka tiba di tempat yang dituju. Mobil yang ditumpangi Lea terus melaju seolah tanpa hambatan. Entahlah, mungkin karena Lea yang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga dia tidak mengetahui situasi sekitar. Dua pria yang duduk di kabin depan pun tak ada yang mengajaknya berbicara atau sekadar menanyakan keadaannya. āKau akan baik-baik saja, Zen. Aku akan menunggumu kembali. Kita akan bersama lagi, Sayang,ā gumam Lea dengan jemari yang saling bertaut dan mata memejam. Banyak sekali doa yang d
Rasa rindu yang kian mencekik membuat Lea tak sabar menunggu Zen kembali. Tahun bahkan sudah berganti, dan Zen tidak juga kembali. Wanita yang tengah duduk di atas tempat tidur itu menitikkan air mata. Di tangannya terdapat sebuah bingkai berisi foto pernikahan. "Aku merindukanmu, Zen," lirih wanita itu seraya mengusap kaca bingkai. Perlahan, pandangan Lea terangkat. Sudah lebih dari 7 bulan semenjak kejadian mengerikan di superyacht itu berlalu. Memang masih menyisakan trauma di dalam diri Lea. Namun, ada hal lain yang lebih membuatnya tersiksa dari sekadar trauma akibat kebengisan Bram, yaitu rasa kehilangan yang dirasakannya. Memang, Jonathan Graham mengatakan bahwa suaminya akan kembali dalam keadaan baik-baik saja. Hanya saja ... keterbatasan komunikasi y
"Ordo Messier." Apa atau siapa itu Ordo Messier? Semakin dalam saja kerutan di dahi Lea. Wanita itu sama sekali tidak pernah mendengar nama itu. Sekalipun tidak pernah. "Ordo ... Messier?" "Iya, Nyonya." Arthur mengangguk mantap. "Jadi ... apa atau siapa?" telisik Lea ingin tahu dengan bahu terangkat. Arthur menggeser posisi duduk, menjauhkan punggung dari sandaran kursi. Satu sikunya bertumpu pada meja. Pemilik tatapan setajam elang itu menyorot serius pada Lea yang menunggu jawaban darinya. "Illuminati, Freemason, Bilderberg, Skull and Bones ... pernah mendengar nama-nama itu?" Arthur melempar pertanya
Langkah kaki mengentak tegas dengan gema yang mengalun ganas menyusuri selasar menuju sebuah ruangan di mana beberapa orang dengan outfit berkelas tengah duduk mengitari sebuah meja berbentuk oval yang tepat berada di tengah-tengah ruangan. Persis di bawah chandelier mewah yang membuat ruangan itu terlihat begitu elegan dan indah.Beberapa penjaga yang berdiri di kanan dan kiri pintu membungkukkan badan, memberi hormat ketika pria dengan setelan jas putih—seputih rambut dan jambang yang menghiasi wajahnya itu memasuki ruangan.Dua pengawal yang berjalan di belakang pria itu memberi isyarat agar pintu segera ditutup rapat, sesaat setelah si pria berjambang itu memasuki ruangan. Sementara seorang pengawal mengikuti sang tuan masuk ke ruangan tersebut, seorang pengawal yang satunya lagi tampak berdiri di depan pintu dengan sikap waspada untuk mengawasi situasi di sana.“Perjetesi per vellain tim.”Semua orang yang ada di ruangan it