Beberapa saat kemudian, Erlangga sudah kembali dengan membawa air dan juga dedaunan yang hendak dijadikan obat untuk luka dalam pria paruh baya yang baru saja ia kalahkan.
“Mohon maaf, Ki Sanak. Aku terlalu lama meninggalkanmu,” kata Erlangga duduk di samping pendekar tersebut.
Erlangga langsung memberikan air minum, dan ia pun langsung mengobati luka memar yang di derita pendekar itu dengan menggunakan dedaunan yang sudah ia haluskan. Setelah itu, Erlangga meminta kepada pendekar tersebut untuk mengunyah daun yang ia percaya sebagai obat untuk luka dalam.
“Aku minta maaf karena sudah melukaimu, Ki Sanak,” ucap Erlangga tampak menyesali perbuatannya yang sudah melakukan pukulan keras kepada pendekar itu.
Tidak ada tabib mana pun yang bisa mengobati luka dalam akibat pukulan tersebut, hanya pemilik pukulan itu sendiri yang mampu mengobatinya. Sehingga menjadi alasan untuk Erlangga tidak meninggalkan pendekar tersebut dalam kondisi seperti itu.
Pendekar itu tersenyum dan bangkit, ia menatap tajam wajah Erlangga sembari mengulurkan tangan ke arah pendekar berwajah tampan itu.
“Perkenalkan aku Anggadita,” ucapnya memperkenalkan diri.
Erlangga langsung meraih uluran tangan Anggadita, dan balas memperkenalkan diri, “Aku Erlangga,” jawab Erlangga sambil tersenyum lebar.
Erlangga tampak semringah karena sudah mempunyai kawan baru saat itu. Di dalam hutan yang sepi dan sunyi, tak dapat dipungkiri bahwa keduanya memang butuh teman.
“Sekali lagi, aku meminta maaf kepada dirimu atas sikap sombongku tadi.”
“Tidak apa-apa, Ki Sanak. Aku sudah memaafkanmu,” jawab Erlangga, ia berharap Anggadita tidak mengulangi perbuatan seperti itu kepada orang lain.
Kedua pendekar berbeda usia itu terus berbincang dan bercerita tentang niat dan maksud mereka menginjakkan kaki di hutan tersebut.
Anggadita pun bercerita kepada Erlangga bahwa dirinya sudah hampir 31 hari berusaha untuk mendatangi Padepokan Kumbang Hitam. Namun, usahanya selalu gagal karena dalam perjalanan menuju ke bukit tersebut selalu dihadang oleh sekelompok makhluk gaib penguasa alas tersebut. Hingga pada akhirnya ia menyerah dan merasa prustasi, sehingga tumbuh niat jahat untuk menghalangi setiap orang yang hendak mengunjungi Padepokan Kumbang Hitam.
“Hari ini aku tidak akan melanjutkan perjalananku,” kata Erlangga lirih.
Anggadita bangkit sembari terus memegangi dadanya yang masih terasa sakit. “Kenapa?” tanya Anggadita meluruskan pandangan ke wajah Erlangga.
Erlangga tersenyum dan menoleh ke arah pendekar berjanggut tebal itu. “Aku diajarkan oleh ayahku, untuk selalu menolong orang yang sedang kesusahan,” jawab Erlangga.
Anggadita merasa kagum dengan budi pekerti baik yang ditunjukkan oleh pendekar muda itu, Anggadita tersenyum dan merangkul tubuh Erlangga seraya berkata lirih, “Hari ini, aku sudah menemukan pendekar muda yang merupakan seorang kesatria sejati,” desis Anggadita. “Di sini aku sudah punya gubuk kecil yang menjadi tempat tinggalku yang aku bangun dua minggu lalu,” sambung Anggadita.
Setelah itu, Anggadita mengajak Erlangga untuk singgah di gubuknya sebelum Erlangga melanjutkan perjalanannya hendak mendatangi Padepokan Kumbang Hitam.
Dengan senang hati, Erlangga pun mengikuti ajakan pendekar setengah baya itu. Erlangga membantu Anggadita untuk bangkit, dan keduanya langsung melangkah ke arah selatan dari tempat tersebut untuk menuju ke sebuah gubuk tempat tinggal pendekar berjanggut tebal itu.
“Ini tempat tinggalmu, Ki?” tanya Erlangga mengamati gubuk kecil yang berdiri kokoh di bawah tebing di kedalaman hutan itu.
“Iya, Pendekar. Mari kita istirahat!”
Anggadita dan Erlangga langsung duduk di sebuah bebalean yang terbuat dari bambu, dibuat khusus oleh Anggadita sebagai tempat duduk di beranda gubuk itu.
“Ki Sanak istirahat saja dulu!” kata Erlangga mengarah kepada Anggadita yang masih dalam keadaan lemah dan sedikit meringis menahan rasa sakit akibat luka terkena pukulan darinya. “Aku pastikan esok pagi Ki Sanak sudah pulih. Aku mohon maaf sudah melukai, Ki Sanak,” sambung Erlangga lirih.
“Aku percaya dengan ilmu pengobatan yang kau miliki,” ujar Anggadita tersenyum menatap wajah Erlangga.
Setelah itu, Anggadita meminta Erlangga untuk memasak singkong yang sudah tersedia di gubuknya, sebagai persiapan untuk makan mereka.
“Ya, sudah. Ki Sanak istirahat saja! Aku akan memasak air dan juga merebus singkong!” kata Erlangga bangkit dan langsung mencari kayu bakar di sekitaran tempat itu.
Anggadita sedikit merebahkan tubuh di atas bebalean menahan rasa sakit di bagian dadanya.
‘Pendekar itu ternyata mempunyai kesaktian tinggi, aku tak kuasa menandingi kesaktiannya,’ kata Anggadita dalam hati.
* * *
Keesokan harinya ....
Erlangga sudah melakukan latihan di halaman gubuk, Anggadita tampak kagum dengan gerakan-gerakan yang diperagakan oleh Erlangga.
“Ilmu bela dirimu hebat, Erlangga!” teriak Anggadita yang pagi itu sudah terlihat pulih dari luka yang dideritanya.
Erlangga menghentikan gerakkannya kemudian meloncat tinggi dan mendarat dengan sempurna di hadapan Anggadita.
“Ki Sanak sudah sehat?” tanya Erlangga mengusap peluh di wajah dengan menggunakan sehelai kain.
Anggadita tersenyum dan menjawab lirih pertanyaan dari pendekar tampan itu, “Dari semalam rasa sakit di dalam dadaku ini sudah tidak terasa lagi. Terima kasih, Pendekar.”
“Syukurlah kalau memang seperti itu. Nanti siang aku akan melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Kumbang Hitam,” kata Erlangga duduk di sebelah Anggadita.
“Aku ikut, Pendekar!” pinta Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga.
Erlangga tersenyum dan menganggukkan kepala tanda setuju dengan permintaan Anggadita.
Anggadita tampak bahagia dan merasa senang dengan sikap baik yang ditunjukkan oleh pemuda tampan itu. “Terima kasih, Pendekar,” ucap Anggadita tersenyum-senyum.
Sebelum berangkat ke padepokan yang hendak mereka tuju, kedua pendekar itu melakukan perburuan terlebih dahulu di sekitaran hutan yang tidak jauh dari gubuk tersebut.
Anggadita melakukan perburuan rusa dengan menggunakan tombak yang biasa ia lakukan dalam kesehariannya selama tinggal di tempat itu. Anggadita dan Erlangga sangat mahir dalam melakukan perburuan, mereka mendapatkan dua ekor rusa hanya dalam waktu sekejap saja.
“Ayo, kita pulang!” ajak Anggadita sambil menenteng dua ekor rusa berukuran sedang hasil buruannya itu.
“Biarkan aku yang membawa rusa itu!” pinta Erlangga.
Anggadita langsung menyerahkan dua ekor hasil buruannya itu kepada Erlangga, kemudian mereka langsung melangkah menuju ke arah gubuk yang jaraknya tidak jauh dari hutan tempat mereka berburu.
Baru beberapa langkah saja, kedua pendekar itu dikagetkan dengan munculnya seekor harimau buas berukuran besar yang secara tiba-tiba keluar dari semak-semak hutan, dan langsung menghadang perjalanan mereka.
Anggadita sudah melakukan kuda-kuda, ia sudah bersiap untuk menyerang seekor harimau berukuran besar itu.
“Tahan, Ki Sanak!” cegah Erlangga. “Biarkan aku yang menghadapinya!” sambungnya meletakkan dua ekor rusa hasil buruannya di atas tanah.
Erlangga sudah paham dalam mengahadapi binatang buas di hutan belantara. Karena sedari kecil, ia sudah terlatih dan sudah bisa beradaptasi dengan berbagai jenis binatang buas yang ada di hutan, termasuk dengan harimau.
Harimau tersebut mengaum sambil membuka mulutnya lebar-lebar, tampak seperti sedang kelaparan.
“Hati-hati, Erlangga!” teriak Anggadita tampak khawatir dan cemas melihat Erlangga berhadapan dengan binatang paling ditakuti itu.
Entah apa yang dilakukan oleh Erlangga saat itu, ia mulai melakukan interaksi dengan harimau tersebut. Hal itu membuat Anggadita tercengang dan terheran-heran dengan kemampuan yang dimiliki oleh pendekar muda itu. Erlangga ternyata mampu berkomunikasi dengan seekor binatang buas.
“Aku harap kau pergi dan jangan menghadang perjalananku!” pinta Erlangga berbicara di hadapan seekor harimau yang mengahadangnya.
Erlangga sedikit membungkukkan badan, kemudian meraih seekor rusa yang baru saja ia dapatkan dari hasil buruannya bersama Anggadita.
Setelah itu, Erlangga melempar seekor rusa yang sudah mati ke arah harimau tersebut. Sontak harimau itu langsung menyambarnya dan membawa lari rusa yang dilemparkan oleh Erlangga, sang Harimau masuk kembali ke dalam semak belukar.
“Ya, ampun, kenapa rusa itu kau berikan kepada harimau?” tanya Anggadita melangkah menghampiri Erlangga. Keningnya mengerut dalam tanda tidak paham dengan apa yang sudah dilakukan oleh Erlangga.
“Jatah kita hanya satu untuk hari ini, itu sudah cukup. Jangan melawan kodrat, Dewata akan murka!” ujar Erlangga meraih satu ekor rusa yang tersisa kemudian melanjutkan perjalanan menuju gubuk tempat tinggal Anggadita.
Anggadita pun langsung berjalan mengikuti langkah pendekar berwajah tampan itu. Ia hanya geleng-geleng kepala saja sambil berjalan mengikuti langkah Erlangga.
“Kepada binatang saja sudah baik, apalagi kepada manusia,” bisik Anggadita berdecak kagum melihat sikap baik yang ditunjukkan oleh pendekar muda yang baru ia kenal itu.
Setibanya di gubuk, mereka langsung membersihkan rusa tersebut dengan cara disembelih terlebih dahulu kemudian dicuci bersih dan langsung mereka panggang guling di atas bara api di samping gubuk.
Setelah rusa tersebut matang, mereka langsung makan bersama. Anggadita tampak lahap dan menikmati empuknya daging rusa hasil buruannya itu.
Tanpa sengaja tangannya menyentuh sebilah pedang milik Erlangga, Anggadita mengamati keindahan bentuk pedang tersebut.
“Aku mengenal pedang ini,” desis Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga.
Mendengar ucapan dari Anggadita, Erlangga tersenyum kemudian berkata lirih, “Kau tahu siapa pembuat pedang ini?” tanya Erlangga balas memandang wajah pendekar berjanggut tebal itu.
“Pembuat pedang ini adalah Mpu Surya Wisesa dari kerajaan Randakala dan pemiliknya adalah Prabu Sanjaya, dia adalah raja pertama kerajaan Kuta Tandingan,” tutur Anggadita menjawab pertanyaan Erlangga. “Tapi kenapa, pedang ini bisa berada di tanganmu? Seharusnya, hanya keturunan dari Prabu Sanjaya saja yang bisa memiliki pedang ini?” sambungnya mengerutkan kening.
Erlangga tersenyum, kemudian meletakkan tangan kirinya di atas pundak Anggadita.
“Nanti, Ki Sanak akan tahu sendiri siapa aku ini,” kata Erlangga kembali melanjutkan makannya.
Anggadita tampak penasaran mendengar ucapan dari Erlangga. Sehingga, ia pun berkata dalam hati, ‘Aku curiga, apakah pemuda ini merupakan keturunan Prabu Sanjaya? Aku harus mencari tahu, siapakah Erlangga ini.’
Selesai makan, kedua pendekar itu langsung bersiap untuk melakukan perjalanan mereka menuju ke puncak bukit, dalam rangka mengunjungi Padepokan Kumbang Hitam. Mereka mempunyai tujuan yang sama hendak menemui sang pemimpin padepokan tersebut.
“Ayo, Ki Sanak. Kita berangkat sekarang!” ajak Erlangga bangkit dari duduknya.
“Baiklah, Pangeran,” jawab Anggadita.
“Pangeran...?” sahut Erlangga mengangkat alis tinggi, ia tampak heran kenapa Anggadita bisa tahu kalau dirinya itu merupakan seorang pangeran.
‘Anggadita tahu dari mana kalau aku ini seorang pangeran?’ Erlangga bertanya-tanya dalam hati.
“Iya, Pangeran.” Anggadita bersimpuh di hadapan Erlangga seraya memberi hormat kepada pendekar muda itu.
Kemudian bangkit dan menjura kepada Erlangga. “Seperti apa yang aku duga semenjak bertemu denganmu. Kau ternyata pangeran dari kerajaan Kuta Tandingan yang selama ini aku cari,” kata Anggadita bersikap hormat terhadap Erlangga.
“Ya, sudah ... sekarang kau sudah tahu siapa aku. Aku harap kau bisa membantuku untuk merahasiakan identitasku ini!” pinta Erlangga tersenyum menatap wajah Anggadita.
“Baiklah, Pangeran.” Anggadita tampak semringah setelah mendengar pengakuan dari Erlangga bahwa dirinya merupakan Putra Mahkota kerajaan Kuta Tandingan seperti apa yang Anggadita duga sebelumnya.
Setelah itu, mereka langsung melangkah melakukan perjalanan menuju ke Padepokan Kumbang Hitam. Mereka tidak peduli dengan panasnya terik matahari yang menyengat menyentuh kulit, derasnya peluh terus bercucuran dari wajah kedua pendekar itu.
* * *
Sepanjang perjalanan, Anggadita sangat mengeluhkan jalanan yang sukar untuk dilewati dengan banyaknya tanaman liar berduri yang menghalangi jalan setapak, membuat Anggadita kelelahan. Dalam perjalanan itu, ia dan Erlangga harus berjibaku menebas pepohonan yang menghalangi jalan. Erlangga hanya tersenyum-senyum melihat sikap kawan barunya yang sudah terlihat letih sekali. "Kalau kau kelelahan, alangkah baiknya kita beristirahat terlebih dahulu!" ajak Erlangga lirih. Erlangga mengerti dengan kondisi kawannya itu. Mendengar saran dari Erlangga, Anggadita tampak senang dan menyambut baik saran dari kawannya itu. "Ya, sudah ... kita istirahat di sana saja!" jawab Anggadita menunjuk salah satu tempat di bawah pohon besar di samping jalan yang hendak mereka lewati. "Baiklah." Erlangga langsung melangkah ke tempat yang ditunjukkan oleh Anggadita. Anggadita berjalan terseok-seok mulai merasa lelah melangkah mengikuti Erlangga dari belakang, pandangannya mulai meredup tertutup peluh yang t
Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita tanpa perlawanan. Kemudian langsung mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali. Setelah itu, mereka langsung membawa Erlangga dan Anggadita ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada Ki Bayu Seta—guru besar padepokan tersebut. Erlangga dan Anggadita sedikit pun tidak melakukan perlawanan, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring oleh belasan pendekar menuju ke arah padepokan. Setibanya di padepokan, salah seorang pendekar yang sudah ikut menangkap Erlangga dan Anggadita, langsung memberitahu guru mereka yang saat itu sedang berada di dalam padepokan tersebut. “Guru, kami telah berhasil menangkap dua orang pendekar yang diduga kuat sebagai mata-mata,” kata pendekar itu sambil menjura kepada sang guru. Pendekar tersebut adalah Aryadana, ia merupakan murid senior di Padepokan Kumbang Hitam, yang dipercaya sebagai pemimpin para murid padepokan tersebut. Ki Bayu Seta tertawa kecil menanggap
Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya sudah tiba di saung padepokan, mereka membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka. Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah. Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu."Anggadita!" panggil Erlangga. "Iya, Pangeran," sahut Anggadita, ia langsung menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan tersebut. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!" "Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan langsung meraih panah dari tangan Anggadita. Setelah itu, Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan saung aula padepokan yang tidak jauh dari kamarnya. "Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga. "Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlan
Setibanya di dalam istana, Erlangga dan Anggadita dijamu meriah dengan berbagai makanan dan minuman. Mereka berdua diperlakukan layaknya tamu kehormatan kerajaan tersebut. Tak hanya itu, Erlangga dan Anggadita diberikan penghormatan khusus dari kerajaan dan didaulat sebagai tamu agung. "Pangeran jangan khawatir, buah-buahan dan makanan serta minuman yang aku hidangkan ini. Bukan makanan jin, melainkan makanan manusia khusus untuk Pangeran dan sahabat Pangeran!" tandas Prabu Wanakerta meyakinkan Erlangga yang tampak ragu menikmati hidangan yang sudah disuguhkan oleh para dayang istana kerajaan gaib itu. "Baiklah, Prabu. Aku percaya," sahut Erlangga tersenyum lebar. "Aku sudah tahu maksud dan niat Pangeran datang ke wilayah kerajaanku," ucap Wanakerta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga. Erlangga menoleh ke arah Anggadita, mereka saling bertatapan. Sejatinya mereka merasa heran dengan pernyataan dar
Kemudian ia langsung mengajak Anggadita untuk segera melangkah ke padepokan dan mengabarkan kejadian yang mereka alami kepada Ki Bayu Seta yang saat itu sedang dirundung kecemasan dan kekhawatiran terhadap mereka berdua yang sudah delapan hari menghilang tanpa jejak. Setibanya di gerbang padepokan, Erlangga dan Anggadita disambut riang gembira oleh para murid padepokan tersebut. "Lihatlah! Pangeran sudah kembali!" teriak salah seorang murid padepokan berlari masuk ke dalam padepokan hendak memberitahukan sang guru tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. "Guru, Pangeran dan Anggadita sudah kembali," kata salah seorang murid memberitahukan Ki Bayu Seta tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. Ki Bayu Seta tampak bahagia, kemudian bangkit dan langsung melangkah keluar menuju ke beranda padepokan. Di halaman padepokan Erlangga dan Anggadita sedang dikerumuni oleh para murid padepokan. Mereka tampak riang gembira menyambut hangat kembalinya Er
Para prajurit tersebut langsung melaporkan kejadian yang mereka alami kepada Prabu Rawinta—seorang penguasa tamak dan keji itu. "Hanya menangkap seorang pendekar saja kalian tidak becus!" bentak Prabu Rawinta murka terhadap para prajuritnya. Setelah itu, Prabu Rawinta langsung memerintahkan Jaya Menda yang menjabat sebagai panglima perang di kerajaan tersebut, untuk segera melakukan penyisiran ke setiap pelosok desa dan dusun-dusun yang ada di wilayah kerajaan Kuta Tandingan. Jaya Menda bergerak cepat dalam melaksanakan titah rajanya itu. Ia mengumpulkan para prajurit dan langsung membagi tugas serta membentuk beberapa kelompok pasukan yang akan disebar ke seluruh wilayah kerajaan tersebut, dalam rangka melakukan pencarian Randu Aji yang sudah membuat kegaduhan dengan melakukan banyak teror membantai para prajurit kerajaan Kuta Tandingan. Hal tersebut ternyata diketahui oleh Prabu Wanake
Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga. "Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya. "Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima. Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam. "Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima. "Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimil
Randu Aji dan kedua rekannya tertawa lepas melihat sikap Sugriwa berlari kencang karena merasa takut dengan gertakannya. "Aku kira nyalinya Sugriwa sebesar badannya," seloroh Soarna tak hentinya tertawa. Randu Aji sedikit menepuk pundak Soarna. "Kita sore ini langsung ke Padepokan Kumbang Hitam, kalian siapkan perbekalan untuk di jalan!" kata Randu Aji melangkah kembali menuju ke arah hutan. "Kira-kira tempatnya jauh tidak dari sini?" tanya Soarna sembari terus berjalan mengikuti langkah sahabatnya itu. "Lumayan jauh diperkirakan kita sampai ke sana menjelang senja," jawab Randu Aji mengarah kepada Soarna. "Kita akan hidup enak di sana tanpa harus seperti ini lagi," sambung Randu Aji terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat tinggal mereka yang berada di dalam hutan tersebut. Setibanya di sebuah gubuk yang berdiri kokoh di tengah hutan belantara, Randu Aji meminta kedua sahabatnya u