Home / Fantasi / Sang Pendekar / 4 Kedatangan Erlangga di Padepokan

Share

4 Kedatangan Erlangga di Padepokan

last update Last Updated: 2021-04-19 23:39:37

Setibanya di padepokan, salah seorang dari para pendekar itu langsung memberitahu guru mereka yang saat itu sedang berada di dalam padepokan tersebut.

"Guru, kami telah berhasil menangkap dua orang pendekar yang diduga kuat sebagai mata-mata," kata Aryadana, murid senior di Padepokan Kumbang Hitam yang dipercaya sebagai pemimpin para murid padepokan tersebut, melaporkan kepada Ki Bayu Seta dengan hormat.

Ki Bayu Seta tertawa kecil menanggapi laporan dari murid terbaiknya itu. "Hahaha ... apa kau yakin bahwa mereka adalah mata-mata?" Pria senja itu balas bertanya kepada Aryadana, dengan nada yang santai namun penuh perhatian.

Aryadana terdiam sejenak, kemudian berpaling ke arah kawannya sebelum menjawab pertanyaan dari sang guru. "Mohon maaf, Guru. Kami baru menduga, dan belum bertanya kepada dua pendekar itu." Ia menjawab dengan jujur, mengakui bahwa mereka belum memiliki bukti yang cukup untuk menuduh Erlangga dan Anggadita sebagai mata-mata.

Ki Bayu Seta mengerutkan keningnya, sedikit marah dengan kecerobohan murid seniornya itu. "Kalian sudah gegabah dalam mengambil tindakan!" hardiknya, dengan nada yang tegas namun tidak meninggi. Setelah itu, Ki Bayu Seta memerintahkan Aryadana untuk segera membawa Erlangga dan Anggadita masuk ke dalam.

"Bawa mereka ke sini!" perintah Ki Bayu Seta, dengan suara yang jelas dan berwibawa.

"Baik, Guru," jawab Aryadana menjura hormat, menunjukkan kesetiaan dan kesungguhannya dalam menjalankan perintah sang guru. 

Aryadana bangkit dan langsung melangkah keluar melaksanakan perintah gurunya. Ia membawa Erlangga dan Anggadita masuk ke dalam padepokan, dengan langkah yang cepat dan pasti. Setelah berada di dalam padepokan, Ki Bayu Seta meminta Aryadana untuk melepaskan tali yang mengikat tangan kedua pendekar yang dicurigai sebagai mata-mata.

"Bertindaklah dengan sikap yang cermat dan gunakan pikiran cerdas kalian! Lihat wajah mereka!" kata Ki Bayu Seta, tampak kesal dengan kecerobohan para muridnya yang bersikap gegabah tanpa bertanya terlebih dahulu kepada orang yang mereka anggap sebagai penyusup itu.

Aryadana segera melepaskan tali yang mengikat tangan Erlangga dan Anggadita, sambil menundukkan kepala sebagai tanda permohonan maaf.

"Mohon maaf, Guru. Kami memang gegabah," kata Aryadana, tampak merasa bersalah dengan apa yang sudah ia lakukan bersama pendekar lainnya terhadap Erlangga dan Anggadita.

Ki Bayu Seta menatap Aryadana dengan mata yang tajam, sebelum akhirnya mengungkapkan sesuatu yang membuat Erlangga terkejut.

"Harus kalian ketahui, ini adalah Pangeran Erlangga yang sudah dititipkan beberapa tahun lalu oleh Landuji kepadaku!" ucap Ki Bayu Seta, mengarah kepada para muridnya.

Erlangga terkejut dan merasa heran mendengar kalimat yang diucapkan oleh pria senja itu. 'Dari mana orang tua ini mengenalku?' kata Erlangga dalam hati, sambil menatap Ki Bayu Seta dengan rasa ingin tahu yang besar. Erlangga merasa bingung karena Ki Bayu Seta mengenalinya, padahal mereka belum pernah berjumpa sebelumnya.

Ki Bayu Seta bangkit dan melangkah menghampiri Erlangga dan Anggadita yang saat itu sudah duduk di hadapannya.

"Maafkan atas kecerobohan murid-muridku, Pangeran!" kata Ki Bayu Seta lirih, dengan nada yang penuh hormat. "Pangeran jangan bingung, kenapa aku bisa mengenali wajah Pangeran!" sambungnya tersenyum lebar memandang wajah Erlangga.

Erlangga balas tersenyum dan menjawab dengan ramah, "Tidak apa-apa, Guru! Aku sengaja datang ke sini sesuai titah Paman Landuji sewaktu masih hidup. Ia memintaku untuk mendatangi padepokan ini."

Ki Bayu Seta mengangguk, seolah-olah sudah mengetahui rencana tersebut. "Aku sudah tahu semua, Pangeran tidak perlu menceritakannya. Mulai hari ini, kalian berdua aku terima menjadi murid di padepokan ini!" tandas Ki Bayu Seta, tersenyum memandang wajah Erlangga dan Anggadita. "Kita himpun kekuatan di padepokan ini, untuk kembali merebut tahtamu yang hilang!" sambungnya, dengan mata yang berbinar-binar.

Erlangga sedikit mengajukan pertanyaan kepada Ki Bayu Seta, "Mohon maaf, Guru. Apa hubungan Guru dengan Ayahandaku?" 

Ki Bayu Seta tersenyum dan menjawab, "Aku adalah putra Mpu Surya Wisesa dari kerajaan Randakala, "Mpu Surya Wisesa adalah orang yang sudah membuat pedang yang kau bawa itu, Pangeran."

Erlangga hanya mengangguk sebagai tanda bahwa dirinya menanggapi perkataan Ki Bayu Seta dengan baik.

"Ayahku merupakan orang kepercayaan Aki Lamujeng yang tewas di negeri Mongol ketika melakukan kunjungan ke sana," lanjutnya menerangkan tentang jatidirinya dengan nada yang penuh kebanggaan. 

Erlangga mendengarkan dengan saksama, sambil memproses informasi yang baru saja diterimanya. Ia merasa bahwa Ki Bayu Seta adalah orang yang tepat untuk membantunya merebut kembali tahtanya yang hilang.

Erlangga semakin penasaran dan tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang hubungan antara Ki Bayu Seta dan keluarganya. "Mohon maaf, Guru. Siapakah Aki Lamujeng itu?" tanya Erlangga dengan rasa ingin tahu yang besar.

Ki Bayu Seta menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab pertanyaan Erlangga dengan nada yang tenang dan bijak. "Aki Lamujeng adalah kakek buyutmu dari mendiang ayahandamu!" terang Ki Bayu Seta, dengan mata yang bersinar penuh kebanggaan.

Erlangga merasa terkejut dan terharu mendengar jawaban Ki Bayu Seta. "Terima kasih, Guru. Kau telah memberitahukan tentang hal ini kepadaku," kata Erlangga sambil menjura, menunjukkan rasa hormat dan terima kasihnya.

Setelah itu, Ki Bayu Seta meminta kepada para muridnya untuk menjamu Erlangga dan Anggadita. "Ajak makan Pangeran dan sahabatnya ini! Jangan lupa kalian siapkan juga kamar untuk mereka berdua!" titah Ki Bayu Seta mengarah kepada Aryadana dan rekan-rekannya.

"Baik, Guru," jawab Aryadana, sambil bangkit dan langsung mempersiapkan jamuan makan untuk Erlangga dan Anggadita.

Anggadita memperhatikan perlakuan Ki Bayu Seta terhadap Erlangga, dan merasa bahwa Erlangga benar-benar dihormati oleh guru besar padepokan ini.

"Benar apa yang Pangeran katakan. Ternyata pemimpin padepokan ini sangat menghormati Pangeran," bisik Anggadita, sambil tersenyum. "Jadi, aku tidak perlu lagi menyembunyikan identitas Pangeran, karena mereka sudah mengetahuinya," sambungnya lirih, dengan nada yang penuh keyakinan.

****

Keesokan harinya, Erlangga dan Anggadita sudah mulai mengikuti latihan bersama dengan para pendekar lainnya yang secara rutin digelar setiap pagi untuk mengasah kemampuan ilmu bela diri mereka. Mereka berlatih dengan giat, mempersiapkan diri untuk melakukan gerakan pemberontakan terhadap pihak kerajaan.

Ki Bayu Seta mengamati Erlangga dengan mata yang terkesan, kagum melihat gerakan-gerakan yang diperagakan oleh Erlangga ketika melakukan latihan bersama murid-muridnya. Setelah latihan selesai, Ki Bayu Seta berdiri di hadapan Erlangga yang baru saja selesai melaksanakan latihan ilmu bela diri.

"Aku tidak akan mengajarkanmu silat, karena semua gerakan silat sudah kau kuasai dengan baik," kata Ki Bayu Seta, dengan nada yang penuh apresiasi. "Di malam Jumat legi, di saat bulan purnama, aku akan mengajarimu ilmu tenaga dalam yang belum bisa dikuasai oleh para murid-muridku di sini!" sambungnya, dengan mata yang bersinar penuh harapan.

Erlangga merasa terhormat dan bersyukur atas kesempatan yang diberikan oleh Ki Bayu Seta. "Terima kasih, Guru," ucapnya penuh hormat, sambil menjura untuk menunjukkan rasa terima kasihnya.

Ia tidak sabar untuk mempelajari ilmu tenaga dalam yang akan diajarkan oleh Ki Bayu Seta, dan berharap bahwa ilmu tersebut dapat membantunya dalam perjuangannya melawan pihak kerajaan yang kini dikuasai oleh para pengkhianat.

Siang harinya, Aryadana berangkat bersama Anggadita dan dua orang rekannya untuk berburu rusa di hutan yang terletak di bawah kaki gunung Sanggabuana, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari padepokan. Sebelum berangkat, mereka meminta ijin terlebih dahulu kepada Ki Bayu Seta selaku guru besar mereka.

"Mohon maaf, Guru. Izinkan kami untuk berangkat berburu!" ucap Aryadana dengan sikap yang sopan dan hormat terhadap sang guru.

Ki Bayu Seta memberikan ijin kepada para muridnya itu dengan senyum yang hangat. "Silakan, Aryadana! Tapi ingat, pulangnya jangan terlalu sore, banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan hari ini!" kata Ki Bayu Seta, memberikan peringatan yang bijak kepada murid-muridnya.

"Terima kasih, Guru. Kami pamit sekarang," kata Aryadana, sambil menjura untuk menunjukkan rasa hormatnya.

Setelah itu, Aryadana dan Anggadita beserta kedua rekannya langsung melangkah berlalu dari hadapan guru mereka, siap untuk memulai petualangan berburu mereka.

Keempat pendekar itu langsung berangkat untuk berburu dengan berbekal makanan dan peralatan berburu. Masing-masing membawa panah dan sebilah pedang, mereka berjalan menyusuri jalanan terjal mengarah ke sebelah selatan dari padepokan itu, dengan semangat dan kesegaran yang terpancar dari wajah mereka.

Sementara itu, Erlangga sedang berbincang santai di aula padepokan dengan dua gadis cantik yang merupakan putri angkat Ki Bayu Seta. Mereka berdiskusi dengan gembira, menikmati suasana yang damai dan harmonis di padepokan. Erlangga merasa nyaman dan betah berada di padepokan, dikelilingi oleh orang-orang yang ramah dan bersahabat.

Kedua gadis itu merupakan saudara kembar, Arimbi dan Arumbi, yang sedari kecil dirawat oleh Ki Bayu Seta dan mendiang istrinya. Mereka tumbuh besar di lingkungan padepokan, sehingga keduanya mempunyai kemampuan khusus di bidang ilmu bela diri, tidak kalah oleh para murid-murid ayah angkatnya.

"Sebenarnya, Pangeran ini sudah mempunyai kekasih belum, sih?" tanya Arimbi, yang merupakan kakak dari Arumbi, tersenyum simpul memandang wajah Erlangga.

Mendengar pertanyaan polos dari sang kakak, Arumbi tertawa lepas dan memukul pelan pundak kakaknya.

Erlangga hanya diam sambil tersenyum-senyum melihat sikap kedua gadis kembar itu. Arimbi, yang merasa sedikit tersinggung, mendelik ke arah adiknya. "Kenapa kau tertawa? Memangnya ada yang lucu dengan ucapanku?" hardik Arimbi, dengan nada yang sedikit meninggi.

"Habisnya, Kakak bicaranya terlalu polos," sahut Arumbi, tersenyum menahan tawa. 

"Yang harusnya menjawab itu, Pangeran tampan. Bukan kamu!" kata Arimbi, dengan nada yang ketus. Arimbi membalikan badannya mengarah kepada Erlangga, dengan ekspresi yang sedikit kesal.

Erlangga tetap tersenyum, menikmati interaksi yang lucu dan menyenangkan dengan kedua gadis kembar itu. Ia merasa bahwa Arimbi dan Arumbi adalah dua orang yang sangat menyenangkan dan memiliki kepribadian yang unik.

Arimbi memegang tangan Erlangga, kemudian mengulang pertanyaan yang belum dijawab oleh Erlangga.

Erlangga tersenyum dan menjawab singkat apa yang ditanyakan oleh Arimbi. "Aku belum punya kekasih," kata Erlangga lirih, dengan nada yang santai.

Arimbi tidak percaya, dan mengerutkan keningnya. "Wajah Pangeran ini tampan? Aku tidak percaya kalau Pangeran belum punya kekasih," kata Arimbi, dengan nada yang penasaran.

Arumbi, yang berada di sebelah Arimbi, tidak bisa menahan tawanya. "Sudah dijawab tapi masih penasaran dan tidak percaya," gerutu Arumbi, sambil tersenyum.

Arimbi langsung mendelik ke arah Arumbi. "Diam anak kecil! Ini urusan orang dewasa," hardik Arimbi, dengan nada yang sedikit meninggi.

Arumbi tidak mau kalah, dan membalas dengan nada yang sama. "Apa? Kau bilang aku anak kecil? Lahirnya saja bersamaan. Iya, kan?" protes Arumbi, dengan ekspresi yang lucu.

Erlangga tidak ingin keduanya ribut, dan memutuskan untuk melerai. "Sudah ... jangan ribut!" kata Erlangga, bangkit dan sedikit menggerak-gerakkan tubuhnya. 

"Pangeran mau ke mana?" tanya dua gadis kembar itu secara bersamaan.

"Ayo, kalau mau ikut!" jawab Erlangga, sambil melangkahkan kedua kakinya menuju ke arah barat.

"Tunggu, Pangeran!" teriak keduanya kompak, sambil berlari kecil menghampiri sang pangeran tampan yang kini menjadi sahabat mereka.

"Sebenarnya, Pangeran mau ke mana sih?" tanya Arimbi, terengah-engah.

"Ikut saja! Aku mau mencari Sulima," jawab Erlangga, dengan nada yang santai. 

Arimbi langsung cemas, dan mencoba mencegah Erlangga. "Jangan, Pangeran!" cegah Arimbi, dengan nada yang khawatir.

Erlangga menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah Arimbi. "Memangnya kenapa?" tanya Erlangga penasaran, keningnya mengerenyit.

"Bahaya, Pangeran. Dia itu siluman ganas dan bukan siluman biasa!" jawab Arimbi, dengan ekspresi yang cemas.

Erlangga tersenyum, dan memandang wajah cantik kedua gadis kembar itu. "Ya, aku tahu ... Sulima itu yang menguasai alam gaib yang ada di bukit ini, kan?" tanya Erlangga, dengan nada yang penasaran. 

Arimbi dan Arumbi saling menatap, dan keduanya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Pendekar   Maha Patih Akilang (Bab terakhir)

    Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa

  • Sang Pendekar   Serangan Mendadak Dari Pasukan Kerajaan Sirnabaya

    Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D

  • Sang Pendekar   Pergerakan Dari Pasukan Kuta Waluya

    Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda

  • Sang Pendekar   Kumba Sang Pendekar

    Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun

  • Sang Pendekar   Menjelang Perang Di Batas Kerajaan

    Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p

  • Sang Pendekar   Terbentuknya Kadipaten Conada

    Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status