 LOGIN
LOGINMereka melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Kumbang Hitam, tidak peduli dengan terik matahari yang menyengat kulit mereka. Derasnya peluh terus bercucuran dari wajah kedua pendekar itu, membuat mereka terlihat semakin lelah. Sepanjang perjalanan, Anggadita mengeluhkan jalanan yang sukar untuk dilewati, dengan banyaknya tanaman liar berduri yang menghalangi jalan.
Anggadita kelelahan, kaki dan tangannya dipenuhi luka goresan kecil karena seringnya menyentuh tanaman-tanaman berduri yang tumbuh liar di sepanjang jalan. Ia harus berjibaku menebas pepohonan yang menghalangi jalan yang hendak dilaluinya, membuat dirinya semakin lelah.
Sementara itu, Erlangga hanya tersenyum-senyum saja dari belakang, melihat sikap kawan barunya. "Kalau kau sudah lelah, alangkah baiknya kita istirahat saja dulu!" ajak Erlangga lirih, menunjukkan perhatiannya terhadap kondisi Anggadita yang sudah kelelahan.
Mendengar ajakan Erlangga, Anggadita tampak senang dan menyambut baik saran dari kawannya itu. "Ya sudah, kita istirahat di sana saja!" jawab Anggadita, menunjuk salah satu tempat di bawah pohon besar yang ada di bahu jalan.
"Baiklah," Erlangga mengangguk dan langsung melangkah ke tempat yang ditunjukkan oleh kawannya itu.
Anggadita berjalan terseok-seok, merasa lelah dan kehabisan tenaga setelah berjalan mengikuti langkah Erlangga dari belakang. Pandangannya mulai redup, tertutup peluh yang terus mengalir dari keningnya.
Setelah tiba di tempat tujuan, Erlangga langsung duduk bersandar di pohon yang rindang, menunjukkan kelelahan yang sama seperti Anggadita.
"Persediaan air minum kita sudah habis," desis Anggadita, sembari bersandar ke pohon dengan napas yang terengah-engah.
Anggadita duduk lemah di hadapan Erlangga, dengan keningnya yang bercucuran peluh membasahi wajahnya. Erlangga bangkit, kemudian meraih batang bambu berukuran sekitar dua jengkal telapak tangannya, yang biasa digunakan sebagai wadah air minum.
"Kau mau ke mana, Pangeran?" tanya Anggadita, dengan napas yang masih terengah-engah, menunjukkan kekhawatirannya terhadap Erlangga yang tampaknya hendak pergi mencari air. Anggadita berharap Erlangga tidak meninggalkan dirinya sendirian dalam keadaan lelah seperti ini.
"Aku mau mencari air minum, kau tunggu saja di sini. Jngan kemana-mana!" jawab Erlangga, bergegas melangkah untuk mencari sumber air terdekat di hutan tersebut.
"Hati-hati, Pangeran!" teriak Anggadita, khawatir atas keselamatan Erlangga.
"Iya," sahut Erlangga tanpa menoleh, melanjutkan langkahnya dengan cepat. Ia turun menyusuri lebatnya hutan, menebas pepohonan yang menghalangi jalan dengan gerakan yang gesit dan terampil. Setibanya di bawah, tampak sebuah sungai dengan air jernih mengalir dari pegunungan yang tidak jauh dari perbukitan itu.
"Syukurlah masih ada sumber air yang dapat aku temukan di tempat ini," desis Erlangga, melangkah mendekati sungai tersebut.
Ketika dirinya mulai berjongkok untuk meraih air, tiba-tiba terdengar suara tertawa dari arah belakang. "Hahaha...!" Suaranya menggema parau dan membuat gaduh telinga.
Setelah mengambil air, Erlangga bangkit dan langsung membalikkan badan ke arah belakang. Dilihatnya sesosok makhluk berambut gimbal dan mempunyai gigi bertaring sedang berdiri tegak di atas dahan pohon besar yang ada di pinggiran sungai itu. Makhluk itu menatap Erlangga dengan mata yang tajam dan penuh misteri.
"Siapa kau ini?" tanya Erlangga, tetap bersikap santai dalam menghadapi makhluk menyeramkan itu. Ia tidak menunjukkan rasa takut atau cemas, meskipun makhluk itu terlihat sangat aneh dan mengerikan. Erlangga menunggu jawaban makhluk itu dengan mata yang tetap waspada.
Tanpa menjawab, makhluk itu meloncat dan mendarat tepat di hadapan Erlangga, dengan gerakan yang gesit dan kuat. "Aku Sulima. Jin penguasa tempat ini," jawab makhluk itu dengan nada tinggi, sorot matanya tajam memandang wajah Erlangga. "Kau telah melanggar ketentuan di tempat ini," tambahnya, dengan nada yang semakin meninggi.
Erlangga hanya tersenyum, tidak mengindahkan sikap makhluk tersebut yang sudah bersiap untuk menyerang dirinya. Ia tetap tenang dan tidak menunjukkan rasa takut, meskipun Sulima terlihat sangat marah.
"Hai, anak muda! Apakah kau tuli?" seru Sulima dengan sombongnya, geram dengan sikap Erlangga yang hanya diam saja. Sulima menganggap bahwa Erlangga sudah menyepelekan dirinya, dan itu membuatnya semakin marah.
"Aku tidak ada kepentingan denganmu. Menyingkirlah!" Erlangga mulai melangkahkan kedua kakinya untuk kembali naik, menghampiri Anggadita yang sudah menunggu di atas sana.
Perkataan Erlangga membuat Sulima semakin geram, dan ia tampak marah sekali. Dengan mata yang bersinar dan wajah yang memerah, Sulima langsung menyerang Erlangga dengan gerakan yang cepat dan kuat. Erlangga siap untuk menghadapi serangan Sulima, dengan mata yang tetap waspada dan tubuh yang siap untuk bergerak.
Dengan sigap, Erlangga menangkis pukulan dari Sulima dan balas menghajar makhluk mengerikan itu dengan beberapa pukulan beruntun yang kuat. Sulima terjungkal dan jatuh terpuruk di hadapan Erlangga, tidak kuasa menahan gempuran jurus tenaga dalam yang dikerahkan oleh Erlangga.
"Maafkan aku, Sulima!" ucap Erlangga, kembali melanjutkan langkahnya tanpa menunjukkan rasa dendam. Namun, Sulima tidak jera, meskipun sekujur tubuhnya terasa sakit. Ia bangkit lagi dan kembali melakukan serangan untuk kedua kalinya, dengan mata yang bersinar dan wajah yang memerah karena marah.
Sulima melancarkan pukulan keras yang tepat mengenai bagian pundak Erlangga, membuat Erlangga kehilangan keseimbangan dan terjungkal ke tanah.
"Hahaha ..." Sulima tampak senang merayakan keberhasilannya yang sudah menjatuhkan Erlangga, dengan tawa yang keras dan penuh kemenangan.
Namun, keberhasilan Sulima tidak berlangsung lama. Erlangga mulai tersulut emosi dan bangkit dengan cepat. Ia langsung meloncat dengan gerakan salto yang indah, sembari melancarkan tendangan keras yang tepat mengenai kepala Sulima. Tendangan itu membuat Sulima terlempar ke belakang, dengan wajah yang penuh kejutan dan rasa sakit.
Sulima pun akhirnya jatuh bergelimpangan, darah segar keluar dari mulut dan hidungnya. Seketika, ia menghilang dalam sekejap, meninggalkan pesan terakhir untuk Erlangga yang menggantung di udara. "Tunggu pembalasanku, Manusia!"
Erlangga tidak menghiraukan ancaman makhluk tersebut, ia langsung kembali melanjutkan langkahnya menghampiri Anggadita.
Setibanya di hadapan Anggadita, Erlangga langsung menyerahkan air minum kepada kawannya itu. "Kau minum dulu!" Anggadita terus memandang wajah Erlangga dengan penuh perhatian.
"Mengapa bibir Pangeran berdarah?" tanya Anggadita, mengerutkan keningnya sambil mengamati darah yang mengalir dari bibir Erlangga.
"Tidak apa-apa, tadi aku hanya terpeleset di sungai," jawab Erlangga berkelit, sambil menyeka darah dari ujung bibirnya dengan gerakan yang santai.
Anggadita tertawa lepas, "Hahaha ... seorang pendekar masih saja terpeleset," kata Anggadita, meraih wadah air minum dari tangan Erlangga dengan senyum yang lebar.
Setelah itu, keduanya langsung membuka perbekalan yang mereka bawa. Anggadita mengeluarkan beberapa potong singkong dan pisang rebus sebagai persediaan makanan mereka selama dalam perjalanan. Mereka berdua kemudian duduk bersama, menikmati makanan sederhana sambil memulihkan tenaga setelah perjalanan yang melelahkan. Suasana menjadi lebih santai, dan mereka berdua dapat menikmati keindahan alam sekitar dengan lebih tenang.
Setelah hampir satu jam beristirahat, kedua pendekar itu kembali melanjutkan perjalanan mereka, dengan tujuan untuk segera tiba di Padepokan Kumbang Hitam yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat peristirahatan mereka. Namun, mereka harus siap menghadapi tantangan yang akan datang, karena jalan yang akan mereka lewati cukup banyak rintangan dan halangan.
Di sepanjang jalan tersebut, dipenuhi oleh tanaman liar yang dahan dan tangkainya penuh duri menjulur menghalangi jalan, membuat perjalanan mereka semakin sulit dan melelahkan. Mereka harus berhati-hati dan waspada, agar tidak terluka oleh duri-duri yang tajam.
Dengan keberanian dan ketabahan, mereka berdua siap menghadapi segala rintangan yang ada di depan mereka, demi mencapai tujuan mereka di Padepokan Kumbang Hitam. Anggadita dan Erlangga terus melangkah dengan menebas-nebaskan pedang membabat tanaman yang jadi penghalang.
Beberapa jam kemudian, keduanya sudah sampai di ujung bukit, dan dari kejauhan sudah terlihat sebuah bangunan sederhana yang berdiri kokoh di tengah perbukitan itu.
"Itu, Pangeran!" kata Anggadita, tampak semringah sambil meluruskan jari telunjuknya ke arah bangunan sederhana yang ada di depan sana.
Erlangga pun tersenyum dan kembali mengajak kawannya itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. "Ayo, kita harus segera sampai di gubuk itu!".
"Baik, Pangeran."
"Di sini tempatnya sungguh indah, namun dibutuhkan perjuangan yang keras untuk sampai ke tempat ini," kata Erlangga sembari terus melangkah menuju Padepokan Kumbang Hitam yang hanya tinggal beberapa meter lagi.
Anggadita mengikuti langkah Erlangga, sambil berkata lirih, "Aku dulu pernah sampai di sini, namun aku diusir oleh murid-murid Padepokan Kumbang Hitam. Mereka curiga dan menganggapku sebagai mata-mata dari pihak musuh." Anggadita terdiam sejenak, mengenang pengalaman pahitnya di masa lalu. "Tapi, dulu jalannya masih enak, tidak seperti sekarang," sambungnya lirih.
Tiba-tiba, tanpa disadari oleh Erlangga dan Anggadita, dari arah belakang ada beberapa pendekar yang sudah bersiap hendak menangkap mereka. Para pendekar itu menganggap bahwa Erlangga dan Anggadita sebagai mata-mata dari pihak musuh yang sudah menyusup ke dalam wilayah mereka.
"Berhentilah kalian!" seru salah seorang di antara mereka, dengan suara yang keras dan tegas.
Erlangga dan Anggadita terkejut, dan langsung menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang berbicara.
Mereka merupakan para pendekar murid Ki Bayu Seta, pemimpin Padepokan Kumbang Hitam yang terkenal dengan keberanian dan kesaktiannya.
Erlangga dan Anggadita menghentikan langkah sejenak dan berbalik arah ke belakang, menyaksikan belasan pendekar muda yang sudah bersiap melakukan serangan terhadap mereka.
"Kau tenang saja, kita jangan melawan!" bisik Erlangga kepada Anggadita yang sudah siap siaga untuk menghadang serangan dari para pendekar itu. "Aku yakin, kalau kita menyerahkan diri, mereka tidak akan mencelakai kita," sambungnya dengan suara yang tenang dan meyakinkan.
"Baik, Pangeran," jawab Anggadita, kembali bersikap biasa-biasa saja dan tidak melakukan reaksi apa pun.
Para pendekar itu kemudian maju, dengan senjata masing-masing terarah kepada Erlangga dan Anggadita.
"Tangkap mereka, dan langsung bawa ke hadapan guru!" titah seorang pemimpin dari kelompok pendekar itu, dengan suara yang keras dan berwibawa.
Para pendekar lainnya langsung menghampiri Erlangga dan Anggadita, menudingkan senjata mereka dan menjulur ke arah berdirinya kedua pendekar yang mereka anggap sebagai musuh.
"Silakan tangkap kami!" kata Erlangga penuh kepasrahan, tanpa menunjukkan rasa takut atau cemas.
"Tangkap kedua orang asing ini dan ikat mereka!" titah pria bertubuh kekar mengarah kepada rekan-rekannya.
Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita, kemudian mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali dan membawanya ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada guru mereka.
Erlangga dan Anggadita tidak melakukan perlawanan apa-apa, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring untuk menghadap guru besar di padepokan tersebut.
"Diam saja, kita jangan melakukan perlawanan!" bisik Erlangga kepada Anggadita, sambil terus melangkah dengan tenang dan sabar.
Anggadita mengangguk, dan keduanya terus berjalan dengan hati yang tenang, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.


Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya








