Zhou Fu merasa kesal, dan ya, ia hampir selalu kesal sebab serangan apapun yang ia berikan kepada kakeknya hampir tak pernah membuat kakeknya mengaduh. Mengubah mimik wajah pun tidak. Jika sudah demikian, Zhou Fu akan menghukum dirinya dengan berlatih tiga atau empat kali lebih lama dan lebih berat.
Ia tak peduli tentang kerasnya dunia sebagaimana yang diceritakan sang kakek. Ia berlatih keras demi sebuah pencapaian untuk membuat kakeknya merasakan sakit karena serangannya. Dengan demikian, ia bisa dengan bangga memamerkan kekuatannya pada sang kakek.
Andai saja Zhou Fu hidup di masyarakat secara umum, mungkin orang-orang justru takut sebab ia adalah anak yang terlalu kuat pada usianya. Setidaknya, Li Xian menyadari hal tersebut tapi enggan mengatakannya. Bahkan, sepanjang hidup Li Xian yang sudah menyentuh angka 155 tahun, baru kali ini Li Xian mendapati seorang anak yang mampu ditempa latihan dengan begitu kerasnya.
Waktu itu, ketika Zhou Fu mendapati kakeknya tidak bereaksi pada pukulannya, Zhou Fu mengumpat berulang kali sambil mengepal-kepalkan tangannya dengan geram.
“Lain kali, aku akan membuat kakek menjerit kesakitan karena pukulanku!” Zhou Fu mencoba mengepalkan tangannya sendiri ke perut kecilnya, mencoba sendiri apakah pukulannya memang terasa gatal di kulit. Ketika kepalannya mendarat sempurna di perutnya sendiri, Zhou Fu langsung mengaduh sambil membungkuk memegangi perutnya dengan kedua tangan. Rasanya tidak gatal sama sekali.
Li Xian pun memanfaatkan kondisi Zhou Fu yang tidak memerhatikannya untuk meraba perutnya yang sakit. Ia menelan sebuah pil kecil dari balik jubahnya, sebuah pil yang jumlahnya semakin menipis seiring pelariannya ke pulau Konglong enam tahun yang lalu. Li Xian menelan pil tersebut setiap kali ia merasakan sengatan pada perutnya. Li Xian memang seorang pendekar senior yang hebat, tetapi usia dan beberapa cidera pada pertarungannya yang terakhir telah berhasil membuat fisiknya melemah dari hari ke hari.
“Sudah sudah, jangan pura-pura kesakitan seperti itu. Kau kira aku akan kasihan?” Li Xian menarik lengan Zhou Fu yang masih sibuk memegangi perutnya. Nyatanya, Zhou Fu tidak sedang bercanda. Ia memang kesakitan karena pukulannya sendiri. Meski masih kesakitan, ia membiarkan kakeknya menarik tangannya untuk diajak entah ke mana.
***
Li Xian membawa Zhou Fu menuju ke lereng gunung Hua Shanpo, lebih tepatnya mendekat ke satu satunya pohon siprus yang terletak di hamparan lereng gunung Hua Shanpo. Jika dilihat dari jauh, pohon tersebut seperti kesepian sebab ia memang berdiri sendirian tanpa ada siprus-siprus lain yang membersamai.
Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, pergi ke pohon siprus merupakan hal yang tidak bagus menurut Zhou Fu. Ingatan Zhou Fu tentang pohon siprus adalah ia akan merasa pusing dan harus menggeleng-gelengkan kepala berulang kali. Terkadang, ia sampai memukul-mukul kepalanya dengan kepalan tangan demi mengurangi rasa pusing yang ia alami.
“Kau sudah siap?” Li Xian berhenti tepat sepuluh kaki dari pohon siprus, mencoba menengok ekspresi cucunya untuk memastikan apakah Zhou Fu sudah berada dalam kondisi siap.
Lagi-lagi Li Xian menghela napas dalam. Menurutnya, Zhou Fu sangatlah tidak menyukai semua kegiatan yang ada di lereng gunung Hua Shanpo.
“Kakek, aku ini adalah hari yang cerah untuk menangkap buaya. Kita juga bisa berburu telur buaya, sepertinya sudah lama sekali kita tidak menyantap telur buaya,” Zhou Fu menarik-narik jubah Li Xian dengan mata memelas. Ia berharap idenya tersebut akan disetujui oleh Li Xian.
“Tidak.”
“Bagaimana jika…
“Sudah kubilang, tidak!”
Giliran Zhou Fu yang kini menghela napas cukup panjang. Ia pun melangkah dengan sangat malas menuju ke bawah pohon siprus, lalu duduk di sana dan mulai berharap matahari cepat-cepat tenggelam, meski pada kenyataannya, matahari justru baru saja naik ke permukaan.
“Baiklah, kuharap Kau lebih siap hari ini!” Li Xian mengambil posisi.
***
Ketika Li Xian, mengajak Zhou Fu ke pohon siprus di tengah lereng gunung Hua Shanpo, itu artinya Li Xian akan mengoceh tentang banyak hal yang tak bisa dimengerti oleh Zhou Fu. Di saat yang hampir bersamaan, Li Xian akan meminta Zhou Fu mengulang semua kalimat-kalimat yang sudah ia lontarkan sekaligus meminta Zhou Fu menerjemahkan kalimat-kalimat tersebut.
“Sudah kubilang ribuan kali, kita berada di pulau Konglong ini untuk melarikan diri! Untuk bisa keluar dari tempat ini, kuat saja tidak cukup! Kau juga harus pintar! Mengapa kau terlahir sebodoh ini?” urat-urat nadi di pelipis Li Xian tampak menonjol sebab untuk ke sekian kalinya ia gagal mengajari Zhou Fu tentang materi baca tulis.
“Kumohon cukup dulu, kakek. Aku pusing, mataku berkunang-kunang. Perutku mual, sepertinya aku…
Tangan kiri Zhou Fu mencengkeram perut sedang tangan kanannya ia gunakan untuk memukul-mukul kepalanya yang terasa pening. Ucapan-ucapan kakeknya seperti mantra mematikan yang begitu menusuk-nusuk di telinga.
Sederhananya, Zhou Fu memang bod*h. Bisa dibilang, kemampuannya untuk memahami ilmu dasar membaca dan menulis adalah jauh di bawah rata-rata anak seusianya. Zhou Fu sendiri tak mengerti mengapa semua pelajaran baca tulis yang diterimanya hanya bisa bertahan kurang dari lima detik di kepalanya. Setidaknya, sepuluh detik adalah yang paling lama. Setelahnya, ia seperti kehilangan ingatan total, mulutnya menganga, tatapannya kosong. Ia bingung ke mana perginya ingatan tersebut.
Di lain sisi, tangan Li Xian mengepal kuat-kuat, urat-urat nadi di pelipisnya terlihat lebih menonjol dari biasanya. Ia berusaha sekeras tenaga untuk menghela napas secara teratur. Jika tidak begitu, tubuhnya akan dengan ganas mengadili cucunya yang bod*h itu.
“Kakek, mengapa diam saja? Aku sudah siap dipukul. Aku juga sudah berlatih untuk lari lebih kencang daripada sebelumnya. Ayolah, kalau kakek diam begitu aku justru ketakutan,” Zhou Fu mengamati wajah Li Xian yang memerah dan mengeluarkan urat-urat nadi. Zhou Fu bersingsut mundur untuk berjaga-jaga jangan-jangan kakeknya akan memberinya serangan yang tiba-tiba.
Tanpa diduga, Li Xian justru bertindak seolah menirukan apa yang tadinya dilakukan Zhou Fu. Li Xian memukul-mukul kepalanya sendiri sambil meracau geram.
“Aku yang bod*h atau cucuku yang memang tol*l?”
“Memangnya, mengapa jika aku bod*h, kek?” Zhou bertanya dengan polos.
Li Xian menatap Zhou Fu dengan putus asa, “jika kau bod*h, tentu kakek akan sangat sedih.”
“Sedih?”
“Ya, sedih!”
“Apa itu sedih?”
Li Xian terbelakak. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan kembali menyadari jika cucunya memang sangat bod*h dan polos.
“Sedih itu… Bagaimana ya mengatakannya… Sedih adalah, ketika kau merasa tidak nyaman dengan kabar atau sesuatu yang baru kau ketahui.”
“Apakah sedih itu seperti takut?” Zhou Fu mengerutkan kening.
“Ah, ya… Bisa dibilang mirip begitu, anak pintar!”
“Jadi, kakek sekarang sedang sedih dan itu artinya takut?”
Li Xian mengangguk pelan namun disambut dengan tatapan sumringah dari Zhou Fu.
“Aku tahu! Aku tahu! Jika kakek sedih, begini cara menghilangkannya!” Zhou Fu memberi isyarat Li Xian untuk mengikuti gerakannya, Zhou Fu meletakkan kedua telapak tangannya ke wajahnya hingga menutupi seluruh bagian wajahnya.
“Dengan begini, sedih kakek akan hilang. Aku biasa melakukannya dulu ketika aku tidak nyaman melihat langit yang gelap.”
Sejenak, bibir Li Xian tersenyum tipis. Ia menghargai pemikiran polos cucunya meski sejatinya ia ingin mengatakan pada Zhou Fu jika sedih dan takut adalah dua rasa yang memiliki batas yang cukup tegas. Ketika seseorang takut melihat malam misalnya, ia hanya butuh menutup matanya untuk membuat takut itu pergi. Tetapi, ketika seseorang merasa sedih, menutup mata sebanyak seribu kali pun tak akan mampu untuk membuat sedih itu sirna.
“Benar ‘kan, apa kataku, kakek langsung tersenyum! Apakah kesedihan kakek sudah hilang?” mata Zhou Fu berbinar-binar mendapati kakek Li Xian yang tadinya terlihat suntuk menjadi lebih ceria.“Ya, anggap saja demikian. Ngomong-ngomong kakek merasa hari ini sedang tak enak badan. Bisakah kau meracikkan ramuan untukku?” Li Xian berpura-pura memijit-mijit pelipisnya sementara Zhou Fu langsung bangkit dari duduknya untuk memeriksa kepala kakeknya.“Mana, mana yang sakit, Kek? Kumohon jangan mati dulu, aku tidak mau sendirian di sini!”Zhou Fu memberikan respon yang cukup berlebih pada sebuah kepura-puraan Li Xian. Hal tersebut dikarenakan Li Xian berhasil memberi pelajaran tentang arti sebuah kematian kepada Zhou Fu. Di mana, kematian adalah sebuah perpisahan besar yang membuat seseorang tidak lagi bisa diajak bercengkrama.“Mungkin aku akan mati segera, kecuali…“Kecuali apa, Kek? Ka
“Sudah-sudah, ayo kita pulang ke gubuk. Sudah hampir sepekan kita meninggalkan gubuk, berdoa saja semoga rumah kita tidak dirusak binatang buas.”Zhou Fu bangkit berdiri mengikuti Li Xian yang sudah terlebih dahulu berdiri. Cucu dan kakek itu kini berjalan beriringan membelah rerumputan hijau yang masih perawan. Maksudnya, tak terjamah kawanan manusia. Entah bagaimana, alam akan menjadi sangat menawan ketika mereka tidak bertemu dengan manusia. Setidaknya binatang lebih tahu diri dan bisa memperlakukan alam dengan lebih baik daripada manusia.Alasan mengapa pulau Konglong merupakan pulau yang tidak terjamah manusia adalah karena lokasinya yang berjauhan dengan dengan pulau-pulau lain. Seribu pulau yang tersebar di sepanjang sisi depan daratan Caihong memiliki karakteristik yang sama yaitu saling berdekatan dan hanya dibatasi oleh selat-selat kecil. Sementara itu, pulau Konglong menjadi salah satu dari sedikit pulau yang terisolir. Berdiri di tengah hamparan
Pulau Konglong kembali menjadi pulau yang hanya dihuni binatang dan tumbuhan begitu Li Xian dan Zhou Fu melakukan penyeberangan ke pulau lain. Mereka menggunakan perahu rakit darurat yang dibuat dari gelondongan pohon-pohon besar. Sebelum pergi, mereka juga mengaburkan bekas penebangan tersebut.“Fu’er, ini bukanlah bentuk perahu yang layak untuk digunakan sebagai alat menyebrang lautan. Jika kau tak sedang bersamaku, kau tidak boleh menggunakan perahu rakit seperti ini di laut bebas.”Zhou Fu tidak memperhatikan ucapan kakeknya, ia sedang berdiri berkacak pinggang sambil memandangi langit yang sudah berhiaskan bintang. Li Xian yakin cucunya sedang menghayal tentang sesuatu. Li Xian sudah hafal jika pandanga Zhou Fu seperti itu, pasti ia sedang menghayal.Li Xian pun mulai mengatur strategi. Ia tak tahu berapa lama misi dalam gulungan perak itu ditentukan oleh pemangku organisasi. Bisa satu minggu atau bahkan hanya tiga hari saja. Sementara per
Sudah menjadi hal yang normal ketika seseorang pertama kali menginjakkan kaki ke sebuah pulau kecil, yang pertama kali terdengar adalah gemuruh dari beragam binatang rimba. Tetapi tidak demikian dengan hutan Youhi. Pemandangan hutan Youhi memang tampak normal sebagaimana pulau-pulau pada umumnya, tetapi perasaan Li Xian mengatakan jika ada yang tidak beres dengan pulau tersebut.“Fu’er, kau istirahat dulu di sini, kakek ingin memastikan sesuatu!”“Baiklah. Jika ada bahaya, Kakek jangan sungkan-sungkan meminta bantuanku.” Zhou Fu memberi usul dengan ekspresi yang serius, sepertinya dia memang sudah merasa menjadi pahlawan sejak ia berhasil menaklukan musuh tempo hari hanya dengan satu pukulan.Li Xian berjalan dengan hati-hati, ia penasaran apa yang membuat hutan tersebut menjadi sunyi. Langkah Li Xian terhenti ketika ia mendapati ada sebuah batu besar yang sepertinya sengaja diletakkan di bibi hutan dan cukup dekat dengan lokasi pan
Li Xian tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Zhou Fu yang sepertinya tersinggung ketika Li Xian menyebut soal pertolongan Dewa.“Baiklah-baik, kakek menunggumu terus-menerus dua hari ini. Kakek sepertinya takut jika ada bahaya dan kakek sendirian,” tutur Li Xian sekadar untuk membuat Zhou Fu merasa berguna keberadaannya.“Jangan khawatir, Kek. Aku sudah di sini bersama kakek. Bahaya yang kemarin itu, sepertinya menyenangkan juga kalau datang lagi.”Li Xian dengan refleks memukul kepala Zhou Fu sebab bencana seperti dua hari silam itu bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan candaan. Binatang seberat 1 ton saja akan bisa tersapu dengan mudah lalu tenggelam di dasar lautan jika dihantam tsunami seganas itu.“Jaga mulutmu, bocah!”***Tak hanya tsunami berkekuatan dahsyat, ternyata pulau Youhi juga memiliki beberapa gunung berapi yang aktif. Sesekali, pulau tersebut banjir air, dalam waktu yang lain, pulau ter
Kesalahpahaman antara Zhou Fu dan perempuan yang baru ia temui pada akhirnya harus terhenti ketika Zhou Fu mendengar suara langkah kaki mendekat. Suara itu adalah suara pergerakan beberapa orang yang cukup gesit dan lincah. Didengar dari laju pergerakannya, Zhou Fu yakin jika kecepatan langkah tersebut melebihi singa jantan yang kelaparan. “Itu dia nona Shen Shen! Jangan biarkan nona Shen Shen lolos!” Tiga orang pendekar laki-laki menyergap Zhou Fu dan perempuan yang ternyata bernama Shen Shen. Shen Shen bersembunyi di balik tubuh Zhou Fu dan memohon agar Zhou Fu bersedia menolongnya. “Tenang, akan kuhadapi mereka semua!” Insting Zhou Fu memang mengatakan jika Shen Shen memang sedang membutuhkan pertolongan. Zhou Fu pun mengambil sikap siap untuk memberi serangan pada tiga pendekar yang kini berdiri tak jauh darinya. “Minggir kau, Bocah! Jika tidak aku akan membelah tubuhmu menjadi dua bagian!” salah seorang dari tiga pendekar itu mena
Sebuah daratan besar yang disebut sebagai daratan Caihong adalah wilayah terluas di belahan bumi bagian timur. Orang-orang menyebut Caihong sebagai tanah surga di mana manusia tak mungkin kelaparan jika tinggal di daerah tersebut. Tanaman tumbuh tanpa ditanam, beragam binatang dan sumber daya tersebar di seluruh bagian wilayah Caihong. Keamanan dijamin penuh oleh pemerintah sehingga warga bisa makan dan tidur dengan nyenyak tanpa harus mengkhawatirkan serangan ataupun perang sebagaimana keributan tersebut selalu terjadi di luar wilayah Caihong.Kedamaian yang selalu menyelimuti Caihong itulah yang membuat Shen Shen tak habis pikir jika ia saat ini sedang menjadi perburuan beberapa kelompok untuk dibunuh. Seingat Shen Shen, ia tak pernah terlibat dalam kekacauan apapun, ia juga tak memiliki masalah dengan siapapun.“Jadi, mengapa kau bisa sampai di sini?” Zhou Fu bertanya pada Shen Shen setelah perempuan itu bercerita panjang lebar tentang negeri Caihong.
Perjalanan Zhou Fu dan Shen Shen menuju ke pulau pertama memakan waktu sekitar dua minggu. Di hari ke 14 mereka berhasil sampai di sebuah pulau yang bernama pulau Jidong. Zhou Fu dan Shen Shen tiba di pulau tersebut di waktu yang sangat tepat karena jika saja perjalanan laut mereka memakan waktu yang lebih lama lagi, tubuh Shen Shen yang lemah akan terkapar tak sadarkan diri akibat kelaparan dan kehausan.Bekal makanan mereka sudah habis tiga hari sebelumnya dan itu adalah hari ke 4 mereka tidak makan dan minum. Tubuh Zhou Fu masih cukup kuat untuk tidak makan berhari-hari, tetapi tidak dengan Shen Shen. Perempuan itu sudah merengek dan mengoceh panjang lebar karena tidak bisa menahan perutnya yang perih karena lapar. Dan hari itu, hari di mana mereka sampai di pulau Jidong, Shen Shen hanya menutup mulutnya rapat karena sudah tak memiliki tenaga untuk mengeluh atau mengomel.Pertama-tama, mereka tiba di Dozhu, sebuah desa yang terletak di pinggiran pulau Jidong. Desa t