Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya.
Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya.
“Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha.
“Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum.
Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya.
Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11.
‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily.
“Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya.
Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.”
“Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?”
Li
Terima kasih sudah mampir untuk membaca. Jangan lupa untuk subsribe ya. Tingglakan juga komentar di kolom review biar saya tahu pendapat kalian tentang novel ini.
“Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me
“Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***
Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok
Napasnya terengah saat tubuhnya bersembunyi dibalik tumpukan kontainer di sebuah pelabuhan. Pakaiannya yang serba hitam menyatu dengan kegelapan. Keringatnya bercucuran deras. Mata birunya menyala mengintai mangsa.Suara statis dari Earpiece di telinganya berubah jadi suara seorang pria. Menginformasikan sesuatu.“Lily kamu harus membereskannya kurang dari 5 menit. Jika tidak, bantuan akan segera datang dan kamu akan kewalahan,” kata suara di seberang terdengar gugup.Napasnya mulai tenang. Diangkatnya pistol dan dikeluarkan magazin, isinya kosong. Ia mengumpat tanpa suara.“Lily!” nada suara di seberang meninggi.“Sedang kuusahakan, Brengsek!” pekik Lily tertahan.“Hei aku mencoba membantumu di sini!” suara di seberang ikut kesal.“Diam, Zack!,” hardik Lily. “Kamu mengganggu konsentrasiku.”“Kamu hanya punya 5 menit lagi.”“5 menit
Mata itu terbuka dan terkesiap melihat sosok di depannya duduk menyeringai tanpa busana. Harusnya sebagai lelaki, melihat tubuh wanita nyaris sempurna tanpa sehelai benang akan membangkitkan birahi. Namun dengan kondisi terikat dan mulut disumpal lakban, hal tersebut tak berlaku.“Mmmm ... mmm ... .”Lily menggerakkan telunjukknya ke kiri dan ke kanan. “Ckckck ... tenang. Kalau menurut kamu takkan kusakiti.”Wanita itu mengambil sebuah Machete yang baru disadari lelaki tersebut tergeletak di lantai. Lily bangkit dan mendekati tawanannya.“Kamu cukup menjawab dengan mengangguk dan menggeleng.” Benda tajam nan dingin itu ditepuk-tepuk ke pundaknya yang polos. Berpindah ke pipi lalu dimainkan ke leher. “Kamu mengerti?”Sosok pria yang terikat di kursi itu mengangguk cepat.“Pria yang mati di pelabuhan kemarin yang mengirimmu?” tanya Lily.Pria itu menggeleng. Peluhnya berhambura
Kilatan cahaya menyebar dari moncong pistol yang baru saja diletuskan di ruangan gelap sebuah rumah. Lily dengan tenang berlindung di balik tembok.“Empat,” ucap Lily lirih. “Tiga kali lagi.”Dor! Dor! Dor!Selesai tembakan ke tujuh Lily menyeringai dan mendekati mangsanya dengan tenang. Sosok yang terpojok itu panik saat melepas magazin yang kosong dan mencoba menggantinya dengan yang baru.“Hya!”Tendangan kaki kanan Lily membuat pistol yang dipegang terlempar. Lily menarik kerah kemeja putih itu dan menghujani kepala pemiliknya dengan pukulan.Bugh! Bugh! Bugh!“Jangaaannn!” teriakan histeris dari bocah perempuan memekakan telinga.“Hentikan ... tolong hentikan!” pinta wanita yang memeluk bocah perempuan yang baru saja histeris.Lily menoleh ke sumber suara dengan napas terengah. Tampak seorang wanita dan gadis kecil meringkuk ketakutan. Kembali Lily melihat
“Jangan bergerak!”Lily mengangkat kedua tangan dengan perlahan. Suara langkah kaki kian mendekat. Insting Lily langsung bekerja ketika tangan seseorang menyentuh pundaknya. Dengan sigap diputarnya tangan dan dibantingnya sosok tersebut.“Berhenti!” Tinju Lily tertahan tepat di depan hidung lelaki yang baru saja dijatuhkan. Suara seseorang dari dalam rumah mengalihkan fokusnya. Mata birunya melebar dan tubuhnya kembali tegak berdiri saat melihat perempuan berparas ayu memakai kebaya.Lily tak dapat bergerak saat mendapati wanita tersebut mendekat lalu menyentuh pipinya yang putih.“Anna?”Lily hendak tersenyum lalu teringat kejadian di bandara saat gadis kecil kabur setelah melihatnya tersenyum. Ia mengurungkannya.“Ibu,” ucapnya lirih dengan muka tanpa ekspresi.Direngkuhnya tubuh Lily ke dalam pelukan wanita berkebaya yang tak lain adalah ibunya. Tangis wanita itu berurai.Tak b
Sorot mata Lily tajam meladeni tatapan wanita yang baru saja menghajar Parmin. Tangannya sudah mengepal keras.“Anna,” panggil sang ibu. Lily menoleh dan melihat ibunya menggeleng pelan.Seperti melawan nalurinya yang menyukai pertarungan, Lily tak begitu saja menurut. Namun sorot mata ibunya ternyata mampu meredam keinginannya sendiri. Dilepasnya genggaman tangan di lengan wanita tersebut.Namun diluar dugaan, sebuah pukulan dilayangkan ke tulang pipinya.Bugh!Teriakan dari ibu dan adik-adiknya terdengar beberapa saat kemudian. Diperlakukan demikian, darah Lily kembali mendidih. Napasnya memburu menahan amarah.“Ayo. Aku ingin lihat kamu akan melakukan apa,” tantang wanita tersebut. Tampak kedua temannya juga bersiaga di belakangnya."Anna," panggil Atmarini.Lily melihat ibunya. Sekuat tenaga ia menahan gejolak amarah.Deru napasnya perlahan melambat dan Lily bisa kembali tenang. Melewati wanit