Mata itu terbuka dan terkesiap melihat sosok di depannya duduk menyeringai tanpa busana. Harusnya sebagai lelaki, melihat tubuh wanita nyaris sempurna tanpa sehelai benang akan membangkitkan birahi. Namun dengan kondisi terikat dan mulut disumpal lakban, hal tersebut tak berlaku.
“Mmmm ... mmm ... .”
Lily menggerakkan telunjukknya ke kiri dan ke kanan. “Ckckck ... tenang. Kalau menurut kamu takkan kusakiti.”
Wanita itu mengambil sebuah Machete yang baru disadari lelaki tersebut tergeletak di lantai. Lily bangkit dan mendekati tawanannya.
“Kamu cukup menjawab dengan mengangguk dan menggeleng.” Benda tajam nan dingin itu ditepuk-tepuk ke pundaknya yang polos. Berpindah ke pipi lalu dimainkan ke leher. “Kamu mengerti?”
Sosok pria yang terikat di kursi itu mengangguk cepat.
“Pria yang mati di pelabuhan kemarin yang mengirimmu?” tanya Lily.
Pria itu menggeleng. Peluhnya berhamburan karena rasa takut yang menjalar.
“Atasannya?”
Kini pria yang terikat itu mengangguk.
“Begitu rupanya,” gumam Lily. Machete itu dipanggulnya di pundak. Tangan kirinya menghitung jumlah korban. “Hanya kalian yang dikirim untuk menghabisiku?”
Pria itu mengangguk cepat.
"Sangat menghinaku," pungkas Lily.
Lily yang telanjang mendekat lalu duduk di pangkuan pria tersebut, merangkulkan tangannya ke leher. Machete yang dingin menyentuh punggung telanjang pria yang dikirim untuk menghabisinya.
“Kamu berhutang budi padaku. Lain kali aku akan menagihnya,” kata Lily tanpa ekspresi.
Lily menghujamkan parang ke tali yang mengikat pria didepannya lalu menarik lakban di mulut dengan kasar. Suara mendesah terdengar dari pria tersebut.
“Sekarang kamu boleh pergi,” kata Lily. Gadis cantik itu bangkit dari pangkuan si pria dan berjalan menjauh.
“Namaku Irwin.”
Lily berhenti dan menoleh. “Untuk apa kamu menyebutkan nama?”
“Jika berhutang budi, aku ingin memastikan kamu mengingat namaku saat kamu menagihnya.” Irwin tak berani menatap tubuh Lily.
Lily menyeringai. “Kamu boleh pergi Irwin.”
Irwin melihat ke arah kamar mandi. Tampak tempat itu kosong. “Dimana kedua rekanku?”
“Mereka sudah diurus.”
***
Memakai setelan celana slim fit hitam dan sweater mencekik leher berwarna krem, Lily duduk di meja depan sebuah restoran. Suasana di depan restoran ramai dengan lalu lalang warga lokal dan wisatawan yang ingin menikmati keindahan Katedral St. Basil.Sebuah cangkir baru saja diletakkannya di atas tatakan. Mata birunya menyapu sekeliling. Sesekali, pejalan kaki pria menoleh karena terpesona akan kecantikannya. Ada yang bersiul-siul menggoda. Lily tak menggubrisnya.
Tubuhnya menegang karena menyadari seseorang berdiri di belakangnya. Tak lama senyum di sudut bibirnya terbit. Senyum yang dingin dan kaku.
“Aku selalu gagal membaca darimana kamu akan datang,” kata Lily sambil menoleh. Kepalanya bergerak pelan mengikuti sosok wanita berambut hitam panjang berponi.
“Kita punya keahlian masing-masing, Lily. Kamu jago menyatu dalam gelap. Aku lihai berbaur di keramaian seperti ini.” sosok dengan pakaian hitam berbahan kulit itu duduk di depan Lily. Seorang waitress pria mendekat.
“Selalu senang bertemu denganmu Black Dahlia.” Lily mengangguk menghormat.
“Aku pun demikian. Ada yang ingin kamu bicarakan, benar?” tanya wanita cantik berhidung mancung di depan Lily. Yang sedang sibuk melepas sarung tangan kulitnya.
“Kamu tahu siapa target terakhirku?” tanya Lily.
“Kopi hitam,” kata Black Dahlia pada waitress pria yang berlalu setelah menerima pesanan. ia kembali melihat ke arah Lily. “Tentu saja. Tapi dia tidak penting. Siapa yang dibelakangnya yang patut kamu waspadai.”
Mata birunya mengerjap pelan. “Siapa mereka?” tanya Lily.
“Black Lotus.”
“Organisasimu?” tanya Lily terkejut.
“Organisasiku dulu," jawab Black Dahlia cepat. "Lily aku sudah lama meninggalkan agensi kamu tahu itu kan?"
Lily mengangkat kedua alisnya tanda mengiyakan.
"Petinggi Black Lotus mengincarmu, namun informanku tak bisa mencari tahu alasannya. Aneh menurutku, kudengar petinggi kalian sudah melakukan gencatan senjata. Kenapa masih mengincarmu,” tutur Black Dahlia.
“Aku tak pernah tahu soal itu karena tak sembarang orang bisa bertemu si nomor satu. Persetan dengannya. Aku tebak dia hanya peria gemuk yang dikelilingi banyak bodyguard,” ucap Lily cuek.
“Lily ... sifatmu yang dingin ini yang justru menarik. Sebenarnya kamu tak harus terlibat kerumitan seperti ini jika bekerja sendirian sepertiku.” Bibir seksi dibalut lipstik merah itu tersenyum.
“Kamu berani mengambil reskio keluar dari Black Lotus. Jujur sampai sekarang aku terkejut sekaligus kagum. Aku belum seberani dirimu menanggung resiko pekerjaan ini sendirian,” tutur Lily.
Kopi yang dipesan Black Dahlia datang. Wanita tiga puluhan itu tersenyum menggoda pada waitress pria yang mengantarkan kopinya. “Terima kasih.”
“Menurutmu ... apakah akan ada yang datang padaku lagi setelah ini?” tanya Lily.
Alis matanya yang runcing nyaris menyentuh poni karena diangkat terlalu tinggi. “Lagi?”
“Iya. Semalam ada tiga orang tamu tak diundang. Dan sekarang aku tahu siapa yang mengirim mereka.”
“Dan melihatmu sekarang duduk di sini, atinya mereka berhasil kamu bereskan?” tanya Black Dahlia.
Lily diam sebentar. Ia ingat melepaskan pria bernama Irwin itu. “Tentu saja sudah.”
“Bodohnya aku. Tentu saja kamu sudah melakukannya, kamu takkan menyalahi prosedur. Dalam dunia kita, kehati-hatian sangat penting. Dan tentu kamu sudah tahu hal itu juga.”
Lily berdiri dari kursinya. “Terima kasih sudah datang. Aku berhutang padamu.”
Black Dahlia mengangkat gelasnya. “Akan aku tagih suatu saat nanti.”
Lily berjalan menjauh. Rambut pirangnya tertiup angin saat sosok menawan itu berjalan lalu membaur dan hilang diantara kerumunan orang-orang.
***
Di rumahnya yang megah dan mewah, Lily tinggal sendiri seperti kebanyakan anggota organisasi White Lotus. Meskipun tak sedikit yang mengambil resiko untuk berkeluarga dan menyembunyikan identitas asli dari suami.
Pembunuh bayaran di White Lotus semuanya perempuan. Sedangkan para lelaki bekerja di belakang layar. Memberikan informasi melalui Earpiece saat agen beraksi di lapangan.
Lily menuruni lantai dua rumahnya kemudian duduk di tengah anak tangga. Beberapa waktu belakangan gadis itu merasakan kekosongan di dalam dirinya. Memaksanya susah tidur saat malam.
“Apa yang terjadi padaku?” Disisirnya rambut pirang itu ke belakang menggunakan jemarinya.
Sedang diam, matanya memicing menyadari seseorang mendekati pintu depan. Lampu di lantai bawah semuanya sudah dimatikan dan hanya mengandalkan cahaya lampu taman yang berpendar ke dalam ruangan.
"Belum selesai rupanya, huh?" gumamnya lirih.
Lily menuruni anak tangga dan mengendap siaga, bersembunyi di belakang sofa. Tangannya meraih ke belakang punggung dan mengambil pisau kecil yang selalu ada di sana.
Klek! Pintu depan berhasil dibuka. Sosok itu masuk dengan perlahan. Tak mengambil jeda lagi, Lily langsung melemparkan pisau.
Wuzz!
“Agh!”
Mata birunya membulat karena mendengar suara itu memekik. Lily bergegas menuju saklar dan menyalakannya. Terkejut melihat sosok pria itu berdiri dan mencoba mencabut pisau di punggungnya.
“Jangan!” teriak Lily. Buru-buru mendekati pria tersebut. “Mau apa kamu kembali lagi ... Irwin?”
“Ada sesuatu yang harus kuberitahukan padamu ... “
“Tahan,” perintah Lily. Irwin menahan napas saat gadis itu mencabut pisau dari punggungnya.
“Agh!” pekik Iriwn saat pisau berhasil tercabut. Pria tampan itu merasakan telapak tangan Lily masih menempel di punggungnya.
Lily mengedikkan kepala dan memintanya bergerak menuju sofa lalu menyuruhnya duduk. “Pegangi sebentar.”
Lily naik ke lantai dua dan kembali membawa kotak P3K. Dilemparnya benda itu ke meja. “Bodoh sekali datang dengan cara seperti itu. Untung saja aku tak kepikiran mengincar kepalamu.”
“Yah, anggap saja kali ini aku beruntung,” celetuk Irwin lalu cengengesan.
“Tidak lucu.”
Tawa renyah Irwin seketika lenyap. Dengan cekatan, Lily membasuh tangan dengan alkohol dan mensterilkan jarum jahit luka. Mata birunya melihat Irwin. “Buka kemejamu,” perintahnya.
Irwin menurut. Lily memutar jarinya sebagai kode agar Irwin memutar badan.
“Jadi apa yang mau kamu bicarakan tadi?” tanya Lily. Tangannya sigap mengguyur alkohol ke punggung Iriwn.
“Maaf, aku terpaksa berbohong ke agensiku dan bilang aku gagal membunuhmu. Mereka lalu memberiku kesempatan untukku melakuannya lagi.”
“Jadi kamu memang kemari untuk membunuhku?” tanya Lily. Jarum di tangannya terangkat bimbang.
“Tidak. Aku kemari untuk memberitahumu hal itu,” jawab Irwin setengah menengok. “Aww,” pekiknya. Lily mulai menjahit luka di punggung Irwin.
“Dengan begini kamu yang akan diburu oleh mereka,” kata Lily.
“Aku tahu,” jawab lelaki tampan berdagu belah itu lirih. “Tapi setidaknya ... dengan begini hutang budiku lunas. Lagipula, aku memang sudah berniat meninggalkan agensi.”
Lily bungkam. Ia fokus menjahit luka Irwin.
“Seseorang memberitahuku kalau semua targetmu pasti mati. Dan sekarang, melihatmu mengobatiku begini ... membuat persepsiku tentang dirimu berubah.”
“Aku tak perduli dengan persepsimu tentangku,” jawab Lily ketus. Lily mengambil gunting kecil dan memotong sisa benang. “Sudah selesai,” ucapnya.
“Terima kasih,” kata Irwin. Ia balik badan dan kembali mengenakan kemejanya.
Sekilas, Lily memperhatikan tubuh Irwin yang kekar berisi. Namun hal itu tak menggerakkan apapun dalam dirinya. “Apa rencanamu setelah ini?” tanya Lily sembari membereskan isi kotak P3K.
“Kabur. Aku harus menyelamatkan adikku dari incaran agensi.”
“Apa dia penting?”
Mulut Irwin menganga mendengar pertanyaan Lily.
“Ada yang salah?” tanya Lily bingung.
“Sorry. Aku kaget mendengar pertanyaanmu.”
“Memangnya kenapa?”
“Keluarga ... keluarga adalah yang terpenting, Lily.”
“Jangan sebut namaku. Kita bukan teman,” jawab Lily. Sorot matanya tajam. Irwin mengangkat kedua tangannya.
“Sebaiknya kamu pergi!” perintah Lily.
Irwin beranjak dari sofa dan menuju pintu. Lily mengikuti di belakangnya. Di dekat pintu, Irwin berhenti dan berbalik. “Sekali lagi maaf. Tapi kamu harus berhati-hati. Entah kenapa agensiku sangat berambisi menginginkamu mati.”
Irwin memutar handle dan keluar dari rumah. Lily masih bisa melihat sosok Irwin dari balik kaca pintu. Tampak pemuda itu melompati pagar dengan lincah.
Lily berjalan ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya. Kalimat pria tampan bernama Irwin itu mengganggunya.
“Keluarga ... aku bahkan sudah tak mengingat mereka lagi.”
Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok
“Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***
“Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me
Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya. Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya. “Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha. “Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya. Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11. ‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily. “Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya. Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.” “Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?” Li
“Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di