Kilatan cahaya menyebar dari moncong pistol yang baru saja diletuskan di ruangan gelap sebuah rumah. Lily dengan tenang berlindung di balik tembok.
“Empat,” ucap Lily lirih. “Tiga kali lagi.”
Dor! Dor! Dor!
Selesai tembakan ke tujuh Lily menyeringai dan mendekati mangsanya dengan tenang. Sosok yang terpojok itu panik saat melepas magazin yang kosong dan mencoba menggantinya dengan yang baru.
“Hya!”
Tendangan kaki kanan Lily membuat pistol yang dipegang terlempar. Lily menarik kerah kemeja putih itu dan menghujani kepala pemiliknya dengan pukulan.
Bugh! Bugh! Bugh!
“Jangaaannn!” teriakan histeris dari bocah perempuan memekakan telinga.
“Hentikan ... tolong hentikan!” pinta wanita yang memeluk bocah perempuan yang baru saja histeris.
Lily menoleh ke sumber suara dengan napas terengah. Tampak seorang wanita dan gadis kecil meringkuk ketakutan. Kembali Lily melihat sosok lelaki yang sudah babak belur itu. Tinjunya meragu dan tak lama dilepaskannya kerah kemeja lelaki tersebut.
Seperti biasanya, muka Lily yang kaku tanpa ekspresi, melihat korbannya. Namun kali ini berbeda karena korbannya masih bernyawa. Wanita dan bocah perempuan itu mendekati pria tersebut saat Liy akhirnya menjauh.
“Keluarga kita akan baik-baik saja. Selama kita bersama semuanya akan baik-baik saja,” ucap pria malang itu lemah. Sorot matanya masih mengarah pada Lily. Sang istri mengangguk-angguk dan membersihkan darah dari muka suaminya.
Mendengar kalimat tersebut, Lily tak dapat bergerak. Lagi-lagi, pembahasan soal keluarga.
Lily meninggalkan targetnya melewati rumah dan perabotan yang hancur berantakan karena bekas pertarungan. Earpiece ditelinganya kembali dipasang.
“Zack,” panggil Lily.
“Yes, Lily. Zack di sini?”
“Kirim tim pembersih untuk melanjutkan. Tak perlu sakiti anak dan istrinya.”
“Apa maksudmu? Targetmu belum mati?”
Lily tak menjawab. Ia keluar dari rumah lalu melompati pagar tembok yang tinggi. Turun ke sisi lain tembok tanpa bersusah payah. “Jangan banyak tanya. Lakukan saja!”
“Copy that!” jawab Zack.
Lily mengambil kembali earpiece dan memasukkannya ke saku. Ia berlari menuju ke arah hutan tempat mobilnya diparkir.
***
Asap cerutu mengepul dari bibirnya yang terlalu merah untuk ukuran seseorang dengan bulu halus di pipi. Sosok pria tampan yang duduk di kursi memandangi Lily dengan heran.
“Ada apa denganmu? Kamu tak pernah sekalipun meminta tim pembersih untuk membereskan pekerjaanmu. Kamu yang bilang sendiri kalau itu seperti merendahkan harga dirimu kan?”
Lily bungkam.
Pria di kursi mewah memajukan badannya. “Ada masalah apa, Lil?”
“Tak ada masalah apa-apa. Aku hanya merasa tak enak hati malam ini. Dan lagi, bukannya hal itu menjadi suatu kehormatan untuk tim pembersih bisa menuntaskan sisa mangsa dariku?” sanggah wanita berambut pirang itu.
“Iya tentu saja. Dan hal itu boleh saja dilakukan,” jawab pria tampan di kursi mewah. “Tapi ini kamu, Lily ... bunga kesayanganku. Yang tak semudah itu melepaskan mangsa,” ujar lelaki tampan tersebut heran.
“Aku harus pergi.” Lily bangkit dari kursi dan bergerak menjauh. Namun langkahnya terhenti karena teringat sesuatu.
“Ada apa?” tanya sosok lelaki di kursi merah marun.
“Kamu tahu sesuatu tentang target yang kubunuh di dermaga itu?”
“Kenapa dengan itu?”
Lily diam lalu tersenyum hambar. “Lupakan saja.”
“Jika ada yang bisa kulakukan, bilang saja. Kami di sini juga sebagai keluargamu. Aku bukan hanya sebagai bosmu, aku juga keluargamu. Kami semua keluargamu.”
Lily yang hendak beranjak pergi, berbalik lagi mendekati meja. “Apa benar, nomor satu dari agensi kita masih bersitegang dengan petinggi dari Black Lotus?”
Mata abu-abu pria tersebut melebar. Terkejut mendengar penuturan salah satu wanita pembunuhnya. “Aku bahkan tak tahu soal itu.”
“Kamu salah satu orang kepercayaannya, Liam. Kamu sungguh tak tahu apa-apa?” tanya Lily kesal.
“Masih ada belasan orang diatasku, Lil. Meskipun aku menjadi yang tertinggi diantara kalian, masih butuh belasan orang yang harus kulewati untuk bisa membuat nomor satu mengalihkan terpongnya padaku.” Lelaki dengan berewoknya yang dicukur rapi itu memandangi Lily lekat-lekat. “Ada apa sebenarnya?”
“Lupakan. Mungkin hanya perasaanku saja,” jawab Lily. “Aku harus pergi.”
Lily beregerak menjauh. Keluar dari pintu ruangan itu dan melewati belasan anggota White Lotus lainnya yang sedang duduk santai di lobi. Satu dua orang mencoba menyapa Lily meskipun mereka sadar gadis cantik itu takkan menyapa balik.
***
Segelas Wiski menemaninya malam itu. Di sebuah kursi paling pojok di diskotik paling ramai di pinggiran kota Moskow. Menyendiri dan menyatu bersama kegelapan.
Seperti sudah ada dalam nadinya, jika ada seseorang mendekat, matanya akan segera tahu kemana harus melihat. Sosok itu datang dan duduk di depannya. Sebuah bungkusan kertas coklat disorongkan ke mejanya.
“Informasinya akurat?” tanya Lily. Diambilnya amplop coklat di meja.
“Seratus persen. Kamu sudah memakai jasaku sejak lama dan informasiku belum pernah salah kan?”
Lily melongok isi amplop coklat. Tanpa basa-basi, ia melemparkan segepok uang ke sosok yang memakai masker dan topi. Yang segera berlalu setelah membungkuk hormat pada Lily.
Diambilnya benda di dalam amplop coklat yang berisi beberapa lembar foto. Tampak seorang pria Rusia dengan berewoknya yang putih. Lalu ada foto wanita berusia tiga puluhan, memakai kebaya dan memanggul benda bulat berisi aneka jualannya.
“Ibu,” ucap Lily lirih. Sesuatu dalam dirinya sedikit terpantik.
Lily bergegas bergerak dari tempatnya. Keluar menuju parkiran dan menaiki mobil Audi R8 warna hitam miliknya. Mesin mobil meraung dan segera meninggalkan tempat tersebut.
***
Turun dari sebuah taksi, Lily bergegas menuju administrasi bandara. Menyerahkan pasport dan menunggu pesawatnya take off.
Suasana bandara pagi itu ramai. Lily duduk menunggu jam penerbangannya siap. Sembari tetap waspada dengan lalu lalang orang disekitar.
“Mereka takkan mencurigainya. Lagipula aku selalu mengambil cuti sehabis menjalankan tugas. Kenapa pula mendadak begini lelaki tua itu pergi?” gumam Lily. Badannya menegak karena menyadari seorang gadis kecil bermata biru memandanginya dengan tatapan polos.
“Hi,” sapa Lily sembari berusaha tersenyum. Namun bukannnya senyum manis, yang terbit justru seringai tipis. Gadis kecil tersebut berlari dan menangis. Helaan napas panjang mengantarkan kalimat kutukan keluar dari mulut Lily. “Shit!”
Menunggu selama sejam lebih sampai akhirmya pesawat menerbangkannya meninggalkan kota Moskwa. Membawanya kembali ke tanah air tercinta Indonesia.
Lima belas jam berada di udara, pesawat akhirnya mendara di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Taksi online yang memang sudah dipesan sebelumnya menjemput lily.
***
Turun dari taksi online yang dipesannya, udara dingin namun sejuk khas pegunungan menyambutnya. Rambut pirangnya tertiup angin. Lily menarik ujung rambutnya ke belakang telinga.
“Aku bisa menikmatinya. Tak perlu mengenakan topi Ushanka,” ujar Lily lirih.
Kakinya yang jenjang menapaki jalanan yang dipenuhi batu alam yang ditata. Suasana tampak sepi karena Lily datang cukup larut. Lampu dalam di rumah-rumah sudah banyak yang padam dan hanya mengandalkan lampu depan.
Langkahnya dipercepat begitu sampai di sebuah rumah dengan tanaman Topiary rendah yang membentuk pagar alami yang mengelilingi rumah. Lily bergegas masuk sampai teriakan di belakang menghentikannya.
“Berhenti disana! Jangan bergerak!”
Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok
“Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***
“Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me
Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya. Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya. “Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha. “Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya. Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11. ‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily. “Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya. Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.” “Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?” Li
“Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di