Suara desahan dan erangan memenuhi salah satu kamar di sebuah apartemen. Aroma percintaan begitu pekat menguar dari dalam sana.
Tubuh polos seorang perempuan tengah bergerak bebas di atas tubuh si pria. "Ramaaa ... " panggil Mona manja dengan tubuhnya condong ke bawah menghadap wajah Rama.
"Kenapa sayang?" tanya Rama sesaat setelah dia melepaskan kulumannya.
Mona mendudukan kembali tubuhnya, sambil terus menggerakkan pinggulnya. "Bagaimana kalau mba Gisa mengetahui hubungan kita ... aah ...?" desahnya di akhir kalimat saat Rama menaikan tempo pacuannya.
"Aku tidak peduli!" serunya. Rama membelai wajah Mona, kemudian mengusap bibir Mona dengan lembut sambil melanjutkan kalimatnya. "Aku dekat dengan dia, semata-mata untuk mendapatkan kamu. Dari dulu pun, yang aku cintai itu kamu," lanjut Rama sambil mengecup jari tangan Mona.
"Siapa yang mau dengan perempuan yang sudaah ... " Rama tidak melanjutkan perkataanya. Rama sibuk mengerang saat di atas sana, Mona semakin cepat menggoyangkan pinggulnya seakan puas dengan jawaban yang Rama lontarkan.
Rama membalik posisi Mona. Saat ini, Rama lah yang memegang kendali atas Mona. Setiap gerakan liar yang dilakukan Rama, berhasil membawa mereka untuk sampai menuju puncak nirwana.
Di sisi lain ruangan itu, seorang wanita tengah berdiri menyaksikan pergulatan panas mereka. Dengan berurai air mata, nafas yang tersendat, dan dada naik turun menahan amarah, dia mundur dengan langkah terbata.
Tangannya meraih apapun sebagai pegangan, agar dia tidak ambruk di depan pintu kamar kekasihnya.
"Apa katanya tadi?! Terpaksa?! Terpaksa dia bilang?!" ucapnya dengan lirih.
Bagai tersambar petir di siang bolong, ia menyaksikan, serta mendengar secara langsung pengkhianatan yang kekasihnya lakukan.
Rama merupakan teman Gisa dari SMP, yang baru di pacarinya selama 1 tahun terakhir. Padahal, dulu Rama sangat berusaha untuk menaklukkan hati Gisa. Tapi kenyataannya, sekarang dia dengan sangat kurang ajarnya, bercinta dengan Mona, sahabat di tempat kerjanya yang dulu.
Badan Gisa terhuyung kebelakang kala kakinya sudah tidak kuat menopang berat tubuhnya yang sudah terkulai lemas mengetahui segala kenyataan tersebut.
PRANG ...
Gisa memecahkan vas bunga yang ada dibelakang tubuhnya. Pecahan pas bunga tersebut melukai kakinya, namun dia tidak merasakannya sama sekali. Saat ini hatinya jauh lebih sakit dibanding luka yang ada di bawah kakinya.
Di dalam kamar, dua orang yang saat ini dalam keadaan polos dan tengah terkulai lemas akibat pergulatan panas mereka, terperanjat kaget saat mendengar suara benda pecah tersebut.
Mona menarik selimut, kemudian dia gulungkan pada tubuh polosnya. Sementara Rama, mengitari kamar mencari boxser yang entah kemana dia lemparkan tadi.
Rama memakai boxernya kembali saat dia menemukannya di ujung tempat tidur. "Pakai pakaian, Kamu! Aku akan melihat siapa yang ada diluar sana!" ucapnya pada, Mona.
"Siapa di sana?" tanya Rama pada wanita yang tengah duduk di atas lantai dengan rambut yang menutupi seluruh wajahnya, dan terlihat sangat menyedihkan.
Gisa mendongak melihat ke arah sumber suara. Wajahnya penuh air mata dengan rambut yang berantakan.
Rama berjalan pelan menghampiri Gisa. "GISA!" pekik Rama dengan nada yang cukup tinggi hingga membuat Mona yang ada di dalam kamar mengetahui siapa yang datang saat ini.
Mona keluar dari dalam kamar Rama dengan lingerie seksi-nya, yang di balut kimono berukat berwarna merah. Tangannya ia lipat di atas dada, dengan tubuh yang menyandar pada ujung meja. Di seluruh leher sampai dada tersebar Kissmark yang sengaja Mona pamerkan pada Gisa.
Dada Gisa kembali sesak, saat Rama hanya diam dan Mona hanya menertawakannya tanpa seorang pun mencoba menjelaskan.
"APA KALIAN TIDAK INGIN MENJELASKAN SEGALANYA?!" teriak Gisa pada Rama dan Mona dengan posisi Gisa yang masih bersimpuh di atas lantai.
Mona tersenyum sinis lebih ke arah mengejek. Dia berjalan ke arah Rama, kemudian mengaitkan kedua tangannya pada perut Rama.
"Dia minta penjelasan," bisik manja Mona pada Rama.
Rama mengelus kepala Mona dengan sayang, kemudian mengarahkan tatapan tajamnya pada Gisa. "Apa yang ingin kamu tau, heh?!" tanya Rama singkat.
"Semuanya Rama! SEMUANYA!" teriak Gisa ditengah isak tangisnya.
"Seperti yang kamu lihat, Gisa! Sebenarnya ... aku sudah muak! Syukurlah kamu mengetahuinya sekarang!" ucap Rama masih dengan posisi berdirinya.
"Aku sudah tidak membutuhkan kamu lagi! Ada dia, yang jauh lebih sempurna dari pada kamu yang hanya seora_"
"CUKUP SIALAN! Tidak perlu kamu merendahkan status ku!" bentak Gisa memotong kalimat Rama.
Rama mendudukan tubuhnya pada ujung meja. Dia membawa Mona masuk kedalam pelukkannya. "Bukannya kamu ingin tahu segalanya?" tanyanya. "AKU HANYA MEMANFAATKAN, KAMU! Sampai sini kamu paham?" lanjut Rama, menekankan setiap kalimatnya dengan tidak berperasaan.
Gisa bangkit dari duduknya. Dia meremas jari jemarinya. Dadanya bergejolak, telinganya panas saat mendengar kata demi kata yang Rama lontarkan. Semua itu bak anak panah yang menghujam seluruh tubuhnya.
Gisa menatap tajam Mona dan Rama, pria yang pernah ia cintai, sebelum berkata, "Aku akan membalas setiap sakit hati yang aku dapatkan dari kalian hari ini!" Telunjuk Gisa terangkat menunjuk Rama dan Mona.
Rama mengedikan bahunya acuh, "Terserah, aku tidak peduli!" ujarnya tak gentar menerima ancaman dari Gisa.
"Kamu bisa apa memangnya?" Rama mengangkat tubuhnya, kemudian berdiri persis di hadapan Gisa. "Kamu hanya gadis menyedihkan yang hidup sebatang kara! Bahkan, ayah kandungmu sendiri lebih memilih_"
PLAKKK!
Belum sempat Rama menyelesaikan kalimatnya, sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipinya.
Rama memegang pipi sebelah kanan yang terkena tamparan Gisa. Seumur hidup, ini kali pertama dia diperlakukan kasar oleh perempuan.
Wajahnya memerah, dengan nafas yang saling memburu, siap meledakan amarahnya. Tangan Rama terangkat ke udara untuk membalas perlakuan Gisa.
Gisa memejamkan matanya erat, bersiap menerima tamparan dari Rama yang diyakininya akan sangat menyakitkan.
Namun, sesaat setelahnya, bukan tamparan yang Gisa rasakan, melainkan tarikan yang cukup kencang di bagian kepalanya.
Mona menarik rambut panjang Gisa sambil menyeretnya menuju pintu keluar.
Gisa berteriak kesakitan dengan kedua tangannya mencoba melepaskan tangan Mona dari kepalanya.
Mona berteriak, "Wanita sialan! Berani-beraninya kamu menampar kekasihku!" hardiknya sambil menyeret tubuh Gisa keluar pintu.
Gisa terjatuh tepat di depan pintu apartemen Rama. Dia meringis merasakan sakit, saat lututnya terbentur dengan lantai.
Gisa bangkit sambil mengeluarkan sumpah serapahnya. "Kamu sekarang boleh melakukan apapun yang kamu inginkan untuk menyakitiku. Tapi nanti, kamu yang akan berlutut dan menangis di bawah kakiku. Ingat sumpah ini, RAMA, MONA!" teriak Gisa sambil bersumpah di depan pintu apartemen milik Rama, sang mantan kekasih yang telah berselingkuh dengan sahabatnya sendiri yaitu, Mona.
Gisa merapihkan penampilannya. Kemudian dengan tertatih dia masuk kedalam lift yang akan membawanya menuju lantai dasar. Dia menekan tombol L agar lift langsung mengantarnya menuju lobby.
Saat pintu lift akan tertutup, seorang pria tampan menghentikannya sehingga lift terbuka kembali. Pria tampan dengan mata Jamrud tersebut langsung masuk, dan bergabung bersama Gisa.
Gisa sempat tertegun melihat mata indahnya tersebut. Mata itu mengingatkannya pada seseorang yang sangat berarti dalam hidup Gisa.
Setelah meraih kembali kesadarannya, Gisa menormalkan kembali ekspresinya, dengan segala beban pikiran di otaknya.
Saat ini dia harus kembali ke rumah sakit dan memikirkan cara lain untuk mendapatkan biaya operasi untuk bibinya.
Sungguh menyedihkan. Disaat dia akan meminta bantuan sang pacar, Tuhan malah memperlihatkan kebusukan sang pacar dan sahabatnya pada Gisa. Tanpa terasa lamunannya telah membawa Gisa menuju lantai dasar.
"Nona, apa anda tidak ingin keluar?" tanya si pemilik mata jamrud yang mempunyai suara berat dan sedikit serak tersebut.
Gisa mengerjapkan matanya, kemudian keluar dari dalam lift. "Terima kasih sudah mengingatkan!" ucap Gisa tulus dan sedikit membungkuk.
Gisa keluar dari dalam lift, kemudian berjalan lurus untuk keluar dari apartemen tersebut dan menghentikan taxi yang akan membawanya menuju rumah sakit.
"Nona, sebentar!" ucap pria yang berada didalam lift tadi sambil tangannya meraih lengan Gisa.
Terimakasih sudah membaca ❤️❤️ Dukung dengan cara masukan buku ini kedalam rak kalian kemudian vote dan berikan bintang lima nya...Setiap dukungan yang kalian berikan, sangat berarti bagi Author 🤗🤗
"Nona, sebentar!" ucap pria yang berada didalam lift tadi, sambil tangannya meraih lengan Gisa. Gisa mengerutkan keningnya bingung, sambil mencoba melepaskan tangan si pria tersebut. "Oh, sorry!" ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya ke udara. Pria tersebut mengambil saputangan dari dalam saku celananya, kemudian dia berjongkok. Dililitkan sapu tangan tersebut pada pergelangan kaki Gisa yang terluka. "Sebaiknya nona periksakan luka nona ke rumah sakit!" lanjutnya. Setelah berucap demikian, dia langsung pergi menaiki mobil mewah berharga fantastis, yang sedang menunggunya di depan lobi, sebelum Gisa sempat mengucapkan terima kasih pada pria tersebut. Gisa hanya mematung sambil melihat ke arah pria yang sudah menjauh tersebut. "Terima kasih! Setidaknya, masih ada orang asing yang mau peduli dengan wanita ini," lirihnya pelan. *** Saat ini Gisa tengah berada di dalam sebuah taxi yang akan membawanya menuju rumah sakit. Dia men
"Kamu?!" pekik Gisa sambil menunjuk wajah si pria. Si pria tersebut hanya mengerutkan keningnya tanpa menjawab keterkejutan Gisa. "Kalian sudah saling kenal?" tanya Abhinav. Gisa menggeleng pelan. "Dia, Catra Dewantara Ganendra, CEO di perusahaan tempat kita bekerja," bisik Abhinav pada Gisa. "Jadi, bukan anda CEO nya?" tanya Gisa polos yang sukses membuat Abhinav tertawa. Mata Catra menatap tajam Abhi. Gisa sendiri menggigit bibirnya sambil memainkan jari jemarinya gugup. Dia sudah berbuat lancang dengan menunjuk langsung wajah CEO-nya. Catra yang dia temui sore tadi, sungguh berbeda dengan Catra yang ada di hadapannya saat ini. Jiwa kepemimpinannya sungguh mendominasi saat ini. "Abhi, jelaskan tujuan dia dipanggil ke rumah sakit ini!" perintah Catra pada Abhi. "Jadi begini__ kamu, 'kan mmm ... " bingung Abhi. "Ckk," Catra berdecak sambil melayangkan tatapan tajamnya. "Kamu akan mendonorkan darah kamu untuk adik saya yang akan
"Ayo kita menikah!" ajaknya dengan suara serak khas Catra. Gisa menghentikan langkahnya untuk masuk kedalam rumah. Dengan reflek dia berbalik melihat kearah Catra yang masih berdiri tegap dengan wajah arogannya yang mendominasi. Kedua tangan Catra masih tersimpan didalam saku celana kerjanya. Dengan wajah bingung dan matanya yang melotot, Gisa memekik kencang, "Apa?! Anda jangan bercanda, Pak!" ucap Gisa tegas lebih kearah membentak. Namun setelahnya dia merutuki mulut lancangnya yang berani membentak bosnya. "Apa saya terlihat sedang bercanda, hem?" tanya Catra masih dengan wajah arogannya. "Tapi kan, mmm ... ke-kenapa harus saya?" tanya Gisa pelan dengan wajah menunduk. "Kenapa memangnya? Anda sudah mempunyai suami?" tanya Catra kembali. Gisa menggeleng. "Anda sebaiknya mencari perempuan yang jauh lebih sempurna dari pada, saya! Maaf, saya tidak bisa menerima permintaan, Anda!" ucap Gisa pelan. "Saya tidak membutuhkan perempu
"Pada akhirnya, semua laki-laki sama saja. Lihatlah dia yang langsung pergi setelah mengetahui kenyataan kalau aku sudah mempunyai seorang anak," lirih Gisa sambil dia arahkan pandangannya pada mobil Catra yang menghilang di sebuah belokan. "Mami, macuk," ajak Dean sambil menunjuk kearah pintu rumah. Gisa menoleh kearah Dean sambil memberikan senyum hangatnya. "Oke, baby. Let's gooooo ... " Pekiknya sambil berlari kearah rumah dengan posisi Dean dibuat seperti pesawat terbang. Gelak tawa Dean dan Gisa terdengar sampai tempat Catra berhenti. Catra sebenarnya belum pulang. Catra meminta sopir berhenti di tikungan dekat rumah Gisa sambil melihat ke arah Dean yang sedang tertawa bahagia. Dia memegang dadanya yang berdetak cepat. Nafasnya terasa sesak dengan mata yang memanas siap menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Catra keluar dari dalam mobil dengan tangan kanannya merogoh ponsel dari dalam saku celananya. Dia cari nama seseor
Tubuh tegap tersebut masih memeluk tubuh rapuh Gisa. "Maaf, selama 3 tahun ini aku tidak bisa melindungi kamu dan anak kita. Terima kasih sudah bertahan ditengah hujatan dan cacian yang kamu dapatkan dari orang-orang," ucap Catra dalam hati. Ya, laki-laki yang menjadi penyelamat Gisa hari ini adalah Catra. Laki-laki yang bahkan lamaran dadakannya Gisa tolak. Awalnya Gisa pikir Catra akan ikut menghujatnya atau bahkan tertawa puas dengan apa yang Gisa alami saat ini. Mungkin Catra akan berpikir Gisa sedang menerima karma atas penolakannya semalam, pikir Gisa. Namun Catra justru memeluknya, merangkulnya seolah-olah dia berkata semua akan baik-baik saja. Entahlah pelukan tersebut begitu menenangkan. Seperti pelukan seseorang yang Gisa rindukan namun entah siapa Gisa pun tidak mengerti. Dia bawa tubuh rapuh itu kedalam gendongannya. Orang-orang didalam restoran saling melempar pandang dengan seribu tanya dibenak mereka. Bagaimana seorang Catra Ganendra yang
Gisa menyerongkan tubuhnya menghadap Catra yang sedang mengemudi, "Pak, saya menyetujui permintaan Bapak untuk menikah!" ucap Gisa membuat Catra bersorak dalam hati. Catra mengangguk pelan dengan wajah dibuat sebiasa mungkin nyaris tanpa ekspresi. Jangan sampai Gisa tau kalau sebenarnya saat ini Catra tengah bereuphoria merayakan kemenangannya. Kemudian Gisa melanjutkan kalimatnya, "Tapi ... " ucapnya terjeda. Catra mengerutkan keningnya mendengar kata "tapi" yang Gisa lontarkan. "Saya ingin pernikahannya dilakukan di kantor catatan sipil tanpa pesta resepsi," lanjut Gisa. Catra memelankan laju kendaraannya kemudian berhenti di pinggir jalan yang jauh dari keramaian. Catra arahkan wajahnya menghadap Gisa dengan kedua tangan bertumpu pada setir mobil. "Kenapa?" tanya Catra bingung. Gisa menelan ludahnya dengan susah payah saat wajah tampan Catra sangat dekat dengannya. Mata hijau Catra menatap penuh intimidasi. Gisa tidak gentar! Dia melanjutka
Catra masuk kedalam ruangannya disambut kehebohan Abhi saat melihat Catra menggendong Dean. Abhi yang awalnya sedang duduk di kursi kebesaran Catra, langsung berdiri dan berjalan kearah Catra yang datang sambil membawa Dean di pangkuannya. "Wah ... wah ... wah ... " seru Abhi sambil bertepuk tangan. "Benar-benar little Catra. Lihatlah bagaimana cara dia menatap uncle, nya. Sama persis seperti kamu, Catra." Lanjut Abhi saat melihat Dean menatap Abhi dengan tatapan dingin seperti mengintimidasinya. Biasanya anak 2 tahun akan menangis saat bertemu dengan orang baru. Namun Dean berbeda. Dia terlihat sedang memprovokasi lawan bicaranya. Benar-benar gambaran seorang Catra. Wajahnya boleh mirip Gisa, namun segala sifatnya menurun dari Catra. "Ckk ... cepat bilang, ada hal penting apa yang ingin kamu sampaikan?!" tanya Catra sedikit menggerutu pada Abi sambil mendudukan Dean di sofa ruangannya. "Hay boy. Nama kamu siapa?" tanya Abhi pada Dean sambil m
Catra ketar ketir mencari keberadaan anaknya. Ia masuk kedalam toilet, namun nihil Dean tidak ditemukan didalam sana. Catra kemudian berlari menuju restoran. Disana pun tak ditemukan sosok Dean. Catra bertanya kepada orang-orang yang ada di dalam restoran, mereka yang melihat Dean mengatakan kalau Dean keluar dari dalam restoran. Catra mencoba untuk tenang. Dia menelpon salah satu bodyguard yang selalu mengikuti Catra kemanapun Catra pergi. Bodyguard tersebut masuk kedalam mall untuk mencari Dean serta meminta rekaman Cctv dari pengelola mall. Sementara Catra terus mencari di sekitar restoran. Catra sudah frustasi. Bagaimana kalau Gisa tau bahwa anaknya hilang? Catra yakin, Gisa bukan hanya membatalkan pernikahan mereka saja tapi juga akan membunuh Catra. Orang-orang yang tau siapa Catra menatap kagum pria yang terlihat sedang panik itu. "Dean, maaf ... Daddy bahkan tidak becus menjaga kamu!" lirih Catra dengan kedua tangannya ia simpan di pinggang dan kepala