Tubuh lemas lelaki itu kini dibawa oleh beberapa petugas kesehatan ke sebuah ruangan khusus. Karena aku tak mengenal tempat dan negara ini, aku hanya mengikuti langkah kaki Diana dan orang-orang yang membawa tubuh lemah Abi. Air mataku tak berhenti bercucuran, entah sudah berapa lama aku tak menangis hingga seperti ini. Aku merasa takut, sangat takut dia pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya.
Masih segar dalam ingatanku, belum sampai satu jam saat kami duduk berdua menikmati pemandangan sore hari. Aku sedikit lelah setelah melakukan perjalanan jauh dari Incheon ke kota Jakarta. Lalu aku menyandarkan punggungku ke bangku taman yang masih berada dalam kompleks rumah sakit. Aku menemani Abi menikmati suasana menjelang senja.
Mungkin senja ini merupakan senja Pertama dan terakhirku menemani Abi. Tak berapa lama Abi tidak sadarkan diri, aku menjerit-jerit dengan histeris memanggil petugas medis yang berada tak jauh di lokasi kami berada saa
Aku duduk termenung di sebuah kamar hotel yang sudah ku pesan untuk bermalam selama aku tinggal di negara khatulistiwa ini. Setelah prosesi pemakaman dari seorang yang sangat penting bagiku, salah satu keluarga Abi mengantarkan aku ke hotel ini. Meski ini merupakan kali pertama kami bertemu, namun keluarga Abi sangat baik padaku. Mereka bahkan tak menyangka bahwa sang putra yakni Abi memiliki sahabat di masa lalu ketika mereka tinggal di Incheon.Dengan keras aku menolak permintaan keluarga Abi agar aku tinggal sementara dengan mereka selama aku di Indonesia. Pun sama halnya dengan Diana. Wanita yang belakangan ku ketahui merupakan calon istri Abi tersebut berusaha meminta agar aku tinggal dengannya. Aku tak ingin merepotkan mereka semua. Mereka sudah cukup berduka dan aku tak ingin memperburuk keadaan.Melihat dari ketulusan dan keikhlasan Diana lah hatiku terasa tergerak untuk ingin mengenal lebih jauh dokter wanita tersebut. Ia bahkan rel
Seperti hakekatnya, sesuatu yang telah berakhir pasti telah selesai. Begitu pula penantian panjangku selama kurang lebih dua puluh tahun selama ini. Bukan perkara mudah menjadi seorang yang selalu menunggu datangnya musim salju yang turun. Kini bukan hanya musim salju yang telah berakhir, namun sebuah musim yang menghangatkan datang memeluk ragaku. Iya, musim semi.Bunga-bunga kini mulai tumbuh seiring berjalannya waktu. Cherry blossom yang awalnya meranggas karena musim gugur kini mulai menampakkan wujud indahnya. Bahkan seperti Azalea yang beberapa hari gersang kini mulai tumbuh daun-daun kecil serta kuncupnya.Kota Incheon yang awalnya terasa dingin menusuk hingga ke rongga tulang, kini berangsur-angsur mulai hangat sehangat mentari pagi, bahkan di beberapa hari ini prakiraan cuaca ku dengar cukup bersahabat dengan kami.Menjadi istri dari seorang CEO Never Webtoon tak membuatku harus bermalas-malasan. Aku masih menjalani aktivitas lamaku yakni menggamb
Waktu merupakan sebuah kata yang sarat akan makna. Waktu mampu dijadikan patokan untuk mengukur masa. Bagiku, waktu pulalah yang membuatku mampu bertahan dalam ikatan hati ini. Menunggu, mungkin kata ini menjadi momok bagi kalian semua. Namun bagiku, menunggu adalah sebuah kata yang memiliki banyak makna, menunggu adalah caraku mendekatkan diriku padamu wahai pemilik rasa.Kang Ji Won, itulah aku. Nama itu diberikan oleh kedua orang tuaku agar aku mampu menjadi pribadi yang teguh dan tak mudah menyerah. Aku pernah bertanya mengapa kedua orang tuaku memberiku nama yang memiliki arti yang luar biasa? Agar aku menjadi anak yang mampu berdiri kokoh mesti tanpa mereka begitulah jawaban dari Appa ku.Sedari kecil aku tak pernah kekurangan kasih sayang, appa selalu menyayangiku melebihi menyayangi nyawanya sendiri. Sejak kepergian Omma untuk selamanya, hanya Appa lah sandaran untukku. Tinggal bertiga dengannya serta Kang Sung Woo adikku di sebuah k
Pada senja yang membawamu pergi.Kini taman-taman menjadi kenangan.Mengulas satu per satu pertemuan.Di sebuah padang ilalang,Yang berhasil kujadikan puisiLalu, kuhadiahkan padamu.Dan aku kembali.Ketanah-tanah yang pernah kita pijak.Bahkan, tanah-tanah yang mendekatkan kita.Hingga menjadi lekat.Sebelum akhirnya pergi jauh.Kini tak ada temu kita yang menjadi tamu.Kita adalah kata-kata dari cerita yang usai.*Sudah kulihat penunjuk waktu yang berada tak jauh dari tempat dudukku. Pukul 22.00 sudah lebih dari 6jam ku habiskan waktuku dengan memandangi layar sebuah MacBook di depanku. Layar tersebut masih
“Masuklah Ji Won-ya!” perintah Pak Kwon saat aku meminta ijin masuk ke dalam ruangannya dengan mengetuk pintu kaca yang menjadi pembatas antara ruangan kepala editor dengan ruangan para staff.Di dalam ruangan yang bernuansa modern yang tertata rapi seperti gaya Pak Kwon, seorang wanita terlihat mengulas senyum ke arahku. Wanita yang belum aku kenal sebelumnya menunjukkan wajah yang ceria padaku. Aku jadi merasa kikuk pada keduanya, mungkinkah wanita itu akan menjadi atasan baruku“Silakan duduk Nona Ji Won!” ucap wanita yang ku taksir berumur lebih dari 40 tahun. Penampilannya yang elegan menambah kesan serius. Apakah aku membuat kesalahan? Ucapku dalam hati. Aku memang sering membuat masalah, dan biasanya orang pertama yang akan meneriaki ku adalah Seo Jin. Namun kali ini? Siapakah dia?Aku duduk tepat di sebelah wanita yang baru saja mengulurkan tangannya lalu ku sambut uluran tangan itu dengan
Sorak-sorai mewarnai sore para staf Never Webtoon. Beberapa editor serta komikus lain saling memberiku ucapan selamat atas prestasi yang telah ku torehkan. Bahkan Seo Jin tak henti-hentinya memberiku ucapan selamat. Aku tak tahu mengapa ia lebih antusias dari pada aku sendiri. Memang benar tujuan hidupku satu persatu mulai mampu ku raih. Salah satunya dengan keberhasilanku di dunia Webtoon ini.“Selamat Ji Won ... kami turut bangga padamu!” ucap salah satu rekan sesama pembuat komik di perusahaan kami.“Ehem ...” suara deheman dari atasan kami membuat formasi kerumunan yang kami bentuk kini kocar-kacir. Kami kembali ke tempat kerja kami masing-masing setelah Pak Kwon menegur kami dengan suara indahnya.“Pulang kerja nanti saya akan mentraktir kalian sebagai ucapan selamat untuk Nona Kang Ji Won!” Pak Kwon kemudian beranjak menuju ruangannya setalah membagikan kabar gembira pada kami. J
Aku dan Seo Jin cukup lama kenal, dan aku pun menganggap Seo Jin seperti Eonnie ku sendiri. Tak pernah terlintas sekalipun untuk menyakitinya. Hal yang tak ingin aku lakukan adalah mengecewakan Seo Jin. Tapi ....Mengapa wanita yang sudah lama mengenalku itu meragukan diriku? Apakah Seo Jin menyukai Pak Kwon? Lalu mengapa ia merasa tak senang bila aku terlalu dekat dengan Kwon Yu Bin?“Dasar anak nakal, kenapa Kau tak memberitahuku bila dekat dengan Pak Kwon! Kau anggap apa aku ini?” Seo Jin menegur ku sambil menarik sebagian rambutku. Ia terlihat kesal karena merasa tertipu jawaban dariku.“Nenek sihir ... aku tekankan lagi bahwa aku tak memiliki hubungan apa-apa dengan Kwon Yu Bin. Eonnie kan tahu sendiri pada siapa hatiku akan berlabuh,” aku memainkan jari-jemariku untuk mengurangi rasa sesak di dada. Rasa ini selalu muncul tanpa permisi bila aku mengingat kejadian di waktu lampau. 
“Kemenangan berasal dari separuh kegagalan yang pernah kita alami” – BSSAku merasa ada yang aneh kali ini, sosok yang sedang bersinggungan secara intim denganku bukanlah Seo Jin yang ku kenal. Seo Jin yang ku kenal tak bertubuh tinggi seperti ini. Seo Jin yang ku kenal tak memiliki punggung selebar ini. Apakah dia penguntit yang mengamati rumahku? Atau kah dia adalah Jayouro Gwishin (hantu di jalan Jayou).Pikiranku semakin bertualang entah ke mana. Lalu aku melepas kedua tanganku yang saat ini masih melingkar di pinggang sosok itu.Ku arahkan lampu sorot dari handphone ku ke wajahnya. Aku sudah menyiapkan seluruh nyali dan tenagaku untuk berjaga-jaga bila aku memerlukannya. Berapa terkejutnya aku, pandangan mataku jatuh pada sosok yang sudah ku kenal sebelumnya meski kami tak saling akrab, aku telah mengenalnya lama. Bukan hanya terkejut, namun aku juga menahan rasa malu yang luar biasa saat ku tahu o