Pada senja yang membawamu pergi.
Kini taman-taman menjadi kenangan.
Mengulas satu per satu pertemuan.
Di sebuah padang ilalang,
Yang berhasil kujadikan puisi
Lalu, kuhadiahkan padamu.
Dan aku kembali.
Ketanah-tanah yang pernah kita pijak.
Bahkan, tanah-tanah yang mendekatkan kita.
Hingga menjadi lekat.
Sebelum akhirnya pergi jauh.
Kini tak ada temu kita yang menjadi tamu.
Kita adalah kata-kata dari cerita yang usai.
*
Sudah kulihat penunjuk waktu yang berada tak jauh dari tempat dudukku. Pukul 22.00 sudah lebih dari 6jam ku habiskan waktuku dengan memandangi layar sebuah MacBook di depanku. Layar tersebut masih terlihat kosong, sama seperti ketika aku menghidupkannya tadi.
Pikiranku cukup kacau, ide yang biasanya muncul dengan mudahnya saat ku inginkan, kini ia mendadak tak mau menemui ku. Entah sudah berapa kali ku coba menggambar di Wacom yang berada di depanku. Papan digital itu sudah bertahun-tahun menemaniku. Bersamanya telah ‘ku gantungkan sebuah harapan dan penghidupan.
Sebagai seorang kartunis, aku dituntut oleh perusahaan yang menaungi hasil karyaku. Aku pun telah berteman dengan deadline serta hal yang berkaitan dengan webtoon Apalagi saat ini aku sedang menggarap komik on going. Editor akan dengan senang hati menekankan pekerjaanku tiap hari, itu sudah menjadi hal umum. Bahkan beberapa menit yang lalu Seo Jin, editor komik ku baru saja menelepon agar aku menyelesaikan naskah untuk tayangan besok.
Ide, saat ini entah mengapa isi kepalaku benar-benar kosong. Aku bahkan belum membuat rancangan ataupun sketsa gambar sama sekali. Pikiranku kacau setelah pulang dari Incheon Bridge. Hatiku mulai berkecamuk lagi, hal ini sering terjadi saat salju turun untuk pertama kali ke tanah Incheon. Kepulangan Abigail untuk kembali ke negaranya, membuatku larut dalam kepedihan. Hingga membutuhkan bertahun-tahun untuk memulihkan perasaan ini.
Dalam lamunanku, aku teringat sebuah kutipan nasehat dari novel romantis yang menyayat hati yang berjudul Hijrah itu Cinta. Sang penulis menyebutkan bahwa untuk menggapai jodoh ada 3 cara jitu, yakni 3M : mengikhlaskan hati, memantaskan diri dan meyakinkan diri bahwa Allah tau waktu yg tepat.
Novel karya penulis Abay Aditya itu diberikan oleh Seo Jin sebagai kenang-kenangan ketika ia mengunjungi negara khatulistiwa tersebut pada tahun 2018 lalu. Saat itu aku berharap bisa menemaninya dalam sebuah perjalanan dinas, namun pekerjaanku lah yang menggagalkan rencana ku. Mungkin suatu hari nanti aku bisa mengunjungi negeri seribu candi tersebut.
Liburan bukan menjadi alasan ku, namun ingin bersua dengan Abigail lah yang menjadi alasan mendasar dari rencanaku mengunjungi negeri tropis tersebut. Kerinduan yang mendalam menjadikan niatku kian menggebu untuk bertatap muka dengan Abigail. Namun ada hal yang selama ini menjadi momok bagiku, yaitu masih ingatkah ia dengan aku? Masih ingatkah ia dengan gadis kecil di ujung jembatan Incheon? Masih ingatkah ia dengan janji saat turun salju?
‘Ku pejamkan mata, lebih dalam aku menyelami keadaan ini. Haruskah aku mengalah pada takdir ini? Takdir yang memisahkan kami.
Segera ‘ku tepis ragu yang mulai menjalar masuk ke hatiku. Aku mulai menggambar beberapa adegan komik ku. Pekerjaan ini sungguh menjanjikan, aku mampu menambah pundi-pundi Won untuk Appa. Iya, aku harus membantu Appa dengan memberi penghidupan yang layak untuk Appa dan Kang Sung Woo adik lelakiku. Sebagai Nuna yang baik, aku tak ingin Sung Woo menjalani hidup yang menderita.
“Nuna, besok hari terakhir membayar uang ujian kenaikan tingkat!” katanya di sela-sela aku menggambar. Sung Woo-ya adalah murid berprestasi di sekolahnya. Aku sangat bangga pada adik lelakiku itu. Terlahir dari keluarga yang sederhana tak menyurutkan langkahnya untuk meraih prestasi.
Satu papan adegan sudah selesai ku gambar, kini tinggal proses finishing, yakni memberikan sentuhan kehidupan dengan melengkapinya menggunakan warna yang cerah untuk menarik perhatian. Aku memang sedang mengerjakan komik remaja, sudah sebulan ini aku mengerjai serial komik yang berjudul My Love is a Star. Produser dan kepala editor memberiku tanggung jawab penuh sebagai komikus utama pada serial ini. Dan Seo Jin lah yang mendampingi ku mengerjakan serial ini. Sebagai editorku, wanita pekerja keras itu tak lelah setiap hari menyemangati diriku.
Sungguh sejak lama telah ku nantikan sebuah rasa, rasa yang selalu bersemayam dalam dada. Hanya pada dirinya lah hatiku bermuara, meski gelisah selalu datang melanda namun aku masih menunggunya jua.
*
Langit di Incheon pagi ini cukup Sendu, setelah kemarin turun salju kini jalanan dari rumah yang ku sewa menuju kantor ku dipenuhi oleh lapisan putih tersebut. Karena cuaca semakin dingin, aku membentengi diriku agar tak jatuh sakit dengan coat selutut dengan warna coklat agar senada dengan tas yang ada di bahuku.
Selesai aku mengirim uang untuk Sung Woo aku bergegas ke kantor sebelum Seo Jin mulai meneriaki ku dengan sumpah serapahnya bila aku terlambat. Ah Seo Jin sudah seperti ibu tiri saat dia marah. Wanita yang berumur lebih dari 30 tahun itu seperti kakak kandungku sendiri.
“Kenapa matamu Ji Won-ah?” Seo Jin menarik paksa kaca mata hitam yang kupakai untuk menutupi mata panda ku. Aku sengaja menutupi kantung mataku dengan kaca mata ala bintang haliyu. Cukup sulit memang untuk menyembunyikan rasa kantukku, karena aku tak tidur sedetik pun. Aku harus mengerjakan naskah yang akan terbit hari ini, karena ini adalah salah satu bentuk tanggungjawab ku pada pembaca komik yang aku buat.
“Kau nenek lampir, ini semua gara-gara ulahmu! Setiap jam kau selalu menelepon takut aku akan kabur. Eonnie kau sungguh kejam!” aku mencibir Seo Jin dengan kesal. Kami berdua memang seperti itu, bila dekat kami akan saling ejek satu sama lain. Namun, bila kami berjauhan kami akan sibuk memonitor satu sama lain.
Bukanya marah, atasanku itu malah mencubit kedua pipiku karena gemas. Ia sering melakukan itu padaku. Apalagi bila aku membuatnya kesal, ia tak segan akan melakukan hal yang lebih parah dari sekedar mencubit pipiku.
“Sudah kukatakan padamu Ji Won, lupakan dia! Lupakan masa lalu mu! Belum tentu ia mengingat dirimu,” Seo Jin mengambil map yang berisi kontrak kerja yang baru saja ku tandatangani semalam. Lalu wanita itu berlalu begitu saja tanpa memikirkan akibat dari kalimat yang baru saja ia ucapkan.
“Kang Ji Won ...” sapa seseorang dari arah belakang tempat kerjaku. Dari suaranya aku sudah hafal dialah kepala editorku. Kwon Yu Bin, dia adalah lelaki yang jarang terlihat mengakrabkan diri bersama dengan karyawan lain. Pak Kwon, begitulah kami sering memanggilnya. Tampang tanpa senyum sedikit pun membuatnya banyak ditakuti oleh karyawan lain termasuk aku.
Aku menoleh kemudian menatap matanya, berusaha bersikap sebaik mungkin untuk memberikan kesan pegawai teladan. Karena aku tahu watak Pak Kwon seperti apa bila ia sudah marah.
“Iya Pak Kwon, apa naskahku ada masalah?”
“Bisakah kita bicara sebentar di ruanganku Ji Won-ya?”
Pada senja yang membawamu pergi.
Kini taman-taman menjadi kenangan.
Mengulas satu per satu pertemuan.
Di sebuah padang ilalang,
Yang berhasil kujadikan puisi
Lalu, kuhadiahkan padamu.
Dan aku kembali.
Ketanah-tanah yang pernah kita pijak.
Bahkan, tanah-tanah yang mendekatkan kita.
Hingga menjadi lekat.
Sebelum akhirnya pergi jauh.
Kini tak ada temu kita yang menjadi tamu.
Kita adalah kata-kata dari cerita yang usai.
*
Sudah kulihat penunjuk waktu yang berada tak jauh dari tempat dudukku. Pukul 22.00 sudah lebih dari 6jam ku habiskan waktuku dengan memandangi layar sebuah MacBook di depanku. Layar tersebut masih terlihat kosong, sama seperti ketika aku menghidupkannya tadi.
Pikiranku cukup kacau, ide yang biasanya muncul dengan mudahnya saat ku inginkan, kini ia mendadak tak mau menemui ku. Entah sudah berapa kali ku coba menggambar di Wacom yang berada di depanku. Papan digital itu sudah bertahun-tahun menemaniku. Bersamanya telah ‘ku gantungkan sebuah harapan dan penghidupan.
Sebagai seorang kartunis, aku dituntut oleh perusahaan yang menaungi hasil karyaku. Aku pun telah berteman dengan deadline serta hal yang berkaitan dengan webtoon Apalagi saat ini aku sedang menggarap komik on going. Editor akan dengan senang hati menekankan pekerjaanku tiap hari, itu sudah menjadi hal umum. Bahkan beberapa menit yang lalu Seo Jin, editor komik ku baru saja menelepon agar aku menyelesaikan naskah untuk tayangan besok.
Ide, saat ini entah mengapa isi kepalaku benar-benar kosong. Aku bahkan belum membuat rancangan ataupun sketsa gambar sama sekali. Pikiranku kacau setelah pulang dari Incheon Bridge. Hatiku mulai berkecamuk lagi, hal ini sering terjadi saat salju turun untuk pertama kali ke tanah Incheon. Kepulangan Abigail untuk kembali ke negaranya, membuatku larut dalam kepedihan. Hingga membutuhkan bertahun-tahun untuk memulihkan perasaan ini.
Dalam lamunanku, aku teringat sebuah kutipan nasehat dari novel romantis yang menyayat hati yang berjudul Hijrah itu Cinta. Sang penulis menyebutkan bahwa untuk menggapai jodoh ada 3 cara jitu, yakni 3M : mengikhlaskan hati, memantaskan diri dan meyakinkan diri bahwa Allah tau waktu yg tepat.
Novel karya penulis Abay Aditya itu diberikan oleh Seo Jin sebagai kenang-kenangan ketika ia mengunjungi negara khatulistiwa tersebut pada tahun 2018 lalu. Saat itu aku berharap bisa menemaninya dalam sebuah perjalanan dinas, namun pekerjaanku lah yang menggagalkan rencana ku. Mungkin suatu hari nanti aku bisa mengunjungi negeri seribu candi tersebut.
Liburan bukan menjadi alasan ku, namun ingin bersua dengan Abigail lah yang menjadi alasan mendasar dari rencanaku mengunjungi negeri tropis tersebut. Kerinduan yang mendalam menjadikan niatku kian menggebu untuk bertatap muka dengan Abigail. Namun ada hal yang selama ini menjadi momok bagiku, yaitu masih ingatkah ia dengan aku? Masih ingatkah ia dengan gadis kecil di ujung jembatan Incheon? Masih ingatkah ia dengan janji saat turun salju?
‘Ku pejamkan mata, lebih dalam aku menyelami keadaan ini. Haruskah aku mengalah pada takdir ini? Takdir yang memisahkan kami.
Segera ‘ku tepis ragu yang mulai menjalar masuk ke hatiku. Aku mulai menggambar beberapa adegan komik ku. Pekerjaan ini sungguh menjanjikan, aku mampu menambah pundi-pundi Won untuk Appa. Iya, aku harus membantu Appa dengan memberi penghidupan yang layak untuk Appa dan Kang Sung Woo adik lelakiku. Sebagai Nuna yang baik, aku tak ingin Sung Woo menjalani hidup yang menderita.
“Nuna, besok hari terakhir membayar uang ujian kenaikan tingkat!” katanya di sela-sela aku menggambar. Sung Woo-ya adalah murid berprestasi di sekolahnya. Aku sangat bangga pada adik lelakiku itu. Terlahir dari keluarga yang sederhana tak menyurutkan langkahnya untuk meraih prestasi.
Satu papan adegan sudah selesai ku gambar, kini tinggal proses finishing, yakni memberikan sentuhan kehidupan dengan melengkapinya menggunakan warna yang cerah untuk menarik perhatian. Aku memang sedang mengerjakan komik remaja, sudah sebulan ini aku mengerjai serial komik yang berjudul My Love is a Star. Produser dan kepala editor memberiku tanggung jawab penuh sebagai komikus utama pada serial ini. Dan Seo Jin lah yang mendampingi ku mengerjakan serial ini. Sebagai editorku, wanita pekerja keras itu tak lelah setiap hari menyemangati diriku.
Sungguh sejak lama telah ku nantikan sebuah rasa, rasa yang selalu bersemayam dalam dada. Hanya pada dirinya lah hatiku bermuara, meski gelisah selalu datang melanda namun aku masih menunggunya jua.
*Langit di Incheon pagi ini cukup Sendu, setelah kemarin turun salju kini jalanan dari rumah yang ku sewa menuju kantor ku dipenuhi oleh lapisan putih tersebut. Karena cuaca semakin dingin, aku membentengi diriku agar tak jatuh sakit dengan coat selutut dengan warna coklat agar senada dengan tas yang ada di bahuku.
Selesai aku mengirim uang untuk Sung Woo aku bergegas ke kantor sebelum Seo Jin mulai meneriaki ku dengan sumpah serapahnya bila aku terlambat. Ah Seo Jin sudah seperti ibu tiri saat dia marah. Wanita yang berumur lebih dari 30 tahun itu seperti kakak kandungku sendiri.
“Kenapa matamu Ji Won-ah?” Seo Jin menarik paksa kaca mata hitam yang kupakai untuk menutupi mata panda ku. Aku sengaja menutupi kantung mataku dengan kaca mata ala bintang haliyu. Cukup sulit memang untuk menyembunyikan rasa kantukku, karena aku tak tidur sedetik pun. Aku harus mengerjakan naskah yang akan terbit hari ini, karena ini adalah salah satu bentuk tanggungjawab ku pada pembaca komik yang aku buat.
“Kau nenek lampir, ini semua gara-gara ulahmu! Setiap jam kau selalu menelepon takut aku akan kabur. Eonnie kau sungguh kejam!” aku mencibir Seo Jin dengan kesal. Kami berdua memang seperti itu, bila dekat kami akan saling ejek satu sama lain. Namun, bila kami berjauhan kami akan sibuk memonitor satu sama lain.
Bukanya marah, atasanku itu malah mencubit kedua pipiku karena gemas. Ia sering melakukan itu padaku. Apalagi bila aku membuatnya kesal, ia tak segan akan melakukan hal yang lebih parah dari sekedar mencubit pipiku.
“Sudah kukatakan padamu Ji Won, lupakan dia! Lupakan masa lalu mu! Belum tentu ia mengingat dirimu,” Seo Jin mengambil map yang berisi kontrak kerja yang baru saja ku tandatangani semalam. Lalu wanita itu berlalu begitu saja tanpa memikirkan akibat dari kalimat yang baru saja ia ucapkan.
“Kang Ji Won ...” sapa seseorang dari arah belakang tempat kerjaku. Dari suaranya aku sudah hafal dialah kepala editorku. Kwon Yu Bin, dia adalah lelaki yang jarang terlihat mengakrabkan diri bersama dengan karyawan lain. Pak Kwon, begitulah kami sering memanggilnya. Tampang tanpa senyum sedikit pun membuatnya banyak ditakuti oleh karyawan lain termasuk aku.
Aku menoleh kemudian menatap matanya, berusaha bersikap sebaik mungkin untuk memberikan kesan pegawai teladan. Karena aku tahu watak Pak Kwon seperti apa bila ia sudah marah.
“Iya Pak Kwon, apa naskahku ada masalah?”
“Bisakah kita bicara sebentar di ruanganku Ji Won-ya?”
“Masuklah Ji Won-ya!” perintah Pak Kwon saat aku meminta ijin masuk ke dalam ruangannya dengan mengetuk pintu kaca yang menjadi pembatas antara ruangan kepala editor dengan ruangan para staff.Di dalam ruangan yang bernuansa modern yang tertata rapi seperti gaya Pak Kwon, seorang wanita terlihat mengulas senyum ke arahku. Wanita yang belum aku kenal sebelumnya menunjukkan wajah yang ceria padaku. Aku jadi merasa kikuk pada keduanya, mungkinkah wanita itu akan menjadi atasan baruku“Silakan duduk Nona Ji Won!” ucap wanita yang ku taksir berumur lebih dari 40 tahun. Penampilannya yang elegan menambah kesan serius. Apakah aku membuat kesalahan? Ucapku dalam hati. Aku memang sering membuat masalah, dan biasanya orang pertama yang akan meneriaki ku adalah Seo Jin. Namun kali ini? Siapakah dia?Aku duduk tepat di sebelah wanita yang baru saja mengulurkan tangannya lalu ku sambut uluran tangan itu dengan
Sorak-sorai mewarnai sore para staf Never Webtoon. Beberapa editor serta komikus lain saling memberiku ucapan selamat atas prestasi yang telah ku torehkan. Bahkan Seo Jin tak henti-hentinya memberiku ucapan selamat. Aku tak tahu mengapa ia lebih antusias dari pada aku sendiri. Memang benar tujuan hidupku satu persatu mulai mampu ku raih. Salah satunya dengan keberhasilanku di dunia Webtoon ini.“Selamat Ji Won ... kami turut bangga padamu!” ucap salah satu rekan sesama pembuat komik di perusahaan kami.“Ehem ...” suara deheman dari atasan kami membuat formasi kerumunan yang kami bentuk kini kocar-kacir. Kami kembali ke tempat kerja kami masing-masing setelah Pak Kwon menegur kami dengan suara indahnya.“Pulang kerja nanti saya akan mentraktir kalian sebagai ucapan selamat untuk Nona Kang Ji Won!” Pak Kwon kemudian beranjak menuju ruangannya setalah membagikan kabar gembira pada kami. J
Aku dan Seo Jin cukup lama kenal, dan aku pun menganggap Seo Jin seperti Eonnie ku sendiri. Tak pernah terlintas sekalipun untuk menyakitinya. Hal yang tak ingin aku lakukan adalah mengecewakan Seo Jin. Tapi ....Mengapa wanita yang sudah lama mengenalku itu meragukan diriku? Apakah Seo Jin menyukai Pak Kwon? Lalu mengapa ia merasa tak senang bila aku terlalu dekat dengan Kwon Yu Bin?“Dasar anak nakal, kenapa Kau tak memberitahuku bila dekat dengan Pak Kwon! Kau anggap apa aku ini?” Seo Jin menegur ku sambil menarik sebagian rambutku. Ia terlihat kesal karena merasa tertipu jawaban dariku.“Nenek sihir ... aku tekankan lagi bahwa aku tak memiliki hubungan apa-apa dengan Kwon Yu Bin. Eonnie kan tahu sendiri pada siapa hatiku akan berlabuh,” aku memainkan jari-jemariku untuk mengurangi rasa sesak di dada. Rasa ini selalu muncul tanpa permisi bila aku mengingat kejadian di waktu lampau. 
“Kemenangan berasal dari separuh kegagalan yang pernah kita alami” – BSSAku merasa ada yang aneh kali ini, sosok yang sedang bersinggungan secara intim denganku bukanlah Seo Jin yang ku kenal. Seo Jin yang ku kenal tak bertubuh tinggi seperti ini. Seo Jin yang ku kenal tak memiliki punggung selebar ini. Apakah dia penguntit yang mengamati rumahku? Atau kah dia adalah Jayouro Gwishin (hantu di jalan Jayou).Pikiranku semakin bertualang entah ke mana. Lalu aku melepas kedua tanganku yang saat ini masih melingkar di pinggang sosok itu.Ku arahkan lampu sorot dari handphone ku ke wajahnya. Aku sudah menyiapkan seluruh nyali dan tenagaku untuk berjaga-jaga bila aku memerlukannya. Berapa terkejutnya aku, pandangan mataku jatuh pada sosok yang sudah ku kenal sebelumnya meski kami tak saling akrab, aku telah mengenalnya lama. Bukan hanya terkejut, namun aku juga menahan rasa malu yang luar biasa saat ku tahu o
Jika ingin menantangku dalam lomba kesetiaan, aku pasti akan memasang badan untuk daftar pertama kali.Dan bila kalian ingin menantangku dalam lomba penantian? Aku pun akan maju di barusan paling depan, karena hingga detik ini aku masih menunggunya hadir dalam kenyataan ataupun hanya dalam mimpi.Dari kejadian malam itu, aku menanamkan sikap waspada pada diriku. Karena penguntit itulah aku lebih berhati-hati lagi. Aku takut karena penguntit itu telah menjadikan diriku sebagai sasarannya. Entah apa motifnya, yang jelas orang itu telah mengawasi aku saat ini.Sudah dua hari berlalu, seperti biasa pagi ini aku sedang menunggu bis yang akan membawaku ke tempat kerja. Halte bis yang biasanya dipenuhi oleh calon penumpang, kini terlihat lenggang. Padahal ini adalah hari Senin, seharusnya banyak pekerja yang berdesak-desakan untuk menunggu bis.Kulihat penghitung waktu yang melingkar di tanganku. Ku pikir sudah telat, na
Hal yang paling sulit untuk ku lalui adalah bekerja sama dengan kenyataan” – BSS*Bu Park menghubungi aku karena ada suatu hal yang ingin beliau sampaikan. Orang yang memegang peranan penting di GM Entertainment tersebut memintaku untuk hadir dalam survei lokasi (Recce) yang akan digunakan untuk proses shooting film yang diangkat dari komik yang ku buat.Recce (dibaca reki) adalah suatu proses mengunjungi lokasi (Survey Lokasi). Setelah produser pelaksana / produser / manajer lokasi menemukan lokasi yang sesuai dengan kebutuhan cerita, dan telah disetujui oleh sutradara, maka para kru lain yang memiliki kepentingan atau tanggung jawab saat pengambilan gambar akan datang mengunjungi lokasi tersebut.Recce berguna untuk menentukan hal teknis di lapangan. Dari sisi kreatif tentu apa yang ditulis di naskah tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi di lapangan. Oleh karena itu tim kreatif perlu
Suwon merupakan kota kecil di Korea Selatan,Kota yang menjadi pusat dari perusahaan handphone merek Samsung ini berada 30 km di selatan Kota Seoul, ibu kota Korea Selatan. Terkenal akan keberadaan bentengnya, Suwon Hwaseong Fortress, dan istananya, Hwaseong Haenggung Palace.Di tempat yang menjadi lokasi Recce adalah Istana Hwaseong Haenggung. Istana yang ku tuju bersama Kwon Yu Bin pernah digunakan dalam drama yang ditayangkan tahun 2003 yakni “Dae Jang Geum”, banyak adegan dalam serial tersebut yang shootingnya dilakukan di Hwaseong Haenggung Palace di Kota Suwon.Meski ini bukan kali Pertamanya mengunjungi Istana tersebut, tak menyurutkan langkah Ji Won untuk mengagumi keindahan tempat bersejarah tersebut.“Kalau perlu bantuan katakan saja Ji Won!” ucap Pak Kwon sebelum kami berdua keluar dari mobilnya dan menuju tempat yang sudah di bagikan oleh Bu Park. Ku lihat tatapan manik lelaki itu mampu mened
Sebelum aku meninggalkan restoran Galbi yang baru saja memanjakan perutku, aku ingin sedikit merapikan penampilan diriku yang kurasa sedikit berantakan. Sebagai seorang wanita memoles ulang riasan di wajah menjadi hal umum dilakukan. Tak jarang beberapa alat make up menjadi penghuni tetap di dalam tas yang selalu ku bawa.Beberapa saat setelah aku menambah polesan di bibir ini dengan lip balm favoritku, ku telusuri jalan yang menghubungkan kamar mandi hingga ke tempat makan yang kami pesan tadi. Namun aku menyadari ada sepasang mata sedang mengawasi ke arahku. Ku coba menatapnya balik, namun orang yang ku yakini pria itu berbalik arah dan berlari untuk melarikan diri. Aku sangat yakin orang tersebut adalah orang yang sama yakni penguntit yang selama ini membuntuti dirinya.Dengan sekuat tenaga aku berlari menyusul pria yang mengenakan pakaian tebal serta topi yang menutupi kepalanya. Sayang sekali ini malam hari, aku sedikit kesulitan meliha