Aku dan Seo Jin cukup lama kenal, dan aku pun menganggap Seo Jin seperti Eonnie ku sendiri. Tak pernah terlintas sekalipun untuk menyakitinya. Hal yang tak ingin aku lakukan adalah mengecewakan Seo Jin. Tapi ....
Mengapa wanita yang sudah lama mengenalku itu meragukan diriku? Apakah Seo Jin menyukai Pak Kwon? Lalu mengapa ia merasa tak senang bila aku terlalu dekat dengan Kwon Yu Bin?
“Dasar anak nakal, kenapa Kau tak memberitahuku bila dekat dengan Pak Kwon! Kau anggap apa aku ini?” Seo Jin menegur ku sambil menarik sebagian rambutku. Ia terlihat kesal karena merasa tertipu jawaban dariku.
“Nenek sihir ... aku tekankan lagi bahwa aku tak memiliki hubungan apa-apa dengan Kwon Yu Bin. Eonnie kan tahu sendiri pada siapa hatiku akan berlabuh,” aku memainkan jari-jemariku untuk mengurangi rasa sesak di dada. Rasa ini selalu muncul tanpa permisi bila aku mengingat kejadian di waktu lampau.
Seo Jin tampak merasa bersalah saat aku mengatakan hal itu. Wanita yang ku anggap seperti Eonnie ku sendiri kini mengelus kepalaku dengan tangan kanannya. Sesekali ia menatap ke arah spion mengamati You Ri yang masih belum sadar lantaran mabuk. Kami memang ingin mengantarnya pulang karena tak tega membiarkan ia pulang seorang diri.
*
Ku lambaikan tanganku pada Seo Jin yang baru saja mengantarkan aku pulang. Seo Jin masih memperhatikan aku ketika aku melambaikan tanganku padanya. Ia menatapku dari spion mobilnya. Sebelum itu ia mengantarkan Min You Ri terlebih dahulu. Udara di Incheon pada malam ini terasa dingin. Dinginnya udara malam ini terasa erat memelukku.
Lalu aku menyusuri jalan setapak menuju rumahku. Rumah yang ku sewa 6 bulan yang lalu memang memiliki halaman yang sedikit luas. Pemilik rumah mendesign rumah ini dengan apik. Ia membangun jalan setapak dengan berbatuan kecil menuju pintu utama.
Bila musim salju seperti ini, berbatuan kecil yang tersusun rapi tersebut tak terlihat. Tebalnya salju menutupi jalan masuk rumahku itu. Aku lebih merapatkan mantelku saat ku rasa udara dingin mulai menyapa diriku. Ku masukan kedua tanganku ke dalam saku mantelku. Aku mulai menikmati musim salju tahun ini.
Tanpa kusadari, arah pandang ku jatuh pada sepasang jejak kaki yang membekas di atas jalan yang ditutupi oleh salju putih. Bila ditilik dari besar jejak kaki tersebut, aku yakin bila pemiliknya adalah seorang pria. Peristiwa ini membuat naluri berjaga yang ku miliki kunaikkan hingga level siaga. Aku sangat yakin itu bukanlah jejak kaki Sung Woo ataupun appa.
Namun bekas yang ditinggalkan seseorang tersebut berhenti tepat di bawah pohon maple yang berada tak jauh dari pintu rumahku. Kata pemilik rumah, pohon maple tersebut sudah ada sejak rumah ini dibangun pertama kali. Pohon yang menjadi saksi bisu tersebut kini berubah warna dari warna coklat kini berubah menjadi warna putih karena ditutupi oleh salju.
Ku percepat langkahku menuju dalam rumah, aku takut bila penguntit tersebut datang kembali. Bagaimanapun juga aku seorang perempuan, aku tak berani bila harus melawan orang asing tersebut. Hatiku sudah tak karuan, kulafalkan beberapa doa agar memenangkan hatiku tak bergejolak.
Begitu aku masuk ke dalam rumah, rasa lega kini hinggap di benakku. Segera saja aku mengunci rapat pintu dan jendela, meski begitu aku tak menghubungi Appa serta Sung Woo agar kedua lelaki itu tak mengkhawatirkan aku.
*
Besok adalah hari libur, setelah membersihkan badan serta mencuci rambutku aku segera mendekati tempat tidurku. Aku ingin absen menggambar untuk malam ini. Lembur untuk menyelesaikan beberapa adegan komik menjadi hal yang tak aneh bagiku. Karen besok libur, ini pengecualian. Aku ingin bersantai malam ini dan menggantinya besok.
Ku coba memejamkan kedua mata ini, mata yang biasanya aku gunakan untuk bekerja pada malam hari. Kali ini ingin ku manja, karena kedua mata ini lah mimpiku akhirnya terwujud. Mimpi menjadi komikus terkenal salah satu hal yang sudah lama ku pendam, dan akhirnya aku mampu menggapai impianku.
Suasana nyaman yang ku rasakan ini, dengan berubah dengan sekejap mata. Aku mulai ketakutan dan suasana menjadi mencekam. Mati lampu, hal yang belum pernah terjadi sejak aku pindah kemari. Apalagi ada peristiwa jejak kaki tadi, hal itu menambah panjang ketakutan yang kurasakan.
Segera ku gapai telepon yang tak berada tak jauh dari jangkauanku. Meski harus meraba-raba namun aku berhasil menemukan benda pintar tersebut. Tak menunggu waktu lama lagi, aku segera menghubungi Seo Jin temanku dari daftar panggilan terakhir dari teleponku.
“Eonnie ... bisakah kau kemari? Listrik di rumahku padam. Aku takut!” ucapku begitu saja. Aku memang telah terbiasa bersikap begitu pada Seo Jin. Karena keakraban Kami lah, yang membuatku bisa menggantungkan bila aku perlu sesuatu. Pun sebaliknya, Seo Jin bahkan pernah memintaku menemaninya kala ia putus cinta. Wanita itu benar-benar kacau hingga membuatku kesulitan membawanya pulang sehabis minum.
Hanya ditemani cahaya temaram dari Flashlight ponselku, aku menunggu kedatangan Seo Jin. Aku bahkan tak menunggu persetujuan dari Seo Jin, entah ia bersedia datang atau tidak yang jelas aku mengharapkan ia datang menemani aku.
Dua puluh menit kemudian aku mendengar suara bel rumahku berbunyi berkali-kali. Dari ritme bunyinya yang terkesan panik, aku tahu itu Seo Jin. Wanita itu memiliki tabiat yang tak suka menunggu terlalu lama. Seperti itulah Seo Jin, teman sekaligus sahabat baikku yang bersedia malam-malam menemui ku hanya karena mati lampu dan mengkhawatirkan aku.
Dengan ditemani lampu sorot dari ponselku, aku berjalan di kegelapan menuju pintu. Begitu mendekati pintu, aku menekan tombol yang menghubungkan panggilan terakhir yang kulakukan tadi. Hal tersebut ku lakukan untuk memastikan bahwa dia adalah Seo Jin. Aku takut bila itu orang jahat yang meninggalkan jejak kaki di halaman rumahku.
Begitu terdengar bunyi ponsel dari arah luar, aku merasa lega karena itu Seo Jin. Tak ingin mengulur waktu lebih lama lagi, segera ku buka pintu rumahku dan menarik tangan Seo Jin agar ia masuk dan menemani diriku.
“Eonnie, aku benar-benar ketakutan! Aku takut sekali karena ada penguntit juga!” kataku menjelaskan pada Seo Jin yang kini sudah ku peluk dengan tiba-tiba.
Namun aku merasa ada hal aneh, mengapa badan Seo Jin berubah besar? Dan punggungnya lebih lebar dari biasanya serta aku belum pernah melihat mantel seperti yang ku raba malam ini. Dan yang paling mencengangkan lagi sejak kapan Seo Jin lebih tinggi dari aku?
Lalu siapakah dia ? Siapa orang yang ku telpon tadi? Siapa orang yang malam-malam datang ke rumahku.
Seperti hakekatnya, sesuatu yang telah berakhir pasti telah selesai. Begitu pula penantian panjangku selama kurang lebih dua puluh tahun selama ini. Bukan perkara mudah menjadi seorang yang selalu menunggu datangnya musim salju yang turun. Kini bukan hanya musim salju yang telah berakhir, namun sebuah musim yang menghangatkan datang memeluk ragaku. Iya, musim semi.Bunga-bunga kini mulai tumbuh seiring berjalannya waktu. Cherry blossom yang awalnya meranggas karena musim gugur kini mulai menampakkan wujud indahnya. Bahkan seperti Azalea yang beberapa hari gersang kini mulai tumbuh daun-daun kecil serta kuncupnya.Kota Incheon yang awalnya terasa dingin menusuk hingga ke rongga tulang, kini berangsur-angsur mulai hangat sehangat mentari pagi, bahkan di beberapa hari ini prakiraan cuaca ku dengar cukup bersahabat dengan kami.Menjadi istri dari seorang CEO Never Webtoon tak membuatku harus bermalas-malasan. Aku masih menjalani aktivitas lamaku yakni menggamb
Aku duduk termenung di sebuah kamar hotel yang sudah ku pesan untuk bermalam selama aku tinggal di negara khatulistiwa ini. Setelah prosesi pemakaman dari seorang yang sangat penting bagiku, salah satu keluarga Abi mengantarkan aku ke hotel ini. Meski ini merupakan kali pertama kami bertemu, namun keluarga Abi sangat baik padaku. Mereka bahkan tak menyangka bahwa sang putra yakni Abi memiliki sahabat di masa lalu ketika mereka tinggal di Incheon.Dengan keras aku menolak permintaan keluarga Abi agar aku tinggal sementara dengan mereka selama aku di Indonesia. Pun sama halnya dengan Diana. Wanita yang belakangan ku ketahui merupakan calon istri Abi tersebut berusaha meminta agar aku tinggal dengannya. Aku tak ingin merepotkan mereka semua. Mereka sudah cukup berduka dan aku tak ingin memperburuk keadaan.Melihat dari ketulusan dan keikhlasan Diana lah hatiku terasa tergerak untuk ingin mengenal lebih jauh dokter wanita tersebut. Ia bahkan rel
Tubuh lemas lelaki itu kini dibawa oleh beberapa petugas kesehatan ke sebuah ruangan khusus. Karena aku tak mengenal tempat dan negara ini, aku hanya mengikuti langkah kaki Diana dan orang-orang yang membawa tubuh lemah Abi. Air mataku tak berhenti bercucuran, entah sudah berapa lama aku tak menangis hingga seperti ini. Aku merasa takut, sangat takut dia pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya.Masih segar dalam ingatanku, belum sampai satu jam saat kami duduk berdua menikmati pemandangan sore hari. Aku sedikit lelah setelah melakukan perjalanan jauh dari Incheon ke kota Jakarta. Lalu aku menyandarkan punggungku ke bangku taman yang masih berada dalam kompleks rumah sakit. Aku menemani Abi menikmati suasana menjelang senja.Mungkin senja ini merupakan senja Pertama dan terakhirku menemani Abi. Tak berapa lama Abi tidak sadarkan diri, aku menjerit-jerit dengan histeris memanggil petugas medis yang berada tak jauh di lokasi kami berada saa
Ku berjalan menelusuri setiap jengkal bangunan tempat Abi dirawat. Perasaanku berkecamuk semenjak aku menginjakkan kakiku di bandara. Perasaan sedih, sesal, kecewa melebur menjadi satu. Aku mengikuti langkah kaki Diana dari belakang. Wanita itu akan membawaku menemui pria malang tersebut. Ku rindu senyum manisnya yang dulu, ku rindu kata-kata manisnya yang dulu.Dari luar jendela kaca ku lihat sosok lelaki yang tengah berbaring tak berdaya. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri untuk masuk guna menemui Abi. Diana memohon padaku agar aku tak menangis di hadapan Abi nanti. Bahagia bisa aku tak menangis? Bahkan saat ini juga aku tak mampu menahan air mataku yang jatuh begitu saja.Meningioma adalah penyakit yang diderita Abi. Meski aku tak seberapa paham akan penyakit ini, namun dari penjelasan Diana aku bisa menyimpulkan bahwa Abigail kehilangan Indra penglihatannya disebabkan oleh sel tumor yang menekan syaraf di otaknya. Karena
Sepasang tangan anak manusia masih melingkar erat di pinggangku. Si empunya tangan masih terlelap saat aku membuka mata. Baru kali ini aku melemparkan diri tidur dengan laki-laki dewasa, meski tak terjadi sesuatu padaku namun aku merasa malu. Apalagi saat Yu Bin nanti bangun, apa yang harus aku katakan pada dia? Akankah aku mengatakan bahwa aku nyaman tidur saat ia peluk? Atau kah aku akan berterima kasih padanya karena akhirnya aku bisa tertidur saat perasaanku tak tentu arah.Hah ... sebelum ia bangun, aku harus cepat-cepat meloloskan diri dari rengkuhannya. Aku terlalu malu hingga tak bisa berkata apa-apa saat ia bangun nanti.Aku mencoba melepaskan diri dari kedua lengan pria tersebut, pelan-pelan ku beranjak dari tempat tidurku. Aku ingin segera menuju kamar mandi guna merapikan tampilan ku yang sedikit berantakan. Setelah Kwon Yu Bin mengizinkan aku untuk bertemu dengan Abi, aku berniat untuk segera bersiap-siap dengan ke
Perasaan yang sudah lama ku jaga, kini tak bisa lagi ku bendung. Tembok yang membatasi antara kami berdua, kini seakan runtuh seketika karena digerus oleh gelombang duka.Abi, begitu sapaan ku padanya anak lelaki yang menjadi alasan mengapa aku harus menunggu datangnya salju pertama sedang berjuang melawan penyakitnya. Dan Diana, wanita yang kini berstatus menjadi istrinya memohon padaku agar aku bisa datang untuk menyemangati Abi.Lalu bagaimana caraku agar Kwon Yu Bin mengizinkannya aku? Bagaimanapun juga pria itu kini berhak tahu atas apa yang akan aku lakukan. Bukan hal mudah mengatakan pada direktur ku tersebut, melihat ia saat ini menjabat menjadi kekasihku akan cukup sulit meminta izin darinya.“Oppa apa yang harus Ku lakukan?” tanyaku padaku, saat ini ia memang sengaja mengantar aku pulang. Meski aku bersikeras ingin melanjutkan pekerjaanku di kantor, nyatanya pikiranku entah berpeluang ke mana? Konsentratku terpec