“Kemenangan berasal dari separuh kegagalan yang pernah kita alami” – BSS
Aku merasa ada yang aneh kali ini, sosok yang sedang bersinggungan secara intim denganku bukanlah Seo Jin yang ku kenal. Seo Jin yang ku kenal tak bertubuh tinggi seperti ini. Seo Jin yang ku kenal tak memiliki punggung selebar ini. Apakah dia penguntit yang mengamati rumahku? Atau kah dia adalah Jayouro Gwishin (hantu di jalan Jayou).
Pikiranku semakin bertualang entah ke mana. Lalu aku melepas kedua tanganku yang saat ini masih melingkar di pinggang sosok itu.
Ku arahkan lampu sorot dari handphone ku ke wajahnya. Aku sudah menyiapkan seluruh nyali dan tenagaku untuk berjaga-jaga bila aku memerlukannya. Berapa terkejutnya aku, pandangan mataku jatuh pada sosok yang sudah ku kenal sebelumnya meski kami tak saling akrab, aku telah mengenalnya lama. Bukan hanya terkejut, namun aku juga menahan rasa malu yang luar biasa saat ku tahu orang yang datang malam ini ke rumahku adalah atasanku sendiri.
“Apa ini kebiasaanmu Nona Ji Won? Kau berani memeluk orang sembarangan?”
Wajah ini memerah karena menahan malu yang luar biasa. Aku tak mampu lagi menghadapi kepala editorku saat ini. Aku terlalu jengah untuk mengakui kebodohan ku padanya. Pasrah, itulah yang bisa ku lakukan untuk saat ini. Hanya dengan cara itulah aku mampu menghadapi atasanku yang sedang murka ini.
“Maafkan aku Pak Kwon, aku menganggap Bapak adalah Seo Jin!” jelas ku terbata-bata. Lalu aku menghembuskan napas dengan kasar ke sembarang arah. Aku sungguh malu atas sikapku, dan aku menyadari betapa bodohnya aku.
“Sekarang tunjukkan padaku, di mana letak sakelar meteran listriknya?” tegur Kwon Yu Bin setengah memarahiku. Bisa kulihat dari sorot matanya, aku menangkap sebuah kemurkaan dari kedua bola matanya. Ini semua memang salahku. Aku yang menyebabkan ia kemari malam-malam untuk hal yang tak penting baginya.
Aku mengakui bahwa aku yang salah, aku sembarangan menekan daftar panggilan terbaru tanpa melihat nama yang tertera. Dan aku baru saja teringat, kala itu aku menghubungi Pak Kwon ketika menanyakan alamat restoran yang akan kami gunakan untuk makan malam ketika aku dan Seo Jin dalam perjalanan tersebut. Aku mengutuk diriku sendiri, betapa bodohnya aku. Aku dengan tak tahu malu menyusahkan atasanku untuk hal yang seharusnya tak ia lakukan.
Aku menunjukkan arah sakelar listrik tersebut pada Pak Kwon. Sambil menerangi jalan beliau menggunakan lampu flash dari ponselku. Untuk beberapa saat kulihat Pak Kwon sedang membetulkan sakelar tersebut. Karena aku sama sekali tak mengerti hal seperti itu, yang kulakukan hanya diam. Cukup diam saja dan mengamati atasan lelakiku. Dengan cekatan, Kwon Yu Bin membereskan pekerjaannya. Tak berapa lama, listrik di rumahku menyala. Syukurlah beliau mampu memperbaikinya.
“Terima kasih, maaf sudah membuat Anda repot!” Aku mengucapkan rasa terima kasih ku padanya sambil menunduk. Ini merupakan cara yang efektif agar dia tak meledakkan amarahnya lagi padaku.
“Hm ...” jawabnya singkat, seolah ingin menegaskan bahwa ia keberatan karena aku telah merusak waktu berharganya.
Ku dongakkan kepalaku ke atas agar aku mampu menatap wajahnya. Bukan untuk menantangnya, namun aku hanya ingin berterima kasih padanya. Tak lebih!
Ku lihat mantelnya basah terkena salju dari luar. Malam ini salju turun lebih lebat dari biasanya, dan ku rasa hawa dingin telah menyerangnya ketika di luar. Aku merasa bersalah padanya, karena tak seharusnya aku melakukan ini padanya. Namun karena kebodohan ku lah yang menyebabkan ia jadi seperti ini.
“Apa Anda baik-baik saja?” ku lirik wajahnya sedikit pucat. Aku rasa Kwon Yu Bin terlalu lama di luar. Memang jarak antara jalan raya ke rumahku tak jauh, tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya kedinginan karena cuaca sedang tak bersahabat seperti malam ini.
“Kau pikir saja sendiri! Aku susah payah menuju kemari secepat yang ku bisa, tapi apa yang terjadi? Seorang wanita bodoh yang ketakutan karena mati lampu?” Aku tak heran bila Pak Kwon berkata seperti itu, memang begitulah sifatnya. Jadi saat ia baik padaku di kantor, itu hanya rekayasa. Aku tahu ia mencoba berbuat baik padaku di depan karyawan lainnya.
“Sekali lagi aku minta maaf Pak! Lain kali aku tak akan menyusahkan anda lagi,”
“Ingat Ji Won-ah, kalau bukan karena komik mu sukses dan mengharumkan nama perusahaan, aku tak akan mungkin membantumu!”
Entah mengapa ucapannya kali ini berbeda dari ucapan sebelum-sebelumnya. Kata-kata Pak Kwon lebih dingin dari salju di luar sana. Tak terasa ke dua mataku berkaca-kaca mendengar kalimat yang Yu Bin katakan. Hatiku sungguh pilu bak diiris seribu sembilu.
Pak Kwon kemudian berjalan menuju pintu keluar, tak sepatah kata pun ia ucapkan untuk berpamitan padaku. Aku rasa ia tak ingin membuang waktu berharganya di rumahku. Meski aku tak di hargai sebagai tuan rumah, tapi tak mengapa karena mau bagaimanapun ia telah sudi datang ke rumahku dan membantuku meski itu hanya terpaksa. Dan aku tak ingin berharap banyak agar dia berbaik hati padaku.
Segera ku tutup pintu setelah sosoknya menghilang di balik dinginnya malam. Aku pun ingin segera menjalankan waktu istirahatku. Sebelum memejamkan kedua manikku, aku menatap penunjuk waktu yang ku letakkan tak jauh dari tempat tidurku. Segera ku rengkuh benda itu untuk sesaat. Aku mengingat setiap kenangan yang telah tertuang di antara aku dan dia. Benda ini merupakan pemberiannya padaku, agar aku selalu mengingatnya meski jarak dan waku telah memisahkan kami.
Kulihat angka yang ditunjukkan oleh jam tersebut telah berada di pukul 00.03 am waktu Korea. Entah mengapa mata ini sulit untuk terpejam, apa karena aku terbiasa terjaga hingga menjelang subuh? Atau karena aku memikirkan dia? Lelaki yang ku temui pertama kali di Jembatan Incheon. Lelaki yang memintaku menunggu kehadirannya setiap turun salju untuk pertama kali di Incheon. Lelaki yang menjadi penghuni hati ini. Lelaki yang tak pernah enyah dari.
Putihnya salju melambangkan putihnya cintaku.
Dinginnya salju menandakan penantian panjang ku untukmu.
Meski salju turun hanya beberapa bulan dalam.
Pada rasa yang selalu ku kenang hingga kini, aku selalu merindukanmu setiap detik.
Kini salju telah turun untuk ke sekian kalinya setelah engkau meninggalkan aku.
Namun penantian ku padamu takkan pernah terkikis oleh waktu.
Tiada hati tempatku untuk menggantimu,
Putihnya cintaku, dinginnya penantian ku.
Ku anggap itu sebagai kenangan serta rinduku.
Yang selau tertuju padamu.
Wahai lelaki Salju Pertama ku.
Seperti hakekatnya, sesuatu yang telah berakhir pasti telah selesai. Begitu pula penantian panjangku selama kurang lebih dua puluh tahun selama ini. Bukan perkara mudah menjadi seorang yang selalu menunggu datangnya musim salju yang turun. Kini bukan hanya musim salju yang telah berakhir, namun sebuah musim yang menghangatkan datang memeluk ragaku. Iya, musim semi.Bunga-bunga kini mulai tumbuh seiring berjalannya waktu. Cherry blossom yang awalnya meranggas karena musim gugur kini mulai menampakkan wujud indahnya. Bahkan seperti Azalea yang beberapa hari gersang kini mulai tumbuh daun-daun kecil serta kuncupnya.Kota Incheon yang awalnya terasa dingin menusuk hingga ke rongga tulang, kini berangsur-angsur mulai hangat sehangat mentari pagi, bahkan di beberapa hari ini prakiraan cuaca ku dengar cukup bersahabat dengan kami.Menjadi istri dari seorang CEO Never Webtoon tak membuatku harus bermalas-malasan. Aku masih menjalani aktivitas lamaku yakni menggamb
Aku duduk termenung di sebuah kamar hotel yang sudah ku pesan untuk bermalam selama aku tinggal di negara khatulistiwa ini. Setelah prosesi pemakaman dari seorang yang sangat penting bagiku, salah satu keluarga Abi mengantarkan aku ke hotel ini. Meski ini merupakan kali pertama kami bertemu, namun keluarga Abi sangat baik padaku. Mereka bahkan tak menyangka bahwa sang putra yakni Abi memiliki sahabat di masa lalu ketika mereka tinggal di Incheon.Dengan keras aku menolak permintaan keluarga Abi agar aku tinggal sementara dengan mereka selama aku di Indonesia. Pun sama halnya dengan Diana. Wanita yang belakangan ku ketahui merupakan calon istri Abi tersebut berusaha meminta agar aku tinggal dengannya. Aku tak ingin merepotkan mereka semua. Mereka sudah cukup berduka dan aku tak ingin memperburuk keadaan.Melihat dari ketulusan dan keikhlasan Diana lah hatiku terasa tergerak untuk ingin mengenal lebih jauh dokter wanita tersebut. Ia bahkan rel
Tubuh lemas lelaki itu kini dibawa oleh beberapa petugas kesehatan ke sebuah ruangan khusus. Karena aku tak mengenal tempat dan negara ini, aku hanya mengikuti langkah kaki Diana dan orang-orang yang membawa tubuh lemah Abi. Air mataku tak berhenti bercucuran, entah sudah berapa lama aku tak menangis hingga seperti ini. Aku merasa takut, sangat takut dia pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya.Masih segar dalam ingatanku, belum sampai satu jam saat kami duduk berdua menikmati pemandangan sore hari. Aku sedikit lelah setelah melakukan perjalanan jauh dari Incheon ke kota Jakarta. Lalu aku menyandarkan punggungku ke bangku taman yang masih berada dalam kompleks rumah sakit. Aku menemani Abi menikmati suasana menjelang senja.Mungkin senja ini merupakan senja Pertama dan terakhirku menemani Abi. Tak berapa lama Abi tidak sadarkan diri, aku menjerit-jerit dengan histeris memanggil petugas medis yang berada tak jauh di lokasi kami berada saa
Ku berjalan menelusuri setiap jengkal bangunan tempat Abi dirawat. Perasaanku berkecamuk semenjak aku menginjakkan kakiku di bandara. Perasaan sedih, sesal, kecewa melebur menjadi satu. Aku mengikuti langkah kaki Diana dari belakang. Wanita itu akan membawaku menemui pria malang tersebut. Ku rindu senyum manisnya yang dulu, ku rindu kata-kata manisnya yang dulu.Dari luar jendela kaca ku lihat sosok lelaki yang tengah berbaring tak berdaya. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri untuk masuk guna menemui Abi. Diana memohon padaku agar aku tak menangis di hadapan Abi nanti. Bahagia bisa aku tak menangis? Bahkan saat ini juga aku tak mampu menahan air mataku yang jatuh begitu saja.Meningioma adalah penyakit yang diderita Abi. Meski aku tak seberapa paham akan penyakit ini, namun dari penjelasan Diana aku bisa menyimpulkan bahwa Abigail kehilangan Indra penglihatannya disebabkan oleh sel tumor yang menekan syaraf di otaknya. Karena
Sepasang tangan anak manusia masih melingkar erat di pinggangku. Si empunya tangan masih terlelap saat aku membuka mata. Baru kali ini aku melemparkan diri tidur dengan laki-laki dewasa, meski tak terjadi sesuatu padaku namun aku merasa malu. Apalagi saat Yu Bin nanti bangun, apa yang harus aku katakan pada dia? Akankah aku mengatakan bahwa aku nyaman tidur saat ia peluk? Atau kah aku akan berterima kasih padanya karena akhirnya aku bisa tertidur saat perasaanku tak tentu arah.Hah ... sebelum ia bangun, aku harus cepat-cepat meloloskan diri dari rengkuhannya. Aku terlalu malu hingga tak bisa berkata apa-apa saat ia bangun nanti.Aku mencoba melepaskan diri dari kedua lengan pria tersebut, pelan-pelan ku beranjak dari tempat tidurku. Aku ingin segera menuju kamar mandi guna merapikan tampilan ku yang sedikit berantakan. Setelah Kwon Yu Bin mengizinkan aku untuk bertemu dengan Abi, aku berniat untuk segera bersiap-siap dengan ke
Perasaan yang sudah lama ku jaga, kini tak bisa lagi ku bendung. Tembok yang membatasi antara kami berdua, kini seakan runtuh seketika karena digerus oleh gelombang duka.Abi, begitu sapaan ku padanya anak lelaki yang menjadi alasan mengapa aku harus menunggu datangnya salju pertama sedang berjuang melawan penyakitnya. Dan Diana, wanita yang kini berstatus menjadi istrinya memohon padaku agar aku bisa datang untuk menyemangati Abi.Lalu bagaimana caraku agar Kwon Yu Bin mengizinkannya aku? Bagaimanapun juga pria itu kini berhak tahu atas apa yang akan aku lakukan. Bukan hal mudah mengatakan pada direktur ku tersebut, melihat ia saat ini menjabat menjadi kekasihku akan cukup sulit meminta izin darinya.“Oppa apa yang harus Ku lakukan?” tanyaku padaku, saat ini ia memang sengaja mengantar aku pulang. Meski aku bersikeras ingin melanjutkan pekerjaanku di kantor, nyatanya pikiranku entah berpeluang ke mana? Konsentratku terpec