"Yang sopan sama Aden!" tegur Mbok Minah yang menarik tangan gadis itu.
"Maaf, Den. Apa Aden yang sudah bayar benang rajut saya?" Mata gadis itu membesar, penasaran. Tidak memperhatikan teguran Mbok Minah.
"Sudah ingat sekarang?" tanya Cakra dengan wajah sok serius.
"Jadi gaji yang dipotong lima puluh ribu itu buat ganti benang ya, Den? Sebenarnya saya juga sudah balik ke toko itu untuk membayar, tapi katanya sudah dibayari sama pria tinggi yang cakep." Gadis itu kembali memperhatikan wajah Cakra.
"Tapi kenapa wajah Aden babak belur seperti ini? Jadi pangling saya," lanjut gadis itu.
"Jadi kamu nggak berniat mencuri benang itu? Lalu kenapa lari? Gara-gara kamu, saya dituduh komplotan pencuri!" Cakra mendengkus keras.
"Maaf, Den. Saya dapat kabar kalau diterima di sini. Saking senangnya, sampai-sampai langsung ke lapor ke atasan. Jadi lupa belum bayar. Pas masuk-masukin baju ke koper, saya baru ingat. Tapi sebelum ke rumah Aden, saya ke toko itu dulu kok, Den. Ternyata malah sudah dibayar. Benar-benar bukan niat saya mau mencuri," terang gadis yang terlihat malu-malu.
"Baiklah. Kita anggap urusan ini selesai."
Tangan kiri Cakra terulur. "Namaku Cakra, namamu siapa?"
Gadis itu tertegun sejenak sebelum menyambut tangan pria itu. "Aura."
Sebenarnya Cakra tidaklah kidal. Dia memang selalu berjabat tangan dengan tangan kiri, agar bisa membuat kontak dengan jari kelingking kiri milik orang lain. Inilah caranya dia bisa menyusuri benang merah jodoh.
Namun, anehnya tidak terlihat garis merah di jari Aura. Sampai-sampai Cakra membalikkan telapak tangan hingga bagian punggung menghadap ke arahnya. Dia bahkan mengelus pelan jari kelingking gadis itu.
Tangan Aura dengan cepat ditarik oleh pemiliknya. Gadis itu menunduk, tapi Cakra masih bisa melihat pipi yang semerah tomat.
"Mbok Minah, tolong antarkan Aura ke kamarnya."
"Baik, Den." Mbok Minah sudah memberi kode pada Aura untuk mengikutinya.
"Aura, setelah kamu cukup istirahat, segera naik ke kamar saya," pinta Cakra yang mulai berjalan meninggalkan kedua pegawainya.
"Den, kok saya disuruh ke kamar? Mau apa ya, Den? Saya kerja di sini sebagai asisten pribadi, bukan pengasuh anak!" ucap Aura dengan nada yang semakin naik.
"Saya nggak harus menyuapi dan menidurkan Aden, kan?" tanya Aura, terlihat wajahnya begitu tegang. Gadis itu bahkan menggigit bibir bawah.
"Usul yang bagus, bisa dipertimbangkan," goda Cakra sambil mengerling.
Dia masih sempat melihat pandangan cemas Aura yang ditujukan ke Mbok Minah. Namun, Cakra sudah lelah. Dia ingin berdiam diri sejenak, sebelum mulai mengobservasi asisten pribadinya yang baru.
Dia menaiki tangga melingkar menuju pintu pertama yang merupakan kamarnya. Sejenak Cakra melihat ke arah kamar kedua yang tertutup rapat, penuh kerinduan. Namun, segera dia memalingkan muka dan membuka pintu kamarnya.
Udara sejuk menerpa tubuh Cakra ketika melangkah masuk. Dia duduk di kursi berlengan yang menghadap ke pintu. Sebuah buku agenda sewarna pasir diraih oleh Cakra.
"Aura, nama yang sesuai dengan kemampuan Ayah. Cocok dengan keluarga ini. Memiliki benang merah yang sangat tipis. Antara dia yang tidak percaya dengan cinta atau pasangannya yang tidak percaya dengan cinta? Harus dihindari! Curiga kalau dia adalah orang yang diomongkan Rista. Waspada!" Cakra mulai menuliskan hasil pengamatannya di halaman yang kosong.
"Paling nggak, gadis itu tidak genit. Kira-kira berapa lama akan bertahan di rumah ini?" gumam Cakra setelah selesai menulis.
Dia kemudian menutup buku agenda, kemudian menyimpannya di laci bawah meja kerja. Setelah mengunci laci itu, Cakra meraih buku agenda sewarna langit yang tergeletak di atas meja.
Dia menuliskan beberapa janji temu, lalu membuka komputer untuk melihat file klien yang belum ditangani. Terlihat foto klien yang menunjukkan telapak tangan kiri. Cakra memang sengaja meminta para klien untuk berpose seperti itu, agar bisa melihat benang yang terikat di jari.
Dia juga sudah membuat program yang bisa menyusuri jejak benang merah ke file lawan jenis. Meskipun masih keturunan penyihir, tapi dia tidak anti dengan dunia modern.
Suara ketukan pintu terdengar lebih keras. "Masuk, Mbok."
Sebuah kepala tersembul dengan senyum malu-malu. Ternyata Aura, bukan Mbok Minah. Aura kemudian masuk sambil membawa nampan.
"Apa sudah waktunya disuapi? Berarti setelah ini harus cuci kaki lalu tidur. Apa mau dikelonin juga? Dinyanyikan nina bobo atau didongengin?" sindir Cakra dengan sinis.
"Maaf, Den. Saya nggak bermaksud menyamakan Aden dengan anak-anak. Anggap bercanda ya, Den," pinta Aura yang tertawa canggung.
Cakra mengangguk, gadis yang satu ini memang beda. Kalau asisten yang lain pasti menyambar kesempatan itu untuk menggodanya di tempat tidur. Meskipun Cakra sering berkencan, tapi tidak pernah main-main dan berselingkuh. Dia cukup setia, setia jagain jodoh orang. Saat tahu pasangan pacarnya, dia pasti berusaha untuk mendekatkan mereka. Tentu saja setelah memutuskan pacarnya terlebih dahulu.
"Taruh saja di sini!" Tunjuk Cakra dengan menggunakan dagu. Dia menggerakkan kursi hingga tubuhnya menempel di pinggir meja.
"Saya juga bawa kotak P3K, Den. Tadi Mbok Minah ngasih tahu suruh obatin luka Aden dulu. Setelah itu, Aden baru boleh makan," ujar Aura yang mengulangi perintah dari seniornya.
Gadis itu menarik kursi hingga berada di samping kanan Cakra. Tanpa permisi, memutar kursi yang diduduki oleh majikannya, hingga mereka berhadapan.
"Aden kok bisa luka-luka gini? Siapa yang sudah berani mukul Aden? Bilang sama Aura," ucap Aura yang mengoles obat merah ke luka Cakra.
"Memangnya mau kamu apain?" tanya Cakra yang meringis saat obat itu bersentuhan dengan lukanya.
Sebenarnya dia bisa saja meminta Rista untuk menyembuhkan lukanya dalam sekejap. Namun, Cakra ini hanya luka kecil yang akan sembuh dalam beberapa hari. Tidak perlu bantuan penyihir untuk memulihkannya.
Dalam jarak sedekat ini, Cakra bisa melihat wajah Aura dengan lebih detail. Tahi lalat yang ada di puncak alis kanan, membuat gadis itu terlihat manis. Bulu mata lentik tanpa maskara, menunjukkan kalau gadis itu tipe cuek dalam make up.
"Ya, mau Aura omongin kalau nggak boleh mukul Aden. Berkelahi itu bukan perbuatan baik, dosa. Gitu, Den," terang Aura dengan wajah polos tanpa ekspresi.
Cakra mengaduh pelan saat menertawakan pikiran Aura. Dia lupa kalau sudut bibirnya sobek.
"Mbok Minah bilang kalau Aden nggak pernah bisa rawat luka di wajah. Jadi, kalau lain kali Aden terluka, saya harus siap ngobatin. Jadi, ini tadi yang dimaksud Aden dengan naik ke kamar?" Aura meniup luka yang ada di pipi.
Fokus Cakra bukan ke ucapan Aura, tapi ke bibir merah muda yang mengerucut. Perutnya menegang saat gairah itu muncul dengan tiba-tiba. Buru-buru Cakra menepis pikiran yang melintas. Dia menyingkirkan tangan Aura yang memegang pipi, agar bisa memalingkan wajah.
"Sementara saya makan, kamu lihat agenda ini. Tolong hubungi orang-orang yang ada di daftar temu. Minta mereka menjadwal ulang waktu pertemuan. Beri tahu kalau tempat pertemuan ganti di sini, bukan di biro jodoh," jelas Cakra yang menyerahkan buku agenda tanpa melihat wajah Aura.
"Tapi, Den. Kemarin Ndoro bilang kalau suruh ngawasi Aden biar tidak keluar rumah," protes Aura. Tangan lentiknya berhenti membalik halaman, karena terkejut dengan permintaan tuannya.
Cakra menoleh demi mendengarkan penolakan asisten barunya. Jari Cakra menunjuk ke arah Aura."Kamu yakin melamar kerja padaku? Bukan pada ayahku?" Wajah Cakra mengeras ketika menekankan pertanyaan terakhir.Pria itu tidak mau melepaskan tatapan tajam. Bahkan saat wajah Aura seputih kapas dan mulai terlihat gelisah."Tentu saja saya bekerja untuk Aden.""Maka, lakukan permintaan saya. Atur jadwal dengan klien pertama. Besok, jam sepuluh pagi!" ucap Cakra sebelum mengibaskan tangan untuk mengusir.Cakra memiringkan kepala ketika mengamati Aura yang bergeming. "Ada masalah?""Saya belum paham dengan kerjaan Aden. Ini klien apa ya, Den?" Aura angkat bahu
"Aaaaa…"Suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga membuat Cakra mengerjap. Namun, saat kesadarannya belum sepenuhnya pulih, sebuah tendangan keras membuat tubuhnya terguling. Dia melompat bangun ketika hampir menyentuh lantai. Berdiri dalam posisi kuda-kuda, Cakra meletakkan tangan kanan di atas cincin bermata merah yang terpasang di jari tengah tangan kiri. Dia sudah bersiap-siap untuk mengeluarkan tongkat sihir."Aden kenapa bisa tidur di ranjang saya? Jangan-jangan Aden mengambil kesempatan dalam kesempitan? Aden ngapain saya semalam?"Guling bermotif polkadot biru menghantam wajah Cakra, menyadarkannya akan sesuatu. Dia menarik tangan kanan kemudian berdiri tegak. Untungnya belum sampai mengatakan mantra untuk mengeluarkan tongkat sihir. Kalau itu sampai terjadi, pasti gadis itu akan makin his
Lewat pandangan Aura, Cakra melihat permohonan dan harapan yang tampak jelas. Tidak mungkin dia akan salah mengartikan tatapan itu.Namun, ketika Cakra menunduk agar kepala mereka sejajar, terdengar nada dering dari gawainya. Sontak Aura mundur dengan tubuh kaku. Cakra sempat melihat warna merah muda yang menjalar di pipi gadis itu, sesaat sebelum membungkuk untuk memungut kemeja Cakra."Sebaiknya Aden angkat dulu panggilan itu. Mungkin itu panggilan penting. Saya akan cuci kemeja ini sampai bersih." Tangan Aura bergerak menggulung kemeja yang malah membuat pakaian itu terlihat seperti gumpalan kain kotor."Sebaiknya kamu segera bersiap-siap. Urusan kemeja, serahkan saja sama Mbok Minah," teriak Cakra karena Aura berjalan mundur dengan cepat, hingga akhirnya berlari keluar setelah sampai di pintu kamar.
"Saya pamit!" Suara Hans sama sekali tidak ramah ketika hendak meninggalkan ruangan itu.Aura mengulurkan tangan hendak menghentikan Hans, tapi Cakra yang terlihat cuek membuatnya bimbang. Hingga akhirnya gadis itu membiarkan Hans meninggalkan ruang kerja."Den! Aden kok gitu sih sama klien. Kalau dia kabur karena tersinggung gimana? Aden rugi dong?" keluh Aura saat Cakra malah berjongkok, untuk memungut serpihan smartwatch."Nggak bakal rugi. Sedari awal klien sudah diberi peringatan tentang cara kerja kita. Mereka juga diwajibkan membayar dimuka sebelum menggunakan jasa biro jodoh Sepasang. Kalau sampai klien merasa tidak puas dan berniat membatalkan kerja sama, maka uang itu tidak bisa ditarik lagi. Seharusnya dia membaca petunjuk dengan lebih teliti." Dengan santai, Cakra menginjak tempat sampah hingga terbuka,
Cakra yang masih berdiri di antara kamar dan selasar, menatap selama lima detik penuh sebelum berkata, "Saya punya tugas untukmu.""Bentar, bentar, Den." Aura malah berlari kecil menghampiri Mbok Minah.Gadis itu membisikkan sesuatu yang membuat mata wanita itu berbinar cerah, yang lalu dibalas dengan anggukan kepala penuh semangat. Cakra bahkan khawatir kalau Mbok Minah akan mengalami sakit leher setelahnya."Ayo, Den. Kita joget," ulang Aura yang menarik Cakra keluar kamar.Namun, Cakra balas menarik hingga terjadi tarik menarik, dengan musik Twice-Whats it love yang menjadi latar adegan mereka.Aura melepaskan Cakra dan mulai bersiap untuk melakukan gerakan yang sudah amat populer itu. Namun, tanpa disangka-sangka, Cakra m
Mulut Cakra tak henti-hentinya mengucapkan mantra untuk berpindah tempat. "Mingser mrono, mingser mrono, mingser mrono!"Dalam sekejap mata, tubuh Cakra sudah menghilang, untuk kemudian muncul di sudut sepi supermarket. Cakra menjulurkan leher saat mencari tahu keberadaan Aura. Ternyata Aura berada tak jauh dari tempat kemunculannya.Jadi, Cakra mulai berlari melewati rak-rak tinggi berisi bahan makanan. Ketika sudah semakin mendekati Aura, tangan Cakra mencoba menggapai gadis itu."Lepasin, Ra!" Teriakan tegas itu membuat Aura tersadar dan segera melepaskan pegangan pada troli.Sepasang tangan kekar menyambar tubuh mungil Aura. Hingga gadis itu tidak jatuh tersungkur.Suara benturan troli dengan tembok membuat be
"Akang Prabu! Aku datang." Aura sampai harus menutup telinga saat seorang gadis berteriak memanggil editornya dengan suara kencang. Kemudian , Aura mengelus dada untuk menenangkan diri setelah mendapat kejutan. "Nah,ini dia solusinya. Perkenalkan, ini Lilis. Lilis, ini Aura. Duduk dulu, Lis." Prabu menunjuk kursi yang ada di samping kanannya. "Akang sudah nunggu lama? Lilis nggak telat, kan?" Aura mendengkus mendengar nada bicara Lilis yang dibikin manja. Sepertinya, gadis itu tahu apa yang dipikirkan Aura. Itu karena pandangan mata Lilis begitu tajam, seolah berkata, "Apa maumu? Berani sama aku?" Mata Lilis menyipit, kemudian alisnya berkerut hingga hampir menyatu. "Kamu ngetawain aku? Apa ada yang lucu?"
"Aden nguntit ya? Hayo, ngaku! Saya laporin Ndoro lho. Aden ketahuan pergi dari rumah," cecar Aura karena Cakra masih belum mau menjawabnya.Tangan Cakra mengusap tengkuk kemudian menoleh ke kanan selama lima detik, sebelum kembali memandang Aura. "Siapa juga yang nguntit? Kardus penyok sudah jadi bukti yang kuat. Tidak perlu meninggalkan rumah untuk tahu ada yang nggak beres."Terus, kok tahu saya kehilangan kendali troli? Hayo, jawab!" desak Aura yang malah makin penasaran."Kamu tadi denger jawaban saya nggak? Kardus-kardusnya sampai penyok gitu. Pasti ada sesuatu dengan troli." Cakra menjawab dengan setengah membentak, untuk menyakinkan Aura kalau dia hanya sekadar menduga, tanpa ada di tempat kejadian."Oh, iya, ya. Tadi Aden sudah bilang. Saya kembali ke kama