Cakra bangkit berdiri, menepuk-nepuk celana agar bebas dari rumput dan debu. Sekilas menoleh ke arah taman kaca, sebelum akhirnya mengikuti ayahnya yang bernama Cahyo. Mereka menuju ke ruang kerja yang sebenarnya bisa masuk lewat pintu samping, tapi ayahnya memang lebih suka masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
"Den," panggil Mbok Minah yang dijawab dengan sentuhan jari telunjuk ke bibir Cakra.
Asisten rumah tangga yang sudah berumur itu pun terdiam, membiarkan Cakra melewatinya untuk menuju ke ruang kerja.
Cakra bahkan tidak sadar kalau ada orang lain yang mengawasinya. Dia hanya fokus pada langkah kaki yang membawanya menuju ceramah tanpa henti.
"Tutup pintunya!" seru Cahyo ketika melihat Cakra berdiri ragu-ragu di ambang pintu.
Lagi-lagi Cakra menuruti perintah ayahnya tanpa banyak bersuara. Dia bahkan duduk di sofa saat ayahnya menunjuk dengan dagu. Saat ini, Cakra seperti kembali ke masa sekolah dasar. Berhadapan dengan ayahnya memang bisa menimbulkan efek seperti itu pada Cakra.
"Sampai kapan kamu bersikap kekanak-kanakan kalau sudah bersama Rahardian? Ingat, kamu itu punya tanggung jawab pekerjaan. Jangan terlalu banyak main-main seperti anak kecil," tegur Cahyo yang bersandar pada meja.
"Ayah dengar ada yang membuat keributan di biro jodoh? Sampai kapan suasana kantor biro jodoh kita seperti ini? Ada saja orang yang datang untuk komplain dan mengamuk. Tak bisakah kamu melepaskan idealismu dan menjodohkan orang hanya dengan perkiraan saja? Yang penting cocok dan klien happy," cerocos Cahyo tanpa memberi kesempatan Cakra untuk menjawab.
"Ayah tahu kalau aku tidak bisa melakukan hal itu. Kelebihanku adalah menjodohkan orang yang memang sudah berjodoh. Bukan menjodohkan orang karena mereka terlihat cocok bila dipasangkan, seperti Ayah," balas Cakra yang berusaha membuat ayahnya terpojok.
"Itu memang pekerjaan Ayah, karena hanya bisa melihat aura dari masing-masing orang. Ayah memang tidak punya kelebihan spesifik sepertimu, yang bisa melihat benang jodoh. Tapi paling nggak Ayah tidak pernah membuat kantor seperti habis terkena badai," sindir Cahyo yang membuat Cakra menunduk.
Memang ini salahnya hingga kondisi kantor seperti itu. Ini gara-gara dia mengenalkan klien ke jodohnya, yang ternyata sudah punya calon istri. Jadinya, wanita itu mengamuk karena merasa dirugikan.
"Ayah memutuskan untuk menskors kamu selama dua minggu. Renungkan kesalahanmu di rumah. Jangan dekati kantor biro jodoh!"
"Jangan membantah! Keputusan ini sudah final," tegur Cahyo saat Cakra membuka mulut hendak protes, tapi diurungkan niatnya.
"Klienmu biar Ayah yang urus," lanjut Cahyo hingga membuat mulut Cakra yang sudah membuka kembali menutup.
Sepeninggal Cahyo, Cakra merenung di dalam ruang kantor. Berhubung ayahnya adalah pemilik biro jodoh, jadi Cakra harus ikut keputusan Beliau.
Mungkin skors ini bisa dimanfaatkan untuk istirahat. Sejujurnya dia sudah jenuh terus menerus berpacaran dengan orang yang bukan jodohnya. Setiap kali melihat wajah bahagia klien yang bertemu dengan jodohnya, Cakra jadi merasa iri. Dia juga ingin merasakan hal yang sama, tapi akankah dia bisa bahagia kalau hidup bersama orang yang tidak dicintai?
"Sepertinya aku harus berhenti cari pasangan hidup. Lebih baik hidup sendiri, daripada hidup bersama tanpa cinta. Jangan sampai ada anak-anak yang jadi korban, kalau orang tuanya tidak bahagia," ucap Cakra yang melayangkan pandangan keluar jendela. Tangannya mengepal erat sebelum akhirnya melayangkan tinju ke salah satu bantal sofa.
Setelah mantap mengambil keputusan tentang jodoh, Cakra keluar dari kantor. Dilihatnya, Mbok Minah masih berdiri di tempat yang sama. Ada seseorang yang rupanya sudah bergabung dengan Mbok Minah. Cakra pun berjalan menghampiri dan berhenti tepat di depan wanita yang selalu memakai jarik, alih-alih rok.
"Den Cakra sudah selesai ngomong sama Ndoro Cahyo?" tanya Mbok Minah dengan senyum sumringah.
"Kenapa, Mbok? Mau bilang apa?"
"Ini, Den, Simbok sudah bawa asisten pribadi buat Aden. Mbok sendiri yang wacacara--"
"Wawancara," ucap Cakra untuk memperbaiki kesalahan Mbok Minah.
"Iya, itu maksudnya, Mbok. Wacacara buat orang yang mau jadi asisten pribadi, Aden. Mbok harap, Aden nggak ganti asisten dalam waktu satu hari, paling nggak ya seminggu," kata Mbok Minah dengan wajah penuh keyakinan.
"Mbok, memangnya mantan-mantan Pak Cakra ini pada nggak betah kerja di sini?"
"Kalau betah, pasti Neng nggak bakal dipanggil buat wacacara," ungkap Mbok Minah.
Kali ini Cakra tetap diam walaupun Mbok Minah masih salah mengucapkan kata wawancara. Dirinya lebih tertarik dengan sosok yang dipanggil Neng sama Mbok Minah.
"Ini Mbok nggak salah orang? Dengan umur segitu, mau jadi asisten pribadi?" tanya Cakra sambil mengelilingi gadis yang ada di sebelah Mbok Minah. Pandangannya menyelidik dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Yakin, Den. Saya akan bekerja keras untuk pekerjaan ini," ucap gadis itu dengan yakin hingga rambut ekornya berayun ketika mengangguk.
"Kalau begitu dengarkan peraturannya baik-baik. Kalau kamu sampai melanggar satu saja peraturan itu. Maka kamu langsung angkat kaki dari rumah ini," tegas Cakra yang saat ini berdiri tepat di depannya.
"Baik, Den. Saya pasti akan berusaha mematuhi perintah ini," kata gadis itu untuk meyakinkan calon tuannya.
"Peraturan yang pertama, saya tidak suka ada yang masuk ke rumah kaca yang ada di halaman belakang. Jangan masuk ke sana! Apapun alasannya, tetap tidak boleh!"
"Baik, Den. Ini sih mudah, seperti menjentikkan jari saja." Dagu gadis itu terangkat hingga semakin terlihat panjang.
Sudut bibir Cakra terangkat ketika mendengar jawaban sombong itu. Namun, Cakra masih belum selesai mengatakan semua peraturannya. Dia tidak yakin kalau gadis yang masih terlalu muda itu bisa tahan menghadapinya.
"Omong-omong, pintu rumah kacanya dikunci nggak ya, Den?" Gadis yang memakai daster bergambar hello kitty itu mulai penasaran.
"Pintunya tidak terkunci."
"Kenapa nggak dikunci, Den? Kalau nggak boleh masuk, seharusnya dikunci saja."
"Itulah yang namanya ujian. Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?" sindir Cakra karena gadis itu terlalu menganggap remeh peraturannya.
"Yah..." ucapnya disertai desahan napas panjang.
"Kamu harus siap kapanpun saya panggil. Permintaan saya sering aneh-aneh," lanjut Cakra dengan wajah kaku yang serius.
Gadis itu menyilangkan tangan untuk menutupi tubuh. Dia kemudian beringsut ke belakang Mbok Minah. Tubuhnya condong ke arah Mbok Minah sambil melirik takut-takut ke arah Cakra.
"Mbok, Aden punya sakit jiwa nggak? Saya takut diapa-apain," bisiknya lirih yang masih terdengar oleh Cakra.
Gadis itu tidak tahu kalau pendengaran Cakra lebih tajam dari orang normal. Itulah enaknya jadi keturunan penyihir Gilmore.
"Kalau sakit flu sih pernah, kalau sakit jiwa? Mbok belum pernah dengar," balas Mbok Minah dengan lirih sambil mencuri pandang ke arah Cakra.
"Gimana?" tanya Cakra yang berlagak tidak tahu dengan kecemasan calon asistennya.
Gadis itu menelan ludah beberapa kali kemudian menjawab, "Saya tetap mau kerja di sini, Den. Tapi perlakukan saya seperti manusia pada umumnya. Jangan siksa saya."
"Siapa juga yang mau siksa kamu? Saya nggak minat. Kalau gitu kamu diterima, tapi gajimu dipotong lima puluh ribu."
"Den! Saya ini belum gajian, kok sudah dipotong?" protes gadis itu dengan sengit.
"Satu lagi peraturan dasar yang harus kamu tahu. Saya tidak mentolerir tindakan pencurian. Apapun bentuknya!"
Gadis itu tidak menjawab perkataan Cakra. Tiba-tiba dia melangkah mendekati Cakra, pandangannya tertuju pada ujung kaki Cakra. Dia lalu mengelilingi pria itu dan melakukan penyelidikan seperti yang sudah dilakukan Cakra saat pertama melihatnya.
"Kamu!" seru gadis mungil itu dengan suara yang bergema ke seluruh penjuru rumah.
"Yang sopan sama Aden!" tegur Mbok Minah yang menarik tangan gadis itu."Maaf, Den. Apa Aden yang sudah bayar benang rajut saya?" Mata gadis itu membesar, penasaran. Tidak memperhatikan teguran Mbok Minah."Sudah ingat sekarang?" tanya Cakra dengan wajah sok serius."Jadi gaji yang dipotong lima puluh ribu itu buat ganti benang ya, Den? Sebenarnya saya juga sudah balik ke toko itu untuk membayar, tapi katanya sudah dibayari sama pria tinggi yang cakep." Gadis itu kembali memperhatikan wajah Cakra."Tapi kenapa wajah Aden babak belur seperti ini? Jadi pangling saya," lanjut gadis itu."Jadi kamu nggak berniat mencuri benang itu? Lalu kenapa lari? Gara-gara kamu, saya dituduh komplotan pencuri!" Cakra me
Cakra menoleh demi mendengarkan penolakan asisten barunya. Jari Cakra menunjuk ke arah Aura."Kamu yakin melamar kerja padaku? Bukan pada ayahku?" Wajah Cakra mengeras ketika menekankan pertanyaan terakhir.Pria itu tidak mau melepaskan tatapan tajam. Bahkan saat wajah Aura seputih kapas dan mulai terlihat gelisah."Tentu saja saya bekerja untuk Aden.""Maka, lakukan permintaan saya. Atur jadwal dengan klien pertama. Besok, jam sepuluh pagi!" ucap Cakra sebelum mengibaskan tangan untuk mengusir.Cakra memiringkan kepala ketika mengamati Aura yang bergeming. "Ada masalah?""Saya belum paham dengan kerjaan Aden. Ini klien apa ya, Den?" Aura angkat bahu
"Aaaaa…"Suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga membuat Cakra mengerjap. Namun, saat kesadarannya belum sepenuhnya pulih, sebuah tendangan keras membuat tubuhnya terguling. Dia melompat bangun ketika hampir menyentuh lantai. Berdiri dalam posisi kuda-kuda, Cakra meletakkan tangan kanan di atas cincin bermata merah yang terpasang di jari tengah tangan kiri. Dia sudah bersiap-siap untuk mengeluarkan tongkat sihir."Aden kenapa bisa tidur di ranjang saya? Jangan-jangan Aden mengambil kesempatan dalam kesempitan? Aden ngapain saya semalam?"Guling bermotif polkadot biru menghantam wajah Cakra, menyadarkannya akan sesuatu. Dia menarik tangan kanan kemudian berdiri tegak. Untungnya belum sampai mengatakan mantra untuk mengeluarkan tongkat sihir. Kalau itu sampai terjadi, pasti gadis itu akan makin his
Lewat pandangan Aura, Cakra melihat permohonan dan harapan yang tampak jelas. Tidak mungkin dia akan salah mengartikan tatapan itu.Namun, ketika Cakra menunduk agar kepala mereka sejajar, terdengar nada dering dari gawainya. Sontak Aura mundur dengan tubuh kaku. Cakra sempat melihat warna merah muda yang menjalar di pipi gadis itu, sesaat sebelum membungkuk untuk memungut kemeja Cakra."Sebaiknya Aden angkat dulu panggilan itu. Mungkin itu panggilan penting. Saya akan cuci kemeja ini sampai bersih." Tangan Aura bergerak menggulung kemeja yang malah membuat pakaian itu terlihat seperti gumpalan kain kotor."Sebaiknya kamu segera bersiap-siap. Urusan kemeja, serahkan saja sama Mbok Minah," teriak Cakra karena Aura berjalan mundur dengan cepat, hingga akhirnya berlari keluar setelah sampai di pintu kamar.
"Saya pamit!" Suara Hans sama sekali tidak ramah ketika hendak meninggalkan ruangan itu.Aura mengulurkan tangan hendak menghentikan Hans, tapi Cakra yang terlihat cuek membuatnya bimbang. Hingga akhirnya gadis itu membiarkan Hans meninggalkan ruang kerja."Den! Aden kok gitu sih sama klien. Kalau dia kabur karena tersinggung gimana? Aden rugi dong?" keluh Aura saat Cakra malah berjongkok, untuk memungut serpihan smartwatch."Nggak bakal rugi. Sedari awal klien sudah diberi peringatan tentang cara kerja kita. Mereka juga diwajibkan membayar dimuka sebelum menggunakan jasa biro jodoh Sepasang. Kalau sampai klien merasa tidak puas dan berniat membatalkan kerja sama, maka uang itu tidak bisa ditarik lagi. Seharusnya dia membaca petunjuk dengan lebih teliti." Dengan santai, Cakra menginjak tempat sampah hingga terbuka,
Cakra yang masih berdiri di antara kamar dan selasar, menatap selama lima detik penuh sebelum berkata, "Saya punya tugas untukmu.""Bentar, bentar, Den." Aura malah berlari kecil menghampiri Mbok Minah.Gadis itu membisikkan sesuatu yang membuat mata wanita itu berbinar cerah, yang lalu dibalas dengan anggukan kepala penuh semangat. Cakra bahkan khawatir kalau Mbok Minah akan mengalami sakit leher setelahnya."Ayo, Den. Kita joget," ulang Aura yang menarik Cakra keluar kamar.Namun, Cakra balas menarik hingga terjadi tarik menarik, dengan musik Twice-Whats it love yang menjadi latar adegan mereka.Aura melepaskan Cakra dan mulai bersiap untuk melakukan gerakan yang sudah amat populer itu. Namun, tanpa disangka-sangka, Cakra m
Mulut Cakra tak henti-hentinya mengucapkan mantra untuk berpindah tempat. "Mingser mrono, mingser mrono, mingser mrono!"Dalam sekejap mata, tubuh Cakra sudah menghilang, untuk kemudian muncul di sudut sepi supermarket. Cakra menjulurkan leher saat mencari tahu keberadaan Aura. Ternyata Aura berada tak jauh dari tempat kemunculannya.Jadi, Cakra mulai berlari melewati rak-rak tinggi berisi bahan makanan. Ketika sudah semakin mendekati Aura, tangan Cakra mencoba menggapai gadis itu."Lepasin, Ra!" Teriakan tegas itu membuat Aura tersadar dan segera melepaskan pegangan pada troli.Sepasang tangan kekar menyambar tubuh mungil Aura. Hingga gadis itu tidak jatuh tersungkur.Suara benturan troli dengan tembok membuat be
"Akang Prabu! Aku datang." Aura sampai harus menutup telinga saat seorang gadis berteriak memanggil editornya dengan suara kencang. Kemudian , Aura mengelus dada untuk menenangkan diri setelah mendapat kejutan. "Nah,ini dia solusinya. Perkenalkan, ini Lilis. Lilis, ini Aura. Duduk dulu, Lis." Prabu menunjuk kursi yang ada di samping kanannya. "Akang sudah nunggu lama? Lilis nggak telat, kan?" Aura mendengkus mendengar nada bicara Lilis yang dibikin manja. Sepertinya, gadis itu tahu apa yang dipikirkan Aura. Itu karena pandangan mata Lilis begitu tajam, seolah berkata, "Apa maumu? Berani sama aku?" Mata Lilis menyipit, kemudian alisnya berkerut hingga hampir menyatu. "Kamu ngetawain aku? Apa ada yang lucu?"