Cakra menoleh demi mendengarkan penolakan asisten barunya. Jari Cakra menunjuk ke arah Aura.
"Kamu yakin melamar kerja padaku? Bukan pada ayahku?" Wajah Cakra mengeras ketika menekankan pertanyaan terakhir.
Pria itu tidak mau melepaskan tatapan tajam. Bahkan saat wajah Aura seputih kapas dan mulai terlihat gelisah.
"Tentu saja saya bekerja untuk Aden."
"Maka, lakukan permintaan saya. Atur jadwal dengan klien pertama. Besok, jam sepuluh pagi!" ucap Cakra sebelum mengibaskan tangan untuk mengusir.
Cakra memiringkan kepala ketika mengamati Aura yang bergeming. "Ada masalah?"
"Saya belum paham dengan kerjaan Aden. Ini klien apa ya, Den?" Aura angkat bahu dengan wajah polos.
Mata Cakra hampir melompat keluar, apa yang dipikirkan Aura saat melamar pekerjaan? Apa dia hanya asal memasukkan lamaran karena gajinya yang tinggi?
"Ambil kursi itu dan letakkan di sini?" Cakra menunjuk sebelah kursinya sendiri.
Aura melakukan tepat seperti yang diperintahkan. Tatapan lembutnya membuat amarah Cakra surut. Tidak seharusnya memarahi karyawan baru yang masih butuh bimbingan.
Layar monitor digeser hingga Aura bisa melihat dengan jelas. Gambar dua burung merpati yang berdampingan, di bawahnya tertulis kata 'Sepasang' yang berwarna merah menyala terlihat di ujung beranda web.
"Kamu bekerja sebagai asisten makcombang dari biro jodoh 'Sepasang'. Tugasnya adalah mengatur jadwal klien dan mendokumentasikan kegiatan saya, yang berhubungan dengan pekerjaan." Cakra kemudian menggulir kursor, lalu membuka beberapa menu sambil menjelaskan pada Aura.
"Makcombang? Yang suka jodohin orang-orang? Wow, Aden keren," puji Aura yang menunjukkan jempol.
"Bayarannya mahal nggak, Den? Kebetulan teman-teman saya banyak yang masih jomlo. Lumayan, kan buat ngurangi populasi jomlo di Solo raya," ungkap Aura dengan penuh harap.
"Termasuk kamu?" pancing Cakra. Alis kanannya naik ketika memperhatikan pipi Aura yang perlahan-lahan memerah.
"Tentu tidak! Kalau saya sih masih belum kepikiran cari jodoh. Mau kerja dulu sampai puas," terang Aura yang menggoyangkan tangan untuk memperkuat penolakannya.
"Selain dari agenda itu, kamu bisa melihat tentang klien di web ini. Kamu bisa menggunakan laptop yang ada di kamarmu untuk membuka web. Username dan pasword sudah tertulis di halaman depan buku agenda."
"Jadi, saya boleh pakai laptop canggih untuk bekerja? Terima kasih, Den," jawab Aura sambil mengangguk.
"Kamu bisa menggunakan semua fasilitas yang ada di kamar."
"Tapi, Den. Apa Aden yakin nggak salah ngasih kamar ke saya? Kamar itu bahkan lebih luas dari ruang tamu rumah nenek," ucap Aura dengan ragu-ragu. Gadis itu mencengkeram ujung buku agenda dengan erat.
"Tentu saja tidak salah. Ruangan di rumah ini memang luas-luas. Semoga kamu nyaman tinggal di sini." Senyum Cakra yang mengembang, membuat Aura menjadi lebih santai.
"O, iya. Kamu harus berpakaian semi formal ketika kita berhadapan dengan klien. Lalu, jangan panggil saya dengan Aden, tapi sebut Pak saat ada klien."
Cakra mempelajari ekspresi Aura, mencari tanda-tanda kebingungan. Nampaknya, meski terlihat polos, tapi Aura cukup cerdas.
"Klien pertama yang harus kamu hubungi bernama Hans. Dia penyuka kopi hitam, jadi sajikan kopi Arabika Temanggung ketika dia datang," pesan Cakra, sambil memberi kode untuk menambahkan catatan di buku agenda.
"Apa masih ada pertanyaan?"
"Nggak ada, Den. Sudah cukup jelas." Aura menutup buku agenda, kemudian mendekapnya erat. Matanya memancarkan binar semangat.
"Ah, Den. Saya ada satu permintaan. Apa boleh saya libur tiap dua minggu sekali? Saya harus menjenguk nenek di panti jompo." Kaki kanan Aura mengetuk lantai dengan gelisah.
Pandangan Cakra tertuju pada bibir merah muda yang digigit kecil-kecil. Dahinya berkerut sebentar sebelum mengangguk. Gadis itu mengingatkan Cakra akan neneknya, yang sudah lama tidak dikunjungi. Dia harus segera mencari waktu untuk bertemu sesepuh keluarga Gilmore itu.
Cakra berharap kali ini tidak lagi salah memilih asisten pribadi. Semoga Aura bertahan dalam pekerjaan dan tidak mengacau, seperti asisten-asisten sebelumnya. Mereka tidak berusaha mencari target yang seharusnya, malah menyodorkan diri pada Cakra dan klien.
"Kamu bisa kembali ke kamar. Jangan lupa hubungi klien pertama!" Cakra kembali mengingatkan.
Setelah kepergian Aura, Cakra membuka menu pesan dan mengetikkan pertanyaan untuk Poppy. Pegawainya itu membalas tak lama kemudian. Ternyata Ayahnya tidak serius dalam mengucapkan ancaman tentang pekerjaannya di biro jodoh. Beliau hanya menunda jadwal pertemuan dengan klien yang dipegang Cakra, tanpa mau bersusah payah untuk menemuinya. Ini berarti Cakra masih bisa bekerja dari rumah.
Cakra bangkit berdiri, mengunci pintu kamar, dan berjalan menuju ke jendela besar yang menghadap ke pintu gerbang rumah. Samar-samar terlihat kabut berwarna hijau yang berbaur dengan udara sekitar. Dia mendesah pasrah. Ayahnya sudah memasang mantra penghalang yang membuatnya tidak bisa keluar dari rumah.
Salahkan dia yang tidak mau serius mempelajari tentang mantra keluarga, sehingga tidak bisa membatalkan mantra andalan ayahnya. Masa mudanya dihabiskan dengan berbaur seperti manusia pada umumnya. Sekarang, dia juga yang kerepotan.
Untungnya, pegawai-pegawainya masih bisa keluar masuk rumah dengan bebas. Jadi, dia bisa memanfaatkan Aura untuk tugas selanjutnya.
Cakra memutar tubuh dan berjalan menghampiri rak buku. Dia mendorong sebuah buku tipis yang berjudul "Sejarah Kota Kuno". Suara kunci terbuka terdengar, diikuti dengan rak buku yang berputar bersama dengan lantai penopangnya. Membawa serta Cakra yang berdiri di atasnya.
Sebuah pemandangan ruang rahasia terlihat didominasi warna kayu. Membuatnya lebih suram, dibandingkan ruang tidur Cakra. Sebuah bola kristal yang berada di tengah-tengah meja, dialasi dengan kain beludru berwarna merah maroon. Sebuah cermin setinggi dua meter tergantung di sebelah kanan meja, menghadap ke arah pintu masuk.
Jangan bayangkan Cakra menggunakan bola kristal untuk meramal, seperti yang biasa dilakukan Rista. Dia hanya bisa melihat orang yang ditargetkan saja. Fungsinya hampir mirip dengan komputer admin cctv.
Cakra duduk di kursi kayu, menarik laci meja kedua. Terlihat sebuah kotak kayu dengan ukuran 30cmx30cmx10cm. Dia membukanya, ada beberapa kotak kecil yang dilapisi beludru. Sebagian berwarna hitam, sebagian merah muda.
Cakra mengambil satu kotak kecil yang berwarna merah dan membukanya. Terlihat sebuah smartwatch yang biasa orang pakai untuk mengukur detak jantung. Namun, ini bukan smartwatch biasa karena sudah dimantrai. Alat ini akan memindai benang merah dari jari si pemakai, kemudian menelusuri jejaknya hingga sampai ke ujung satunya. Dengan kata lain, ini adalah alat praktis untuk mencari jodoh.
Cakra jarang menggunakannya, karena dia menikmati masa-masa pencarian dengan cara tradisional. Hanya mengandalkan kemampuannya dalam melihat benang merah. Ini agar kemampuannya tidak luntur dan terus meningkat.
Cakra menyimpan kotak itu di saku celana sebelum meninggalkan ruang rahasia. Setelah menutup tirai, dia pun membaringkan diri di atas ranjang super king size.
Menjelang tengah malam, Cakra terbangun karena mendengar suara isak tangis. Suara lirih itu masih bisa terdengar padahal di luar sedang hujan deras, disertai petir.
Cakra beringsut turun dari ranjang, menyusupkan kaki ke dalam selop kemudian berjalan keluar kamar.
Hidungnya kembang kempis mencoba mencium bau-bau tertentu. Dia berjalan menuju ke sumber suara yang diduga ada di lantai satu.
Suara petir menggelegar mengejutkan Cakra. Sejenak suara isak tangis itu menghilang. Namun, saat Cakra balik badan hendak ke kamar, suara itu mulai terdengar lagi.
Pertama-tama, Cakra menuju ke ruang tamu yang gelap. Namun, tidak ada satu orang pun di sana. Tak juga terasa keberadaan arwah.
Suara hujan membuat pendengaran Cakra terganggu. Tiba-tiba seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Benar-benar waktu yang salah untuk PLN memadamkan jaringan listrik.
"Sial!" umpat Cakra yang terbentur kaki meja ketika menuju ke ruang makan.
Akhirnya dia diam sejenak, menyesuaikan penglihatan agar tak lagi terantuk sesuatu yang akan membuatnya terluka.
Setelah pandangannya sudah lebih tajam, Cakra berbelok ke dapur. Melewatinya agar dapat menuju ke kamar karyawan.
Suara yang semakin jelas membuat Cakra yakin kalau langkahnya tepat. Kilat menyambar, membuatnya bisa melihat penampakan kamar yang pintunya terbuka dengan lebih jelas. Sesosok perempuan berbaju putih, dengan rambut panjang yang berantakan, berjongkok di sudut kamar. Wajahnya tidak terlihat karena tertutupi rambut.
"Oh, tidak! Aura!" pikir Cakra dengan panik, ketika lari menghambur masuk ke dalam kamar.
"Aaaaa…"Suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga membuat Cakra mengerjap. Namun, saat kesadarannya belum sepenuhnya pulih, sebuah tendangan keras membuat tubuhnya terguling. Dia melompat bangun ketika hampir menyentuh lantai. Berdiri dalam posisi kuda-kuda, Cakra meletakkan tangan kanan di atas cincin bermata merah yang terpasang di jari tengah tangan kiri. Dia sudah bersiap-siap untuk mengeluarkan tongkat sihir."Aden kenapa bisa tidur di ranjang saya? Jangan-jangan Aden mengambil kesempatan dalam kesempitan? Aden ngapain saya semalam?"Guling bermotif polkadot biru menghantam wajah Cakra, menyadarkannya akan sesuatu. Dia menarik tangan kanan kemudian berdiri tegak. Untungnya belum sampai mengatakan mantra untuk mengeluarkan tongkat sihir. Kalau itu sampai terjadi, pasti gadis itu akan makin his
Lewat pandangan Aura, Cakra melihat permohonan dan harapan yang tampak jelas. Tidak mungkin dia akan salah mengartikan tatapan itu.Namun, ketika Cakra menunduk agar kepala mereka sejajar, terdengar nada dering dari gawainya. Sontak Aura mundur dengan tubuh kaku. Cakra sempat melihat warna merah muda yang menjalar di pipi gadis itu, sesaat sebelum membungkuk untuk memungut kemeja Cakra."Sebaiknya Aden angkat dulu panggilan itu. Mungkin itu panggilan penting. Saya akan cuci kemeja ini sampai bersih." Tangan Aura bergerak menggulung kemeja yang malah membuat pakaian itu terlihat seperti gumpalan kain kotor."Sebaiknya kamu segera bersiap-siap. Urusan kemeja, serahkan saja sama Mbok Minah," teriak Cakra karena Aura berjalan mundur dengan cepat, hingga akhirnya berlari keluar setelah sampai di pintu kamar.
"Saya pamit!" Suara Hans sama sekali tidak ramah ketika hendak meninggalkan ruangan itu.Aura mengulurkan tangan hendak menghentikan Hans, tapi Cakra yang terlihat cuek membuatnya bimbang. Hingga akhirnya gadis itu membiarkan Hans meninggalkan ruang kerja."Den! Aden kok gitu sih sama klien. Kalau dia kabur karena tersinggung gimana? Aden rugi dong?" keluh Aura saat Cakra malah berjongkok, untuk memungut serpihan smartwatch."Nggak bakal rugi. Sedari awal klien sudah diberi peringatan tentang cara kerja kita. Mereka juga diwajibkan membayar dimuka sebelum menggunakan jasa biro jodoh Sepasang. Kalau sampai klien merasa tidak puas dan berniat membatalkan kerja sama, maka uang itu tidak bisa ditarik lagi. Seharusnya dia membaca petunjuk dengan lebih teliti." Dengan santai, Cakra menginjak tempat sampah hingga terbuka,
Cakra yang masih berdiri di antara kamar dan selasar, menatap selama lima detik penuh sebelum berkata, "Saya punya tugas untukmu.""Bentar, bentar, Den." Aura malah berlari kecil menghampiri Mbok Minah.Gadis itu membisikkan sesuatu yang membuat mata wanita itu berbinar cerah, yang lalu dibalas dengan anggukan kepala penuh semangat. Cakra bahkan khawatir kalau Mbok Minah akan mengalami sakit leher setelahnya."Ayo, Den. Kita joget," ulang Aura yang menarik Cakra keluar kamar.Namun, Cakra balas menarik hingga terjadi tarik menarik, dengan musik Twice-Whats it love yang menjadi latar adegan mereka.Aura melepaskan Cakra dan mulai bersiap untuk melakukan gerakan yang sudah amat populer itu. Namun, tanpa disangka-sangka, Cakra m
Mulut Cakra tak henti-hentinya mengucapkan mantra untuk berpindah tempat. "Mingser mrono, mingser mrono, mingser mrono!"Dalam sekejap mata, tubuh Cakra sudah menghilang, untuk kemudian muncul di sudut sepi supermarket. Cakra menjulurkan leher saat mencari tahu keberadaan Aura. Ternyata Aura berada tak jauh dari tempat kemunculannya.Jadi, Cakra mulai berlari melewati rak-rak tinggi berisi bahan makanan. Ketika sudah semakin mendekati Aura, tangan Cakra mencoba menggapai gadis itu."Lepasin, Ra!" Teriakan tegas itu membuat Aura tersadar dan segera melepaskan pegangan pada troli.Sepasang tangan kekar menyambar tubuh mungil Aura. Hingga gadis itu tidak jatuh tersungkur.Suara benturan troli dengan tembok membuat be
"Akang Prabu! Aku datang." Aura sampai harus menutup telinga saat seorang gadis berteriak memanggil editornya dengan suara kencang. Kemudian , Aura mengelus dada untuk menenangkan diri setelah mendapat kejutan. "Nah,ini dia solusinya. Perkenalkan, ini Lilis. Lilis, ini Aura. Duduk dulu, Lis." Prabu menunjuk kursi yang ada di samping kanannya. "Akang sudah nunggu lama? Lilis nggak telat, kan?" Aura mendengkus mendengar nada bicara Lilis yang dibikin manja. Sepertinya, gadis itu tahu apa yang dipikirkan Aura. Itu karena pandangan mata Lilis begitu tajam, seolah berkata, "Apa maumu? Berani sama aku?" Mata Lilis menyipit, kemudian alisnya berkerut hingga hampir menyatu. "Kamu ngetawain aku? Apa ada yang lucu?"
"Aden nguntit ya? Hayo, ngaku! Saya laporin Ndoro lho. Aden ketahuan pergi dari rumah," cecar Aura karena Cakra masih belum mau menjawabnya.Tangan Cakra mengusap tengkuk kemudian menoleh ke kanan selama lima detik, sebelum kembali memandang Aura. "Siapa juga yang nguntit? Kardus penyok sudah jadi bukti yang kuat. Tidak perlu meninggalkan rumah untuk tahu ada yang nggak beres."Terus, kok tahu saya kehilangan kendali troli? Hayo, jawab!" desak Aura yang malah makin penasaran."Kamu tadi denger jawaban saya nggak? Kardus-kardusnya sampai penyok gitu. Pasti ada sesuatu dengan troli." Cakra menjawab dengan setengah membentak, untuk menyakinkan Aura kalau dia hanya sekadar menduga, tanpa ada di tempat kejadian."Oh, iya, ya. Tadi Aden sudah bilang. Saya kembali ke kama
"Terus, kenapa kamu nggak mulas-mulas? Bukannya dari tadi kamu yang bawa paket itu?" Alis kiri Hans terangkat.Seperti tersadar, wanita itu pun setengah melempar paket ke atas meja Bos. "Bos, saja yang ngirim!"Dari bola kristal, Cakra perhatikan Hans tertawa geli, saat karyawannya melarikan diri secepat mungkin. Ini tandanya tugas Rista sudah berhasil, sekarang tinggal melangkah ke rencana selanjutnya. Cakra mengucapkan terima kasih untuk sepupunya itu sebelum menutup panggilan video. Sekarang, hanya dia satu-satunya penonton di sini.Terlihat Hans meraih paket yang terbungkus kertas cokelat itu, kemudian melangkah ke luar kantor. Pandangan pria itu berkeliling, mengamati ruangan yang penuh paket."Dro!" panggil Hans pada pria yang sedang menunduk.