Share

Keberanian Aura

Author: IztaLorie
last update Last Updated: 2021-07-20 21:48:44

"Aaaaa…" 

Suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga membuat Cakra mengerjap. Namun, saat kesadarannya belum sepenuhnya pulih, sebuah tendangan keras membuat tubuhnya terguling. Dia melompat bangun ketika hampir menyentuh lantai. Berdiri dalam posisi kuda-kuda, Cakra meletakkan tangan kanan di atas cincin bermata merah yang terpasang di jari tengah tangan kiri. Dia sudah bersiap-siap untuk mengeluarkan tongkat sihir.

"Aden kenapa bisa tidur di ranjang saya? Jangan-jangan Aden mengambil kesempatan dalam kesempitan? Aden ngapain saya semalam?"

Guling bermotif polkadot biru menghantam wajah Cakra, menyadarkannya akan sesuatu. Dia menarik tangan kanan kemudian berdiri tegak. Untungnya belum sampai mengatakan mantra untuk mengeluarkan tongkat sihir. Kalau itu sampai terjadi, pasti gadis itu akan makin histeris karena mendapati ada seorang penyihir di depannya.

Cakra menunduk untuk memungut guling yang terjatuh di dekat kakinya. Dia kemudian melangkah menuju ke ranjang, yang otomatis membuat Aura kembali berteriak. 

Gadis itu pun menarik selimut hingga menutupi leher, lalu beringsut mundur hingga menabrak dinding. Kepala geleng-geleng dengan wajah ketakutan.

"Saya hanya mau naruh guling saja," ucap Cakra yang kemudian mengangkat kedua tangan, setelah guling tergeletak di ranjang. 

Dia lalu mundur perlahan-lahan. Ketika sudah cukup jauh, Cakra berhenti. Tatapan matanya tertuju pada Aura yang masih memegang selimut erat-erat.

"Aden masih belum jawab pertanyaan saya!" Aura dengan cepat meraih guling dan bersiap untuk melempar lagi.

"Tenang dulu," pinta Cakra, tangan diturunkan perlahan-lahan.

"Aden nggak ngapa-ngapain saya, kan? Jawab, Den! Jangan seperti pengecut yang melarikan diri!" desak Aura yang sudah setengah terisak.

Belum juga Cakra menjawab, mata Aura sudah kembali melebar dengan bibir yang bergetar. Gadis itu menatapnya dengan pandangan horor.

"Apa memang itu yang akan dilakukan Aden? Meninggalkan saya ketika masih tidur, jadi Aden tidak didesak untuk bertanggung jawab!" Aura menyuarakan kecurigaannya.

"Jangan berpikir terlalu jauh. Saya nggak ngapa-ngapain kamu. Tenang saja. Semalam, saat hujan lebat, saya dengar ada suara tangisan. Suara itu berasal dari kamar ini. Karena takut kamu kenapa-kenapa, saya langsung lari masuk ke dalam." Suara Cakra lembut, tapi tanpa keraguan. 

"Terus?" tagih Aura yang sudah menurunkan guling. Sikapnya sudah lebih tenang.

"Saya lihat kamu jongkok di pojokan sambil merengek minta ditemanin. Saya menduga kalau kamu takut dengan petir. Itu sebabnya kamu tidak mau ditinggal." Dahi Cakra berkerut sejenak.

"Sebenarnya kedua orang tua saya meninggal dalam kecelakaan mobil, saat itu hujan petir. Hanya saya yang selamat, padahal mobil sudah ringsek menabrak pohon. Saya tidak ingat apa yang menyebabkan mobil keluar dari jalur. Saya terus menerus memanggil mereka, tapi tidak ada yang menjawab." Aura bergidik ketika bercerita.

"Saya turut berduka cita atas meninggalnya orangtuamu," ucap Cakra dengan tulus.

"Kejadiannya sudah sangat lama. Kira-kira ketika saya berusia lima tahun." Mata Aura menerawang ke arah langit-langit.

"Pantas kamu sampai mengigil ketakutan. Jadi, saat itu saya menemani jongkok di pojok kamar. Berhubung kamu terlihat kelelahan, jadi saya bopong naik ke ranjang. Tapi kamu tidak mau melepaskan tangan saya. Hingga akhirnya saya tertidur di ranjang. Itulah yang terjadi di antara kita tadi malam," tutur Cakra.

Pipi Aura sewarna sakura saat mendengar penjelasan Cakra. "Maaf, Den. Saya sudah nuduh Aden yang bukan-bukan. Padahal Aden sudah menolong saya."

"Sebaiknya kamu bersiap-siap, sebentar lagi klien pertama akan datang," ucap Cakra sebelum meninggalkan kamar asistennya itu. 

Satu jam kemudian, Cakra sudah turun dan bergabung dengan Aura di meja makan. Pandangannya tertuju pada tablet yang sedang membuka aplikasi buatannya. Dia mengaktifkan salah satu smartwatch pelacak sebelum diberikan pada klien pertamanya. 

"Den, dimakan dulu," ucap Aura yang menyodorkan sepiring nasi beserta dengan sayur dan kelengkapannya.

Namun, Cakra masih terlalu fokus dengan pekerjaan hingga tidak mendengar perkataan Aura. Meskipun Aura sudah mengulangi hingga tiga kali, tapi Cakra masih tidak mendengar. 

"Aden kalau baru asik gitu, pasti lupa semuanya. Coba saja disuapi, biar ada makanan yang masuk," saran Mbok Minah setelah meletakkan cangkir di depan majikannya. 

Dahi Aura berkerut saat melihat Cakra yang bahkan tidak terpengaruh oleh bau harum kopi. Karena penasaran, Aura berjalan memutari meja agar bisa memperhatikan dari dekat. 

Dinginnya sendok yang menempel di bibir Cakra, membuat pria itu membuka mulut. Namun, matanya masih tidak lepas dari halaman sosial media milik klien. Dia memperhatikan tiap foto yang dipajang, siapa tahu bisa melihat ujung benang merah milik Hans-kliennya.

Setelah beberapa suap, sekarang gantian cangkir yang menempel di bibir Cakra. Namun, belum sempat dirinya membuka mulut, cairan kopi panas sudah meluncur turun hingga mengenai kemeja putih yang dipakai. Suara kaki kursi beradu dengan lantai mengiringi gerakan Cakra yang tiba-tiba berdiri. Rasa panas menyengat menyentuh kulit.

Cakra mengernyit saat melihat ke arah Aura, hampir saja tertawa ketika melihat mata gadis itu membelalak dengan mulut yang membuka lebar. Kenapa gadis ini begitu menggemaskan dalam kondisi terkejut seperti ini?

"Maaf, Den, maaf." Aura meletakkan cangkir kemudian menarik beberapa lembar tisu. Gadis itu mendekat untuk mengusap kemeja Cakra.

Namun, pria itu menghentikan gerakan Aura dengan isyarat telapak tangan yang membuka. Cakra kemudian merebut tisu dari tangan Aura dan mengembalikan tisu itu ke tempat semula. 

"Biasanya saya ahli menyuapi nenek. Beliau bisa bekerja sama dengan baik dan tidak sampai berceceran makanannya."

Ucapan Aura membuat Cakra menjadi gusar. Dia menelengkan kepala sebelum berkata, "Kamu pikir saya sudah pikun hingga tidak bisa makan dengan benar? Harus disuapi seperti orang tua? Atau jangan-jangan kamu masih menganggap saya anak kecil yang harus diasuh?"

"Bukan itu begitu, Den. Saya hanya khawatir kalau Aden meninggalkan meja makan tanpa menyentuh makanan, merasa lapar tanpa tahu kalau memang belum makan."

Cakra mengacungkan jari telunjuk untuk menghentikan Aura yang berniat menghampiri. "Saya akan ganti baju dulu. Lebih baik kamu juga berganti pakaian yang lebih formal."

Cakra melangkahkan kaki panjang-panjang, bahkan menaiki dua anak tangga sekaligus. Ini karena dia tidak mau terlambat dalam pertemuan dengan klien.

Cakra sudah sampai di depan kamar, tangannya sudah  bergerak untuk membuka pintu. Namun, tubuhnya didorong dari belakang hingga masuk ke dalam. Terdengar suara pintu menutup.

"Aura? Apa-apaan ini?" tegur Cakra ketika memutar tubuh dan mendapati gadis itu sudah berdiri di depannya.

"Maaf, Den. Saya hanya mau bertanggung jawab atas perbuatan saya." 

Cakra tidak sempat mengelak ketika tangan lentik Aura meraih kancing kemeja paling atas. Pria itu tertegun dengan keberanian gadis ini membuka satu persatu kancingnya.

Jari-jari Aura menyentuh kulit Cakra, hingga menimbulkan perasaan berbeda. Mata Cakra menggelap saat pengendalian dirinya teruji.

Hawa dingin menyengat kulit Cakra, ketika kemeja putih itu dicampakkan ke lantai. Pria itu menelan ludah saat Aura mendongak. Pandangan mereka bertemu dan terkunci.

Netra sewarna arang milik Aura membuat benak Cakra tidak memikirkan hal lain, selain merengkuh gadis itu mendekat. Lalu menyatukan bibir mereka. Dia penasaran dengan rasa Aura, semanis madu atau selembut sutra?

Aura mengigit bibir bawah, yang Cakra baca sebagai undangan. Perlahan-lahan dia memangkas jarak di antara mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bride For the Matchmaker    Berhasil Menjodohkan

    “Nona Aura, saya hendak mengenalkan Anda dengan calon istri saya.” Suara Iswanto membuat Aura menjauhkan gawai sejenak untuk memberi respon.Dari cermin, Cakra bisa melihat Aura mengangguk sebentar kemudian menunjuk ke arah gawai. Iswanto yang mengerti maksud Aura, menggerakkan tangan untuk mempersilakan dia melanjutkan bicara.“Den, nanti lagi bicaranya ya. Ini Pak Iswanto mau ada perlu,” ucap Aura dengan berbisik.“Iya, besok kita bicarakan lagi. Hari ini saya sibuk,” ucap Cakra sebelum memutus sambungan.Aura terlihat merenung sambil melihat layar gawai yang mulai menghitam. Apa gadis itu kecewa karena tidak bisa melanjutkan obrolan?Cakra kira, alasannya pasti bukan itu. Tidak mun

  • Bride For the Matchmaker    Tidak Seperti Rencana Semula

    Saat ini, pasti Aura dan Iswanto sedang menahan napas menanti reaksi Jasmin. Cakra pun tak terkecuali, dia juga ikut mengamati dalam diam.“Kalau Mas serius dengan perkataan ini, Jasmin mau minta dilamar secara serius. Seperti lamaran dalam drama,” ucap gadis yang tersenyum sangat manis.Ini adalah sebuah ujian atau memang sesuai dengan kata hati? Tentu saja Cakra tidak bisa menebak pikiran seorang wanita, itu sangat rumit.“Tentu saja, kamu pasti ingin hal yang seperti itu.”Perlahan-lahan Iswanto berlutut dengan bertumpu pada satu kaki. Terlihat Aura berlari-lari membawa sebuket bunga yang sudah dihias dengan cantik. Gadis itu kemudian menyerahkannya pada Iswanto.“Jasmin, aku tahu kalau ini sa

  • Bride For the Matchmaker    Sebagai Pengamat

    “Rupanya kamu di situ?” ucap laki-laki yang berjalan mendekati mereka.Belum juga Cakra menyusuri benang itu, jodoh Maiden sudah muncul untuk menyapa. Betapa beruntungnya mereka karena sudah mempunyai pasangan.“Eh, hai, Van. Kenalkan ini Cakra, teman baruku,” ucap gadis itu dengan riang.“Melihat dari jubahmu, kamu pasti keturunan keluarga Gilmore? Salah satu sepupu kami berjodoh dengan keluarga kalian,” ucap Evan sambil menunjuk ke arah belakangnya.Cakra mengikuti jari Evan untuk melihat siapa yang dimaksud. “Ah, Rio ternyata adalah sepupumu.”Pada akhirnya Rio bergabung dengan mereka, karena mendengar namanya disebut. Tentu saja Danar, Kristy, dan Rista juga ikut bergabung. Sebentar lagi pasti beberapa pasangan seumuran dengan mereka pasti ikut bergabung. Ini akan terasa menyesakkan.Ketika percakapan itu semakin meluas, diam-diam Cakra menyusup meninggalkan kelompok itu. Dia butuh menyendiri sekarang, agar hatinya menjadi le

  • Bride For the Matchmaker    Berkunjung ke Luvnesia

    “Hanya calon klien yang keras kepala. Sepertinya dia nggak bakal jadi klien kita,” jawab Cakra dengan datar.“Pasti orang yang minta dijodohkan dengan target tertentu. Kenapa nggak pada nurut sama Aden sih? Apa kita perlu nulis aturan itu dengan ukuran huruf yang lebih gede di beranda web biro jodoh?” tanya Aura untuk mengungkapkan kekesalan.Sejujurnya Aura merasa lega karena itu hanya calon klien, bukan wanita yang spesial di hati Cakra. Sampai sekarang Aura masih penasaran dengan status Cakra, tapi tidak berani menanyakannya.“Oya, besok kamu yang ngawasi Pak Iswanto. Saya ada janji temu selama seharian.”Perkataan Cakra membuat Aura kembali merasakan tusukan di perut. Rasanya nggak nyaman kalau tidak tahu kegiatan majikannya itu.

  • Bride For the Matchmaker    Percayalah

    “Dia sudah punya pacar atau mungkin malah suami. Saya tidak mau menjadi pebinor, yang merusak rumah tangga orang lain,” sembur Iswanto ketika bertemu dengan Cakra dan Aura keesokan harinya.“Pria itu bukan pacar atau suaminya Jasmin. Saya sudah menyelidiki dengan cermat,” bantah Cakra sambil mempersilakan Iswanto untuk duduk.Dia memberi kode pada Aura agar membuatkan kopi bagi pria itu. Aura mengangguk sekilas sebelum meninggalkan keduanya.“Apa Anda yakin? Kalau bukan pacar, lalu dia siapa? Saya sudah terlanjur berharap pada Anda. Anda tahu sendiri kalau waktu saya sudah tidak banyak lagi,” ungkap Iswanto, yang kembali mengingatkan Cakra akan tujuannya mencari jodoh.“Tenang saja. Kita tetap lanjutkan rencana awal. Saya harap A

  • Bride For the Matchmaker    Merancang Pendekatan

    Mata Binar membelalak ketika bertemu pandang dengan Cakra. Sedetik kemudian, gadis yang mengenakan kaus sewarna tanah itu membalikkan badan, lalu berlari kencang. Cakra yang tidak menduga akan hal itu pun buru-buru mengejar, tapi sesosok tubuh mungil dengan kedua tangan terentang, menghalanginya.“Aden ada keperluan apa di sini?”“Minggir!” usir Cakra dengan suara meninggi.Namun, gadis itu malah semakin bertekad menghalangi langkahnya. Padahal tangan Cakra mulai berkeringat , karena mulai takut kehilangan jejak Binar.“Aden bilang dulu, mau apa ke sini? Aden ngikutin aku?” tuduh Aura dengan mata menyipit.Karena sudah tidak sabar lagi, Cakra meletakkan kedua tangan di pinggang Aura, kemudi

  • Bride For the Matchmaker    Melihat Jodoh Prabu

    Bahu Aura bergerak naik turun beberapa kali, tanda sedang mengatur pernapasan. Ini bukan kejadian pertama kali, harusnya dia sudah lebih berpengalaman, tapi kenapa masih bisa sepanik ini? Dia masih merasa cemas kalau-kalau terjadi sesuatu saat Cakra mengurung diri.“Tenang Aura, pasti tidak akan ada masalah. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin,” bisik Aura pada dirinya sendiri.Tak butuh waktu lama bagi Aura untuk kembali bersikap rasional. Dia sudah bisa memutuskan langkah apa yang akan diambil.“Den!” teriak Aura sambil mengetuk pintu dengan lebih keras. Dia mengetuk dengan irama lagu kekinian yang ada di platform joget-joget. Kalau kesimpulannya tepat, dalam beberapa detik lagi pintu pasti akan terbuka.“Iya, sebentar. Stop ketuk pin

  • Bride For the Matchmaker    Prabu

    “Baiklah. Akan kuberi satu kesempatan,” ucap Cakra dengan ragu.Sebenarnya, dia tidak mau meladeni Prabu, takut kalau pria itu ternyata adalah benar jodoh Aura. Namun, dia kembali teringat dengan Hansel, kalau pria itu bisa diberi kesempatan, seharusnya dia bisa memberikan kesempatan yang sama pada Prabu.“Saya sudah menantikan jawaban ini cukup lama. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera melamar Aura.” Binar di mata Prabu membuat Cakra terdiam.Kalau rasa cinta Prabu sedemikian besar untuk Aura, seharusnya dia bisa mengusahakan untuk membantu. Bukan malah menjegalnya. LAgipula, Cakra sudah putus asa dalam mendapatkan jodoh.“Saya akan menemuimu besok jam 9 di Kafe Jingga. Silakan bawa Aura ke sana, tapi saya hanya akan mengawasi dari kejau

  • Bride For the Matchmaker    Tarik Ulur

    “Tutno ngasi mentok!” Cakra membaca mantra, membuat benang biru yang melingkari smartwatch berpendar. Benang itu bergerak memutar, kemudian ikatannya terbuka, lalu meluncur menuju jari kelingking. Benang biru itu menyusuri benang takdir, seolah itu adalah jalan yang harus dilewati.Cakra mengernyit, saat ini benang takdir Iswanto semakin mengendur dan terus memanjang. Ini berarti takdir pria itu mulai bergerak menjauh. Namun, saat sudah separuh jalan, tiba-tiba benang takdir memendek.“Ombo sing ombo meneh!” Cakra buru-buru memperluas jangkauan bola kristal.Cakra bisa melihat Iswanto, yang sedang mengangkat sebuah pot berisi bunga Daisy warna putih. Kemudian terlihat tempat duduk pesta yang dilapisi dengan beludru. Saat pandangan semakin lebar, Cakra bisa melihat jalan luas di depan gedung.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status