Share

4. Dua Pilar Cinta

Rania menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Walau bibirnya mulai merangkai senyum, tetapi hatinya penuh dengan sumpah serapah yang tertuju pada papanya. Ia berjanji tidak akan lagi mendoakan pria itu agar mirip Oh Sehun.

“Gue gak akan kabur,” ketus Rania sembari berjalan ke tepi untuk melihat kondisi lantai satu. Matanya membola saat melihat ruangan itu sudah tertata dengan rapi.

“Nona, calon pengantin pria sudah datang,” ucap salah satu pelayan wanita.

“Suruh dia balik,” respons Rania seadanya. Gadis itu buru-buru membelah jalan para pelayan sembari menyentil kening mereka satu per satu.

“Gimana calon suami gue?” tanya Rania sembari memutar tubuh. Ia baru ingat kalau belum tahu bagaimana wujud si calon suami. Semalam, papanya memang memasukkan sebuah map berisi biodata mempelai laki-laki itu melalui celah di bawah pintu. Akan tetapi, Rania malah membakarnya saat itu juga. Alhasil, ia amat penasaran sekarang.

Apa mungkin calon suaminya ustaz tua seperti yang dikatakan papanya? Atau justru lebih buruk dari itu?

Amit-amit. Rania mengetuk kepala, kemudian mengusap perut beberapa kali.

“Nona Rania, pernikahan akan segera dimulai,” kata salah satu pelayan, “mari ikut saya.”

Rania melongo seperti kehabisan obat. “Di mana papa sama mama gue?”

“Tuan sedang berbincang dengan pengantin pria, sedang nyonya sudah menunggu Nona di dalam kamar.”

“Ganteng gak suami gue?” Rania basa-basi, padahal ia sama sekali tak peduli. “Bilangan sama papa gue kalau jelek kayak dia, suruh dia yang nikahin pengantin cowok itu.”        

Merasa punya kesempatan, Rania mengangkat rok, lalu mendorong si pelayan agar bisa kabur dengan leluasa. Nahas, baru saja beberapa langkah, para penjaga dengan mudah menangkapnya, kemudian menyeretnya ke salah satu kamar.

Ini benar-benar hari terburuk dalam hidup Rania. Sepertinya, penikahan ini benar-benar harus terjadi. Ia refleks ingin menendang para pengawal, tetapi kesulitan karena rok yang dikenakan. “Dasar gak tau diri!” rutuknya.

“Sayang,” panggil Risa seraya mendorong kursi roda. Wanita itu kemudian menggenggam tangan sang putri, kemudian mendudukannya di karpet merah yang sudah digelar di atas lantai.

Di dalam ruangan, hanya ada Rania, Risa dan dua pelayan wanita. Seperti yang dikatakan salah satu maid tadi, Ratnawan memang tak terlihat perut buncitnya di ruangan ini. Rania akan benar-benar bahagia jika mendengar kabar kalau papanya tiba-tiba diculik alien, lalu pernikahan ini benar-benar batal.

“Ma, Rania belum mau nikah,” ujar Rania seraya menyandarkan wajah ke paha sang mama. Kedua bola matanya mendadak berkaca-kaca. “Kenapa sih Rania harus nikah sekarang? Apa mungkin papa kelilit utang sampai harus nikahin Rania ke orang lain? Apa Rania sebenarnya anak pungut dari planet Mars?”

“Itu gak bener, Sayang.” Risa menepuk pundak Rania. “Papa ngelakuin ini karena papa tahu apa yang terbaik buat kamu.”

Rania hanya berdeham.

“Sebentar lagi ijab kabulnya akan dimulai,” kata Risa seraya menunjuk layar televisi yang menampilkan tempat pernikahan di lantai satu.

Rania menatap sang mama dengan intens, seakan meminta penjelasan masuk akal atas semua hal yang harus terjadi hari ini. Gadis itu sama sekali tak pernah bermimpi akan menjadi seorang istri secepat ini. Rania sadar kalau dirinya tidak pandai bersih-bersih, apalagi memasak. Terakhir kali ia menyentuh peralatan dapur mungkin sekitar sepuluh tahun lalu. Itu pun berakhir dengan kebakaran.

Rania memfokuskan pandangan ke arah televisi. Sayang, calon suaminya malah membelakangi kamera, yang terlihat hanya punggungnya saja. Gadis itu kemudian melurus lutut, lalu teralih pada layar saat papanya menggenggam tangan seorang pria. Untuk kedua kalinya, Rania tak bisa melihat wajah pengantin laki-laki. Suasana mendadak hening ketika suara seorang laki-laki mengucap ikrar pernikahan. Setelah kata “sah” terdengar, doa turut dipanjatkan.

Bukannya mengaminkan, Rania malah fokus pada layar. Ia kian penasaran karena suaminya lagi-lagi memunggungi kamera. Apa mungkin saking jeleknya kamera akan jadi rusak?

Awas saja kalau pria itu adalah aki-aki. Amit-amit tujuh turunan. Saat pikiran buruk itu melintas, Rania mengetuk kepala serta karpet beberapa kali.

“Sayang, sekarang kamu udah jadi seorang istri,” ujar Risa dengan bola terselimuti bening kristal.

“Eh, nikahnya udah, Ma?” tanya Rania.

Risa mengangguk, lantas memeluk Rania dengan erat. “Kamu ... harus jadi istri yang baik, Sayang.”

“Apa aku bisa cerai sekarang?” Rania mendadak pusing. Ia ingin kembali ke kasur, lalu terbangun keesokan harinya dan menganggap semua kegilaan ini adalah mimpi buruk.   

Sementara itu, Raihan tak tahu apakah pernikahan ini merupakan kesalahan atau malah sesuatu yang sejalan dengan suratan. Pemuda itu juga tak memahani mengapa ikrar suci itu bisa meluncur mulus dari bibirnya yang sejak tadi lebih banyak bungkam.

Raihan seketika menunduk saat ekor matanya tak sengaja menoleh ke lantai atas. Suasana sekitar teramat hening hingga jejak kaki gadis yang tengah menuruni tangga itu terdengar jelas.

“Nak Raihan,” bisik Ratnawan yang duduk di hadapannya. “Istri Nak Raihan sudah datang. Saya senang karena Nak Raihan sudah menjadi bagian dari keluarga Ratnawan.”

Raihan hanya mengangguk singkat. Walau begitu, parasnya masih belum terangkat. Ia sempat menoleh pada bapaknya yang tampak lagi-lagi menampilkan raut datar.

“Berdiri,” pinta Rojak sembari menyenggol bahu Raihan.

Raihan segera menegakkan tubuh. Ketika matanya melihat rok putih yang menjuntai, dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Pandangannya perlahan naik hingga paras sang istri dapat ia lihat dengan jelas.

Ini ‘kan cewek yang buat rusuh di pesantren, batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status