Raihan berdiri di depan pintu selama beberapa waktu. Tangannya masih setia mengetuk benda itu. Tak ada lagi suara balasan Rania. Mengambil napas panjang, Raihan kemudian mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku celana. Pemuda itu termenung beberapa saat ketika pintu berhasil dibuka, takjub akan suasana yang menurutnya seperti tempat raja dan ratu tinggal. Tak aneh sebenarnya jika melihat kondisi rumah ini yang luasnya berkali-kali dari lapangan sepak bola.
Raihan mendekat ke arah kasur sembari menyisir sekeliling. Ia sedikit curiga pada selimut yang hampir menutupi seisi ranjang. Sejujurnya, kalaupun itu Rania, ia tidak akan berbuat macam-macam. Ia lebih memilih tidur di sofa dibanding bersama dengan gadis itu dalam satu tempat.
Raihan yang penasaran menyibak selimut yang menutupi kasur. Namun, yang ia lihat hanya bantal dan guling yang disusun sedemikian rupa. Pemuda itu sontak menelisik ruangan. “Ke mana si gadis cerewet itu? Apa mungkin digondol kucing? Apa lagi cosplay jadi lampu?”
Saat sibuk mencari, Raihan teringat dengan perkataan Ratnawan saat memberikannya kunci. Katanya, Rania paling anti dengan namanya gelap. “Gue tahu,” ujarnya sembari menyungging senyum jail.
Raihan mulai mendekat ke sisi ruangan, kemudian mematikan sakelar. Sesuai dugaan, suara jeritan yang entah dari mana mulai menikam pendengaran.
“Mama, Papa!” pekik Rania sembari menutup mata. Gadis itu berlari tak tentu arah. Tubuhnya tiba-tiba terpental saat menabrak sesuatu. Tak butuh alasan, ia memeluk erat tubuh Raihan yang dikiranya sebagai Ratnawan.
Di sisi lain, Raihan mendadak menahan napas ketika Rania mendekap raganya dengan erat. Terganggu karena teriakan dan aksi tersebut, pemuda itu sontak menekan kembali sakelar. Tak lama setelahnya, ruangan kembali tersiram cahaya.
Raihan melihat jika Rania perlahan mengerjap. Ada kabut bening yang terperangkap di bola mata, pertanda jika gadis itu benar-benar takut akan kegelapan. Raihan jadi merasa bersalah.
Rania mulai membuka mata. Napasnya terengah-engah seperti habis maraton. “Papa, kenapa lampunya mendadak mati? Makanya bayar listrik biar gak malu-maluin!”
“Siapa yang telat bayar listrik?” tanya Raihan.
“Eh.” Rania seketika memelotot saat matanya sejajar dengan dada bidang seseorang. Saat mendongak, ia menemukan Raihan tengah berada di dekatnya, dan yang lebih parahnya lagi, sedang ia peluk dengan erat. Pantas saja ia sedikit merasa janggal karena seingatnya tubuh papanya itu didominasi lemak dan perut. “Raiko!” pekiknya sembari mendorong Raihan menjauh.
“Jangan teriak-teriak. Ini udah malem, apalagi rumah ini dekat hutan.”
Rania yang hendak menendang seketika tersadar kalau ucapan Raihan benar. “Jangan berani merintah-merintah gue!”
Raihan mengmbus napas panjang, kemudian menipiskan jarak dengan Rania.
“Raiko!” jerit Rania sembari berkacak pinggang. “Pergi dari kamar gue atau gue hajar! Cepet!”
“Rambut lu kotor,” balas Raihan seraya menunjukan sarang laba-laba di tangannya. “Makanya kalau mandi itu yang bersih.”
“Gak usah modus!” Rania memelotot, memadangi Raihan dari atas hingga bawah. “Ini kamar gue! Pergi!” tunjuknya ke arah pintu.
Akan tetapi, sepertinya Rania kurang cekatan. Nyatanya, tawa Ratnawan tiba-tiba saja terdengar bersamaan dengan pintu kamar yang ditutup dari luar. “Papa,” lirih Rania seraya memelotot.
“Selamat bersenang-senang.” Suara Ratnawan terdengar menggema, lantas mengecil dan berganti dengan derap langkah di anak tangga seiring dengan jarak yang merenggang.
Tinggallah muda-mudi itu dalam satu kamar. Rania mengambil langkah lebih dahulu. Ia dengan cepat melompat ke atas kasur seperti kodok. Gadis itu mengambil raket listrik yang biasa ia simpan di samping kasur. Dengan tatapan bak elang, ia mengamati setiap gerak-gerik Raihan yang kini berbaring di atas sofa.
“Maju selangkah, kita bakal perang semalaman.” Rania mengingatkan.
“Ayo, siapa takut,” sahut Raihan enteng.
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b