Beranda / Young Adult / Dua Pilar Cinta / 5. Dua Pilar Cinta

Share

5. Dua Pilar Cinta

Penulis: Ramdani Abdul
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-08 16:01:32

Satu hal yang Rania inginkan sekarang hanyalah mengecat wajah papanya saat tidur, lalu mendandani pria itu dengan kostum bayi. Untuk langkah akhir, ia akan memotretnya, lantas menjadikannya sebagai stiker WA.

Berbicara tentang masa depan, hal itu sudah raib setelah pernikahan ini terjadi. Realita berkata bila ucapan papanya kemarin bukanlah sekadar gertakan. Saat ini, Rania sudah menyandang gelar istri dari seorang pria yang tengah duduk di sampingnya. Ganteng, sih, dan untungnya bukan aki-aki seperti dalam bayangan.  

Sejak tadi, Rania terus saja melirik sinis lelaki di sampingnya seraya mengacung-acungkan satu tangan ke udara. Rania bermaksud agar lelaki itu sedikit menjauh dan tak berani macam-macam dengannya. Namun, yang terjadi justru pemuda itu malah mengangkat gelas, lalu memindahkan benda itu ke depan Rania.

Dasar laki-laki enggak pernah peka.

“Maksud gue tuh, lu jauh-jauh dari gue!” Rania mengerucutkan bibir, kemudian melipat tangan di depan dada. “Tadi siapa nama lu?”

“Sayang,” tegur Risa seraya mengelus punggung tangan Rania.

“Namanya Raihan, dan dia seorang santri,” jawab Ratnawan, “kamu harus banyak belajar sama dia, Rania,” ujarnya kemudian.

“Mimpi,” cibir Rania sembari melempar kulit kacang ke wajah Raihan.

“Yang sopan sama suami kamu!” Ratnawan memelotot.

“Papa!” Rania refleks melayangkan tendangan. Nahas, kakinya malah menendang  meja. “Papa, sakit ih! Kenapa Papa ngehindar, sih?”

“Emang enak.”

“Awas aja nanti aku bales.” Rania merotasikan bola mata, kemudian kembali melempar kulit kacang pada Raihan.

Menghadapi kelakukan Rania, Raihan hanya diam seakan tak terganggu.

“Jadi begini, Nak Raihan,” ujar Ratnawan dengan mimik serius, “karena Nak Raihan sudah resmi jadi suami Rania, Nak Raihan bebas ngelakuin apa aja sama Rania. Saya ikhlas.”

Mendengarnya, Rania seketika melongo. Kalau boleh jujur, ini hari terburuk yang dialami gadis itu. Ia harus merelakan masa depannya dirampas oleh pernikahan bodoh ini, ditambah baru saja ia mendengar kalau sang papa memberikan lelaki asing itu kesempatan untuk berbuat seenaknya padanya. Benar-benar menyebalkan.

“Maksud Anda?” tanya Raihan bingung.

“Anda Andi Ondo,” celetuk Rania sembari melempar kulit kacang lagi pada Raihan. “Maksudnya tuh lu bimbing gue!”

“Nah benar yang dikatakan si kerupuk jengkol ini,” sahut Ratnawan. Segaris senyum timbul dari bibirnya. “Tolong bimbing anak saya biar jadi manusia seutuhnya.” 

“Papa! Kalau aku bukan manusia, terus Papa apa?" Rania mengentak kaki sebal. “Dan jangan nyuruh-nyuruh si Raiko rasa ayam ini buat bimbing aku! Aku bukan pemudi tersesat!”

Ratnawan memelotot. “Diem kamu, Rania.”

“Papa! Aku aja gak kenal sama dia. Dia itu orang asing. Jadi, dia gak pantes buat menuhin permintaan aneh Papa.”

“Nak Raihan, kamu bebas ngelakuin apa aja sama anak saya.” Ratnawan sama sekali tak menggubris rengekan Rania. “Tolong kamu balikin kodrat anak saya sebagai manusia.”

“Saya benar-benar gak ngerti,” ucap Raihan.

“Ih dasar lu, ya.” Rania yang tadi duduk berselonjor refleks berdiri. “Otak lu kayaknya ketinggalan di pesantren. Maksud si siluman tabung gas ini, lu harus bimbing gue.”

“Sayang,” sela Risa sembari menarik Rania agar kembali duduk.

 Ratnawan berdeham. “Apa yang dikatakan tutug oncom ini benar. Tapi, ada hal lain yang harus Nak Raihan tahu. Sebenarnya, sejak lama kami rindu suara bayi di rumah ini. Jadi, kami minta kamu untuk menghamili Rania dalam tempo sesingkat-singkatnya.”

Sontak tiga orang yang ada di ruang keluarga itu tercengang. Beberapa detik lamanya ruangan ini hening tanpa suara. Rania tak sadar jika kacang yang sedang dikupasnya jatuh. Ia merasa jantungnya tiba-tiba  berdetak cepat. Untung saja organ itu tak meledak. Raihan sendiri hanya bisa menatap Ratnawan tanpa bisa berkata-kata.

“Dan waktu yang kalian berdua punya hanya empat bulan,” lanjut Ratnawan.

“Papa!” Rania seketika bangkit, melempar bantal ke arah Ratnawan. Sayang, papanya sama sekali tak peduli. Pria itu malah sibuk mendorong kursi roda istrinya menuju kamar. “Papa!”

“Selamat bersenang-senang,” ujar Ratnawan sebelum menghilang di balik dinding.

Rania yang masih sibuk mengatur napas akhirnya menjatuhkan tubuh dengan mulut menganga. Saking kaget mendengar permintaan itu, ia mendadak kehilangan hasrat untuk melanjutkan hidup. Gadis itu serasa berada di ujung kehidupan. Ingin bunuh diri, tetapi enggan masuk neraka.

Rania menatap dinding tempat terakhir kali papa dan mamanya terlihat. Tubuhnya tiba-tiba saja bergetar hebat.  Ia mengembus napas panjang, kemudian memijat kepala. Adakah hal yang lebih gila lagi setelah ini?

Ketika keterkejutannya mereda, Rania segera memelototi Raihan. Ia melempar bantal ke arah pemuda itu, kemudian berkata sembari berkacak pinggang, “Jangan pernah sentuh gue! Ngerti lu Raiko ayam!”

Dibanding membalas, Raihan lebih sibuk memperhatikan tingkah Rania yang dianggapnya berlebihan. Namun, hal ini semakin menegaskan kalau gadis ini adalah pelaku kerusuhan di pesantren beberapa waktu lalu.

“Bagus, kalo lu ngerti. Soalnya gue gak segan-segan buat hidup lu menderita.” Rania tersenyum angkuh. “Lu harus tau kalau gue gak nganggap lu sebagai suami gue sampai kapan pun. Lu itu cuma orang asing yang beruntung karena bisa masuk ke rumah ini. Gue gak tau apa tujuan dari pernikahan bodoh ini, tapi yang jelas, lu sama sekali gak akan dapat sepeser pun harta bokap gue!” Rania kembali duduk, lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada.

“Nak Raihan,” panggil Ratnawan yang tiba-tiba menyembul di sela-sela pot tanaman.

Raihan seketika menoleh.

“Obat kuatnya saya taruh di lemari putih,” susul Ratnawan yang kemudian menghilang lagi.

“Obat kuat?” Raihan tersenyum tipis. Ia sepertinya bisa menjaili gadis ini dengan hal itu.

Anggap saja suara kentut gajah. Pikiran itulah yang seringkali Rania tanamkan saat mendengar kata-kata aneh dari papanya. Hidupnya terlalu berharga jika harus menuruti semua permintaan gila pria itu.

“Lu, Raiko, jangan ... eh.” Rania menilik ke tempat duduk Raihan. Namun, yang ditangkap oleh matanya hanya sofa kosong dan juga bantal  yang acak-acakan. Gadis itu refleks menoleh ke sekeliling arah, dan menemukan Raihan tengah berjalan ke arah tempat yang ditunjuk Ratnawan tadi. “Raiko! Lu jangan pernah deketin lemari putih itu!”

Raihan menghentikan langkah sesaat, lantas berbalik menatap Rania. “Kenapa?”

“Jangan pernah berani ambil barang itu atau gue ... Raiko!” Rania mengentak lantai beberapa kali saat Raihan sama sekali tak menggubris ucapannya. Pemuda itu terus saja berjalan seakan berpura-pura tuli.

“Raiko! Lu ketularan gila atau apa? Raiko!”

Jarak antara Raihan dan lemari putih itu tinggal beberapa senti lagi. Dengan senyum mengembang, ia membuka benda itu, kemudian mulai melongokkan wajah ke dalam. Di sisi lain, Rania takut bukan kepalang. Tubuhnya gemetar dan deru napas mendadak tak normal.

“Raiko! Gue lempar ya lu ke kolong jembatan! Raiko!” Rania kembali menjerit, melempar bantal-bantal tadi ke arah Raihan. Namun, hal itu tak menghalangi aktivitas pemuda itu yang tengah fokus mencari sesuatu di lemari putih.

Raihan tersenyum saat melihat benda yang dicarinya. Dengan wajah datar, ia mendekat ke arah Rania sembari mengacung sebuah botol ke arah gadis itu. “Ini yang gue cari,” ujarnya seraya berusaha untuk menahan tawa. Saat menoleh ke samping, Ratnawan memberinya sebuah acungan jempol, lalu kembali menghilang ditelan dinding.          

Tiga detik setelah melihat benda itu, Rania kontan menjerit. Gadis itu berlari pontang-panting menuju kamarnya di lantai dua. “Mama! Aku gak mau hamil!”

“Jangan lari,” cegah Raihan.

Rania segera membanting pintu dengan keras, kemudian menguncinya dari dalam. Ia  lantas membungkus seluruh badannya dengan selimut tebal. “Dasar cowok gila!” makinya.

Raihan menggeleng, kemudian mulai menaiki tangga. Saat di dapur, Ratnawan sudah memberikannya kunci cadangan kamar Rania. Jadi, meski gadis itu mengunci ruangan, ia akan tetap bisa masuk ke sana. Namun, ia tidak akan melakukan apa pun pada Rania. Toh, ia juga merasakan hal yang sama seperti gadis itu.

Raihan mengetuk pintu. “Buka,” pintanya sembari menahan tawa.

Raihan sedikitnya bisa terhibur saat melihat reaksi Rania yang lari terbirit-birit seperti dikejar kecoa. Jujur saja, ia hanya bergurau saat pura-pura mencari obat kuat yang dikatakan Ratnawan. Toh, yang ia ambil barusan adalah obat diare, dan tak dirinya sama sekali tak menemukan botol yang dicarinya. Rania saja yang lebay, pikir Raihan.

“Jangan berani-berani masuk, Raiko!” Rania menyahut dari balik semlimut. Tatapan matanya waspada. “Gue gak segan kutuk lu jadi bumbu cimol!”

“Buka.” Raihan kembali mengetuk pintu.                             

Rania memenjamkan mata, tetapi ketukan pintu malah kian kencang terdengar. Tak ingin sesuatu terjadi padanya, gadis itu lantas bangkit dari kasur, kemudian mengambil pemukul yang ia letakkan di sudut kamar. Setelahnya, ia berlari menuju balkon. Mungkin dengan cara ini ia bisa lolos dari seramnya malam pertama.

Di luar kamar, Raihan justru kian terkikik geli. Hitung-hitung ini balasan bagi Rania karena dengan seenaknya sudah melempar kulit kacang ke wajah, juga mengganti namanya dengan merek penyedap rasa seharga lima ratus.

Si Raihan itu benar-benar sudah gila, pikir Rania. Wajahnya yang tampan tak seelok akhlaknya yang amburadul. Selain papanya, pemuda itu memang harus diberi pelajaran budi pekerti.

“Buka.” Raihan kembali mengetuk pintu.

Rania segera meraup oksigen dengan rakus. Malam ini akan jadi malam yang panjang baginya. Mulai detik ini, ia mendeklarasikan perang dengan Raihan.  

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dua Pilar Cinta   99. Dua Pilar Cinta

    7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn

  • Dua Pilar Cinta   98. Dua Pilar Cinta

    Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan

  • Dua Pilar Cinta   97. Dua Pilar Cinta

    Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.

  • Dua Pilar Cinta   96. Dua Pilar Cinta

    Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda

  • Dua Pilar Cinta   95. Dua Pilar Cinta

    Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma

  • Dua Pilar Cinta   94. Dua Pilar Cinta

    Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status