Beranda / Young Adult / Dua Pilar Cinta / 3. Dua Pilar Cinta

Share

3. Dua Pilar Cinta

Penulis: Ramdani Abdul
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-08 15:57:30

Sungguh, Raihan berharap bila kejadian kemarin adalah mimpi buruk yang akan lenyap ketika terbangun. Bagaimanapun juga, menikah dengan seorang gadis yang tak pernah ia kenal adalah sesuatu yang gila. Ia percaya bila pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan candaan apalagi permainan. Satu-satunya alasan Raihan mengangguk setuju adalah karena bapaknya. Ia tak ingin mengecewakan orang tua tunggalnya.

 Raihan menghela napas berat, lantas mengetuk pintu beberapa kali. Begitu terbuka, ia mundur beberapa langkah saat pria berbadan tegap muncul dari celah yang terbuka. “Pak,” ucapnya.

Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam menepi di depan kediaman. Seorang pria lantas turun dari kendaraan, kemudian berbincang sebentar dengan Rojak mengenai persiapan dari mempelai pria.

“Masuk,” pinta Rojak.

Meski belum sepenuhnya mengerti, Raihan menurut. Ia duduk di kursi belakang bersama Rojak. Tak lama setelahnya, mobil kembali melumat jalanan.

“Kamu sudah membaca informasi tentang calon istri kamu?” tanya Rojak tanpa menoleh pada lawan yang diajak bicara. Pandangannya lurus ke depan.

“Su-sudah, Pak,” jawab Raihan setengah berbohong. Sejujurnya, ia hanya membaca nama gadis itu saja.

Selama perjalanan, suasana di dalam mobil dilahap sunyi. Sopir sesekali memberitahu mengenai persiapan pernikahan di lokasi mempelai wanita. Raihan sama sekali tak peduli. Ia lebih memilih menoleh ke sisi jalan, memperhatikan gambaran pemandangan.

Raihan mengamati Rojak dari pantulan kaca. Sekilas ia melihat kabut bersemayam di kedua netra sang bapak. Pria paruh baya itu nyatanya masih tampak gagah di usianya yang hampir menginjak setengah abad. Saat pemuda itu hendak bertanya, mobil segera berbelok dan memasuki sebuah jalan yang sisi kiri dan kanannya dipenuhi pepohonan rindang.

“Pak, kita sebenarnya mau ke mana?” tanya Raihan, “ini seperti hutan.”

Rojak sama sekali tak menggubris. 

Dari kejauhan, Raihan melihat sebuah bangunan. Begitu jarak menipis, ia mendapati sebuah rumah megah dengan pagar tinggi yang mengelilingi gedung. Pemuda itu sempat bercelotoh kalau tempat itulah yang menjadi lokasi pernikahannya. Akan tetapi, tak lama kemudian, ia justru menertawakan dirinya sendiri di dalam hati.

Namun, apa yang terjadi justru di luar dugaan. Mobil memasuki gerbang rumah megah itu, kemudian menepi di depan orang-orang berseregam hitam yang sudah berjajar di sisi kiri dan kanan jalan. Raihan turun dengan perasaan tak tentu, anatara kagum, takut, juga penasaran di saat yang sama. Orang-orang itu mulai membungkuk saat dirinya berjalan.

“Sang pangeran sudah datang,” pekik seorang pria yang berdiri di depan teras bangunan. Suara tepuk tangan dari orang-orang yang membungkuk tadi seketika meramaikan suasana.

Keriuhan ini sungguh membuat Raihan bingung. Ketika menoleh ke arah Rojak, pria itu justru tampak tak terganggu. Pemuda itu kemudian menunduk, mencoba memahami situasi yang terjadi. Entah mengapa semua pandangan tertuju padanya.

Begitu jarak terkikis, pria tambun yang berteriak tadi seketika memeluk singkat Raihan. Ia memerintahkan beberapa pelayan wanita untuk membawanya ke ruangan rias.

“Kamu ikut dengan mereka, Han,” ujar Rojak saat Raihan akan menolak ajakan, “Bapak harus harus ngobrol dulu dengan calon mertua kamu.”       

Raihan mengangguk ragu. Saat ia mulai berjalan, ia sempat menoleh ke arah bapaknya dan pria tambun itu yang kini sudah lenyap dilahap pintu. Pemuda itu dibawa ke sebuah ruangan, kemudian diminta untuk memilih beberapa setelan jas yang ditawarkan. Setelah menentukan pilihan, para pelayan wanita itu mulai menata penampilannya.

Di tempat lain, Rania tengah mondar-mandir di dalam kamar. Gadis itu mengurung diri semenjak sadar dari pingsan. Ia tak ingin menemui papa dan mamanya karena jengkel, terlebih saat tahu pria tambun itu menyita seluruh gawainya.  Kekesalannya kian bertambah saat tahu jika seluruh rumah sudah dihias dengan dekorasi khas pernikahan.

Rania menghela napas berat. Rasanya butuh kekuatan monster untuk bisa mengobrak-abrik seisi rumah. Ia amat kesal, terlebih saat mengintip melalui celah tirai. Para penjaga sudah lalu-lalang di sekeliling kamar, menjaganya agar tak kabur.

Sebenarnya, Rania bisa saja mengancam akan bunuh diri seperti waktu lalu. Namun, sepertinya kali ini tidak akan berhasil. Papanya sudah tahu kalau hal itu hanya gertakan biasa. Gadis itu pernah mengancam akan terjun dari balkon kamar. Akan tetapi, papanya malah memanggil wartawan untuk mengabadikan momen saat dirinya akan lompat. Katanya, kapan lagi melihat beruang terbang.

“Kesel banget gue!” gerutu Rania sembari mengentakkan kaki.

Rania buru-buru melempar tubuh ke kasur saat pintu kamar diketuk dari luar. Ia menutup seluruh tubuh dengan selimut tebal. Di saat seperti ini, gadis itu harus menunjukkan kemampuan akting yang mumpuni. Wajah, tangan dan kakinya sudah ditempeli dengan busa-busa kecil yang menyerupai jerawat. Untuk memuluskan peran, Rania berpura-pura menggigil.

“Bi-bilang ... sama papa gue ... kalau gue sakit. Jadi, pernikahan ini batal,” ucap Rania saat empat pengawal pria masuk ke kamar. “Sekarang, lu semua keluar. Gue mau istirahat.”

Akan tetapi, bukannya menurut, para pengawal itu malah menyingkap selimut, kemudian  mengangkat tangan dan kaki Rania tanpa permisi.

Jelas saja Rania tak terima. Matanya seketika memelotot. “Kurang ajar! Lu pikir gue kambing guling! Lepasin gue!” Rania berontak, menggeliat bak cacing kepanasan. Para pengawal itu membawanya ke sebuah kamar, kemudian melempar tubuhnya ke atas kasur. “Gue kutuk lu semua jadi jigong Firaun!”

Empat pengawal pria itu keluar dari kamar. Setelah duduk di kasur, Rania melihat tiga orang pelayan wanita masuk ke ruangan. “Gue ini kena virus baru. Kalian harus jauh-jauh dari gue kalau gak mau ketularan,” ucapnya sembari menunjuk gumpala merah di sekujur tubuh.

Nyatanya, ucapan Rania hanya dianggap angin lalu. Tanpa dinyana, para pelayan wanita itu membawa satu setel pakaian pengantin. Benjolan merah yang menempel dengan cepat disingkirkan. Akting Rania gagal total. Gadis itu kian frustrasi saat Ratnawan tiba-tiba muncul dari celah pintu.

“Bawa si ketek anoa ini ke ruangan tunggu setelah beres,” ujar Ratnawan dengan tatapan tajam. Setelahnya, ia menghilang dari kamar.

Rania langsung mengerucutkan bibir. Ia tahu kalau papanya serius saat mengatakan hal itu. Jujur saja, ia tak berani membantah kalau sudah begini. Mau tak mau, ia harus menurut. Namun, tunggu dahulu. Rania belum melihat hasil riasannya. Ia ingin tahu, apakah dirinya bisa secantik Irene RV atau tidak.

Tak ada masalah dari riasan. Ia justru tampak lebih cantik. Namun, yang menjadi kendala adalah pakaian dan kerudung yang dikenakan. Rasanya sesak dan panas. Ini seperti bukan dirinya saja. Ketika berjalan ke luar kamar, ia mengalami kesulitan karena rok yang panjang dan sempit.

Rania tiba-tiba saja berteriak saat mengingat kalau ia akan menikah dengan seorang ustaz. Pantas saja ia diminta memakai kerudung. Jelas, ini tak bisa dibiarkan. Gadis itu tak mau masa depannya hancur karena pernikahan ini. Untuk itu, ia harus segera kabur. Namun, baru saja celingukan, para pengawal langsung bersiaga di kiri dan kanan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dua Pilar Cinta   99. Dua Pilar Cinta

    7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn

  • Dua Pilar Cinta   98. Dua Pilar Cinta

    Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan

  • Dua Pilar Cinta   97. Dua Pilar Cinta

    Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.

  • Dua Pilar Cinta   96. Dua Pilar Cinta

    Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda

  • Dua Pilar Cinta   95. Dua Pilar Cinta

    Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma

  • Dua Pilar Cinta   94. Dua Pilar Cinta

    Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status