Share

6. Dua Pilar Cinta

Raihan berdiri di depan pintu selama beberapa waktu. Tangannya masih setia mengetuk benda itu. Tak ada lagi suara balasan Rania. Mengambil napas panjang, Raihan kemudian mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku celana.  Pemuda itu termenung beberapa saat ketika pintu berhasil dibuka, takjub akan suasana yang menurutnya seperti tempat raja dan ratu tinggal. Tak aneh sebenarnya jika melihat kondisi rumah ini yang luasnya berkali-kali dari lapangan sepak bola.

Raihan mendekat ke arah kasur sembari menyisir sekeliling. Ia sedikit curiga pada selimut yang hampir menutupi seisi ranjang. Sejujurnya, kalaupun itu Rania, ia tidak akan berbuat macam-macam. Ia lebih memilih tidur di sofa dibanding bersama dengan gadis itu dalam satu tempat.

Raihan yang penasaran menyibak selimut yang menutupi kasur. Namun, yang ia lihat hanya bantal dan guling yang disusun sedemikian rupa. Pemuda itu sontak menelisik ruangan. “Ke mana si gadis cerewet itu? Apa mungkin digondol kucing? Apa lagi cosplay jadi lampu?”

Saat sibuk mencari, Raihan teringat dengan perkataan Ratnawan saat memberikannya kunci. Katanya, Rania paling anti dengan namanya gelap. “Gue tahu,” ujarnya sembari menyungging senyum jail.

Raihan mulai mendekat ke sisi ruangan, kemudian mematikan sakelar. Sesuai dugaan, suara jeritan yang entah dari mana mulai menikam pendengaran.

“Mama, Papa!” pekik Rania sembari menutup mata. Gadis itu berlari tak tentu arah. Tubuhnya tiba-tiba terpental saat menabrak sesuatu. Tak butuh alasan, ia memeluk erat tubuh Raihan yang dikiranya sebagai Ratnawan.

 Di sisi lain, Raihan mendadak menahan napas ketika Rania mendekap raganya dengan erat. Terganggu karena teriakan dan aksi tersebut, pemuda itu sontak menekan kembali sakelar. Tak lama setelahnya, ruangan kembali tersiram cahaya.

Raihan melihat jika Rania perlahan mengerjap. Ada kabut bening yang terperangkap di bola mata, pertanda jika gadis itu benar-benar takut akan kegelapan. Raihan jadi merasa bersalah.

Rania mulai membuka mata. Napasnya terengah-engah seperti habis maraton. “Papa, kenapa lampunya mendadak mati? Makanya bayar listrik biar gak malu-maluin!”

“Siapa yang telat bayar listrik?” tanya Raihan.

“Eh.” Rania seketika memelotot saat matanya sejajar dengan dada bidang seseorang. Saat mendongak, ia menemukan Raihan tengah berada di dekatnya, dan yang lebih parahnya lagi, sedang ia peluk dengan erat. Pantas saja ia sedikit merasa janggal karena seingatnya tubuh papanya itu didominasi lemak dan perut. “Raiko!” pekiknya sembari mendorong Raihan menjauh.

“Jangan teriak-teriak. Ini udah malem, apalagi rumah ini dekat hutan.”

Rania yang hendak menendang seketika tersadar kalau ucapan Raihan benar. “Jangan berani merintah-merintah gue!”

Raihan mengmbus napas panjang, kemudian menipiskan jarak dengan Rania.

“Raiko!” jerit Rania sembari berkacak pinggang. “Pergi dari kamar gue atau gue hajar! Cepet!”

“Rambut lu kotor,” balas Raihan seraya menunjukan sarang laba-laba di tangannya. “Makanya kalau mandi itu yang bersih.”

“Gak usah modus!” Rania memelotot, memadangi Raihan dari atas hingga bawah. “Ini kamar gue! Pergi!” tunjuknya ke arah pintu.   

 Akan tetapi, sepertinya Rania kurang cekatan. Nyatanya, tawa Ratnawan tiba-tiba saja terdengar bersamaan dengan pintu kamar yang ditutup dari luar. “Papa,” lirih Rania seraya memelotot.

“Selamat bersenang-senang.” Suara Ratnawan terdengar menggema, lantas mengecil dan berganti dengan derap langkah di anak tangga seiring dengan jarak yang merenggang.

Tinggallah muda-mudi itu dalam satu kamar. Rania mengambil langkah lebih dahulu. Ia dengan cepat melompat ke atas kasur seperti kodok. Gadis itu mengambil raket listrik yang biasa ia simpan di samping kasur. Dengan tatapan bak elang, ia mengamati setiap gerak-gerik Raihan yang kini berbaring di atas sofa.

“Maju selangkah, kita bakal perang semalaman.” Rania mengingatkan.

“Ayo, siapa takut,” sahut Raihan enteng. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status