Share

LUKA 7

Friska memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku sengaja mengatur mode senyap di ponselku tadi. Mendengar penjelasanku dia malah tertawa ngikik.

"Rejeki kamu yank, hahaha," ucap Friska. Aku hanya memanyunkan bibirku.

"Eh, ngerasa nggak kalau Pak Bos agak beda sama kamu?"

"Beda apanya, yang ada pekerjaanku nambah banyak."

"Siapa tau, cuma alasan dia aja mau deket sama kamu," ucap Friska lagi."Wah, Mas Byan ada saingan sekarang."

"Apaan."

Friska kembali tertawa. 

"Ya udah, sana! aku banyak kerjaan," ucapku ke Friska, daripada dia terus mengodaku. "Aku tunggu di bawah nanti sepulang kantor," lanjutku.

"Siap, sayang," ucap Friska, masih sempat menguyel pipiku sebelum keluar ruanganku. Kupandangi sahabatku itu sampai menghilang dibalik pintu, ada ketakutan menderaku, takut tak ada lagi kebersamaan seperti ini untuk esok hari, takut senyum dan tawa ceria itu memudar, dan aku takut kehilangan sosoknya dari hariku.

Ya Tuhan, apalagi Mas Dipta sekarang sudah berani menunjukkan perasaannya padaku. Bagaimana kalau Friska juga tau hal itu, kepalaku sakit sekali. Semua berputar di otakku. Jelas ini akan buruk untuk hubunganku dengan Friska.

Kenapa dia harus kembali, dan kenapa kami dipertemukan  kembali. Dan kenapa dia harus menyesali semua dan ingin kembali padaku. Akan lebih baik jika dia seperti dulu, tak mencintaiku. Pasti lebih mudah menjelaskan ke Friska.

Friska, aku dapat melihat cinta yang begitu besar dari sorot mata indah itu. Dia tak pernah terlihat  seperti ini sebelumnya. Kenapa harus dengan Mas Dipta? Apa yang Tuhan rencanakan untukku dibalik  ini semua. 

Aku masih terdiam saat ponselku berpedar, sebuah pesan dari Mas Byan masuk.

"Apa Prilly, anak Dipta?"

Tanpa membuka Aplikasi, pesan itu terbaca di notif. Aku bahkan belum memikirkan untuk jawaban pertanyaan tentang Prilly. Setau mereka Ayah Prilly meninggal, karena itu yang aku ceritakan sebelumnya.

Kepalaku semakin sakit, bagaimana perasaan Friska, saat tau Mas Dipta telah memiliki anak dariku. Dan bagaimana juga dengan Mas Dipta saat tau hal yang sama, pasti keingginan dia untuk untuk kembali padaku akan semakin besar. 

Ya Tuhan, kenapa aku dihadapkan pada situasi seperti ini. Tak mau diri ini kehilangan Friska sebagai sahabat dekatku, tapi dengan mengutarakan kenyataan ini padanya, pasti sangat berpengaruh pada hubungan kami. 

Prilly juga berhak tau siapa ayahnya, dia juga membutuhkan sosok ayahnya suatu saat nanti. Tapi mengingat saat pria itu mengembalikan aku kepada mama dan papa, rasanya aku tak ingin memberi tau yang sebenarnya. Apa harus kujelaskan juga, kalau dia hadir bukan buah dari cinta, tapi dari perbuatan seorang pria mabuk, yang masih saja tetap menyalahkan aku karena kejadian itu.

Luka ini kembali basah saat mengingatnya. Rasanya kembali perih, mau tidak mau memoryku kembali ke masa itu, masa bertahun-tahun yang lalu. Hamil tanpa di temani suami, dan membesarkan anak sendiri tanpa sosok ayah. Rasanya sakit sekali.

Dan sekarang saat aku mencoba kehidupan baru, mulai nyaman dan mengubur masa lalu, dia kembali membawa masalah baru bagiku dan orang-orang di sekitarku. 

Menjelaskan semua tentangku, tidaklah mudah. Membuka satu cerita, akan menguak banyak kisah lainnya. Dan semua kisah itu teramat sangatlah menyakitkan. Aku seperti sedang mencabik luka sendiri, mengoyak hati dan juga rasaku. Mengali kembali kenangan buruk masa lalu yang kelam dan menyakitkan.

Jujur aku tidak siap dengan kondisi seperti ini. Segala langkah yang aku ambil, semua tak ada yang memihak padaku. Semua berakibat tidak baik untukku, baik itu hubunganku dengan Friska, ataupun Mas Ditta, mama dan papa serta gadis mungilku Prilly.

Suara telepon membuyarkan lamuananku, kuseka air mataku yang hadir tanpa kusadari. Aku mengatur nafas dan juga hatiku.

"Selamat siang, dengan Kayana di sini, ada yang bisa saya bantu?"

"Iya, ke ruanganku," jawab si penelepon singkat, kemudian menutupnya.

Ada apa lagi, dengan orang ini. Dia kira tidak capek naik turun tangga dengan sepatu berhak tinggi. Aku mengambil kaca kecil dari laciku. Terlihat mataku memerah dan sedikit bengkak di bawahnya. Kusapukan sedikit bedak untuk menutupi, serta mengoles tipis lipstik berwarna pink soft ke bibirku.

Segera kubergegas melangkah ke lantai atas, pintu tidak tertutup namun aku tetap mengetuknya. Tampat sudah ada Radit, Pak Seno, dan juga Mas Reza di dalam. Tak berapa lama Friska sudah ada di belakangku. Pak Ryan menyuruh aku dan Friska duduk.

"Mulai sekarang, lembur di mulai tiga hari menjelang akhir bulan, dan section head setiap devisi harus tetap berada di kantor, sampai proses selesai," ucap Pak Ryan.

"Untuk tim marketing, tolong di optimalkan kinerjanya, target masih belum dilampaui. Harus ada progres dibanding bulan sebelumnya, paham?"

"Siap, Pak," jawab para supervisor itu.

"Tim operation dan finance, di mohon support nya, dan section head wajib mengawal dan bertanggung jawab penuh pada timnya."

"Baik, Pak," jawabku dan Friska serempak.

"Itu saja, jadi tolong dimaksimalkan waktu yang tersisa."

"Berarti untuk kosumsi karyawan lembur, apa juga bisa dikeluarkan mulai hari ini pak?" tanya Friska.

"Iya," jawab Pak Ryan singkat. "Kamu buat proposalnya! pengajuan hanya sampai kepala cabang saja," perintahnya padaku.

"Baik, pak," jawabku mengerti.

Kami keluar bersamaan selepas meeting dadakan ini selesai.

"Yah, nggak jadi nongki-nongki kita," ucap Friska sambil mengapit tanganku.

"Iyah," ucapku kecewa. 

"Semangat bu ibu, tim marketing tambah semangat kalau di tungguin dua section head cantik-cantik gini," goda Mas Reza.

"Bapak-bapak emangnya gak seneng juga?"

Para supervisor itu hanya tertawa mendengar Friska.

Huff, aku harus mencari waktu yang tepat lagi. Tak mungkin awal bulan, kami akan sibuk dengan laporan. Dan aku, minggu depan harus ke Bali. Kugaruk kepalaku yang tak gatal. Perlu waktu dan suasana yang bagus untuk membicarakan hal ini pada Friska.

Baru aku mendudukan pantatku di kursi kerja, teleponku berdering. Pak Ryan menunggu proposal pengajuan dana lembur sekarang, karena dia mau keluar. Baru duduk juga. Untung aku punya file nya, tinggal copy paste dan mengganti tanggal saja. Kulepas sepatu tinggiku, berganti sepatu model flat, yang kusimpan di bawah mejaku.

Kembali menaiki anak tangga, entah untuk yang keberapa hari ini. 

"Langsung kamu berikan, ke Friska!" perintahnya setelah menanda tangani proposal itu.

"Baik, Pak," jawabku.

"Aku mau keluar, nggak lama. Jam setengah limaan aku sudah balik kantor. Kalau ada yang penting, hubungi saja," jelasnya. Aku hanya menganggukkan kepala dan pamit kemudian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status