“Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng … silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar … kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A … apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp
“Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis … temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa
“Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un
Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana … Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”
Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S
"Kay, kenalin Mas Dipta calon suamiku." Aku meletakkan ponsel yang sedari tadi menyita perhatian dan mendongak ke arah calon suami Friska sahabatku. Aku bangun dan mengulurkan tangan, tapi, sesaat kemudian aku dibuat tertegun. Hal yang sama tampak padanya. Pria itu terkesiap saat melihatku. "Kalian kenapa? kayak kaget gitu?" tanya Friska heran. Senyum aku paksakan sambil mengatur rasa hati, Pradipta Raka Wibawa namanya. Pria yang tujuh tahun lalu menjadi suamiku. "Kayana," ucapku pelan. "Dipta, Pradipta," balasnya. Segera kutarik tanganku berlahan. Friska kemudian bergelayut manja di tangan pria itu. "Kami memang belum lama kenal, tapi karena sudah merasa cocok, ya kami putuskan segera menikah saja," jelas Friska padaku. "Ya, lebih baik begitu." Responku, masih tetap mencoba tersenyum. "Saiy, aku ada urusan lain. Aku duluan nggak apa-apakan. Sampai ketemu hari senin ya." Aku mencium pipi kanan kiri Friska, tanpa menunggu jawabanya aku
"Lantainya licin, Kay terpeleset hampir jatuh," jelas Mas Dipta. Friska melihat ke sekitar, lantai memang basah bekas jejak sepatu. Terlihat Burhan datang dengan alat pel dan ember. "Hati-hati," ucap Friska kemudian. Aku memaksa senyumku. "Mat, antar mbak ke mobil!" seruku saat melihat Rahmat. Security yang kucari sedari tadi. Pelan kaki melewati lantai yang baru akan dibersihkan Burhan itu. "Aku duluan, ya," pamitku lagi ke Friska. "Hati-hati," pesannya lagi. Sekilas ku melihat ke arah Mas Dipta yang belum melepas pandanganya dariku. Rahmat mengantarku sampai di mobil, walau masih sedikit basah juga saking derasnya hujan. "Makasih Mat, besok ya," ucapku sebelum membuka pintu mobil. "Iya Mba Kay, kayak apa aja. Hati-hati mba, jalanan licin," pesannya padaku. "Makasih ya, duluan," pamitku lagi. Pelan kulajukan mobil menembus derasnya hujan. Kacau sekali hatiku saat ini, mencoba tetap tenang karena masih di jalan. Sampai di rumah, hujan juga
Mataku sulit sekali terpejam, pikiranku kacau. Aku bangun beranjak ke meja kerjaku menyalakan laptop, mengalihkan ke pekerjaan mungkin bisa membantu. Tapi, ternyata kepalaku semakin pusing. Bayangan pria itu kembali hadir mengusik pikiranku. Mengingatkan aku kembali pada luka itu. Kenapa harus Friska, kenapa harus sahabatku. Tapi dia berhak tau tentang masa lalu antara aku dan Mas Dipta, masalah dia tetap melanjutkan hubungan atau tidak itu urusan nanti. Mas Dipta sendiri juga sepertinya menutupi semuanya. Bagaimana rasanya melihat pria yang pernah di cintai, kemudian pergi dengan meninggalkan luka, sekarang kembali datang dengan status calon suami orang terdekat kita, rasanya ... sungguh luar biasa sakitnya. Susah payah aku mengeringkan lukaku, mengubur masa lalu dan segala kenangan tentangnya. Dan juga kenyataan bahwa hanya dia pria yang pernah aku cintai, sampai detik ini. Aku memang trauma mencinta, tapi aku tak bisa membohongi rasa dan diriku sendiri bahwa masih