"Ini materi training program baru yang akan segera di luncurkan, kamu pelajari dulu. Awal bulan kita meeting, kamu yang sampaikan materinya pada karyawan lain," ucap Pak Ryan, memberikan beberapa bandel buku pedoman.
"Baik, Pak," jawabku"Tiketnya sudah dipesankan?""Sudah Pak, saya emailkan sebentar lagi," jawabku."Kamu kirim ke nomor W* saya saja," perintahnya."Baik Pak, ada lagi?" tanyaku kemudian."Temani saya makan siang nanti, ada Pak Restu dari kantor pusat bersama beberapa manager datang ke cabang," ucapnya."Friska dan Hani juga pak?" "Kamu saja," jawabnya kemudian. Aku kembali mengangguk. Biasanya kami bertiga yang ikut menemani, saat ada tamu dari pusat. Banyak yang berbeda sekarang, meski baru tiga bulan mengantikan BM yang lama, banyak perbaikan di semua lini. Mungkin karena masih muda ambisi dan semangatnya masih besar.Setelah memastikan tak ada hal lainnya aku pamit dan berajak keluar. Menuruni pelan anak tangga, sekalian aku menyapa anggota timku yang tengah bekerja. Tim operation memang lebih loyal dan bertanggung jawab anak-anaknya, sedikit berbeda dengan tim Friska.Materi training yang tadi diberikan, kuletakkan di atas meja, kemudian menarik kursi dan menghempaskan pantatku pelan. Kunyalakan monitor didepanku, dan mengambil ponsel di laciku. Tanganku mengusap layar benda pipih di genggamanku. Membuka sebuah aplikasi pesan. Ini pertama kali aku berbagi pesan dengan Pak Ryan.Profil nya hanya sebuah kalimat mutiara. Aku menggirimkan tiket elektronik yang dia minta barusan. Setelah menunggu beberapa saat baru ada balasan singkat, ok. Kuletakkan benda pipih itu dan kembali pada pekerjaanku.Dering suara telepon mengagetkanku yang tengah larut dalam pekerjaanku. Telepon dari Pak Ryan yang memintaku bersiap dan segera turun. Kulirik jam di ponselku, baru jam sebeles lewat tigapuluh. Gegasku rapikan mejaku dan juga diriku, menambahkan sedikit riasan wajah walau belum pudar. Memasukkan ponsel kedalam tas kemudian beranjak keuar ruangan. "Sudah ditunggu Pak Ryan di mobilnya," ucap Andi salah satu security saat melihatku keluar dari lobby. Aku mengangguk pelan dan kembali mengayunkan langkahku ke sebuah mobil pajero sport yang terparkir di sisi kiri gedung. Terlihat Pak Ryan sudah berada di dalam mobilnya. Kubuka pintu mobil belakang dan kemudian naik."Apa saya seperti sopir taksi online?" tanyanya saat aku mulai duduk. "Duduk di depan," lanjutnya. Aku segera kembali turun dan pindah kedepan. Mobil melaju pelan keluar dari area kantor. Kami sama-sama diam untuk beberapa saat, entah kenapa aku jadi tegang berada di samping sosok dingin ini. Kuedarkan pandanganku keluar jendela, menatapi barisan bangunan disisi kiri jalan.Mobil mulai memasuki area sebuah hotel, sampai mobil berhentipun tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Aku mengekori langkahnya, menuju ke lift selepas memasuki lobby hotel. Lift membawa kami ke tempat paling tinggi di bangunan ini. Seorang pelayan menyambut kami, dan mengantarkan kami ke meja private room yang sudah dipesan. Masih tampak sepi, sepertinya baru kami berdua yang datang. Aku berdiri menghadap kejendela, menebar pandanganku keluar gedung. "Sudah berapa lama bergabung di perusahaan ini?" tanya Pak Ryan yang berdiri disampingku."Hampir empat tahun, Pak," jawabku sedikit menoleh ke arahnya."Asli orang sini?""Bukan, saya pendatang," jawabku lagi.Walau terkesan basa basi obrolan kami berlanjut dan mulai sedikit mencair sampai Pak Restu dan yang lainnya datang. Mereka menginap di hotel ini ternyata."Kayana, apa kabar?" Pak Restu tersenyum, aku menyambut tangannya yang terulur."Baik, pak," jawabku dengan senyum tersungging di bibir. Aku sedikit mundur saat pria itu akan memelukku. Pria itu memang seperti itu, Pak Ryan yang disamping sepertinya mengerti kondisiku. Dia langsung sedikit menggeserku, aku lanjutkan bersalaman dengan para manager lainnya."Kay, kamu terlihat semakin cantik," ucap Pak Restu, selepas kami acara makan siang selesai. Kami memang duduk bersisian, sebenarnya sedikit risih karena mulai datang dia terus memperhatikanku. Biasanya aku tak sendiri, jadi dia tak terlalu fokos padaku. Semua sudah tau kegajenan pria itu.Aku hanya sedikit tersenyum menanggapinya, pandanganku beralih ke Pak Ryan yang sedari tadi juga memperhatikanku. 'Pak, ayo sudah, balik kantor' ucapku dalam hati. Mataku terus menatapnya semoga dia mengerti. Wajah itu sedikit diturunkannya seperti mengangguk, aku membalasnya."Pak, kami harus kembali ke kantor, maklum akhir bulan kan," pamit Pak Ryan kemudian.Aku segera berdiri, dan ikut berpamitan. "Maaf," ucap Pak Ryan saat kami berada di dalam lift."Maaf untuk apa?" "Kamu nggak nyaman ya?""Iya, Pak Rizal biasanya mengajak Friska dan Hani juga. Pak Anzar juga selalu ikut," jawabku."Bapak seperti orang baru saja, tak mengenal siapa Pak Restu," lanjutku."Aku memang orang baru, wajar aku tak tau," jawabnya, sudah tak memakai kata saya lagi sebagai panggilan.Pembicaraan kami berhenti saat lift sudah sampai di lobby hotel. Kami keluar dan kembali berjalan bersisian dalam diam. Seperti saat berangkat tak ada sepatah kata pun keluar sampai kami kembali di kantor."Maaf," ucap Pak Ryan sebelum aku keluar dari mobilnya, aku hanya mengangguk pelan.Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S
Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana … Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”
“Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un
“Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis … temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa
“Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng … silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar … kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A … apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp
“Selamat tidur anak papa.”Sebuah kecupan Mas Ryan layangkan di kening Prilly, pria itu baru saja mengangkat tubuh mungil Prilly yang tengah tertidur masuk ke dalam kamar. Seperti yang sudah pria itu janjikan tadi kepada Prilly, mala mini kami membuat tenda di taman dan juga membakar jagung serta daging. Mungkin karena kecapaian dan mengantuk Prilly tertidur lebih dahulu.“Aku lepas dulu tendanya,” ucap Mas Ryan beringsut dari atas tempat tidur.“Besok aja, Mas. Dah malem juga kan, istirahat aja.” Aku mendekati Prilly dan mengecup kening putri kecilku itu kemudian kembali berdiri.“Ya udah … lumayan capek, ngantuk juga.” Mas Ryan terlihat menggeliat kemudian berjalan ke arahku yang lebih dekat dengan pintu. “Tidur,” ucapnya sambil merangkul pundakku.“Huum, ngantuk juga,” timpalku sembari menguap, kantuk mulai mendekapku.“Sayang, kalau bayi gini ikut bobo nggak ya kalau kita tidur?” tanya Mas Ryan saat kami berjalan ke kamar sambil mengusap perut buncitku.Sebuah pertanyaan yang aku