Seminggu berlalu setelah kejadian penemuan jasad Mbah Atim. Pihak kepolisian masih kesulitan untuk mengungkap misteri dan siapa dalang di balik pembunuhan sang penjaga makam tersebut. Di sisi lain, warga Ciboeh mulai kembali beraktivitas setelah beberapa hari mengurung diri di rumah.
Suara azan asar saling bersahutan di langit Ciboeh. Selain sebagai pertanda memasuki waktu salat, nyatanya lantunan tersebut menjadi salah satu pengingat bila warga tak boleh berlama-lama berada di luar rumah.
Para petani tampak tergesa-gesa berjalan di pematang sawah, menarik kerbau tak sabaran sembari sesekali memecutnya dengan tali. Pangkalan kembali sepi dari tukang ojek, yang tersisa hanya kulit kacang dan bungkus rokok. Sementara itu, ibu-ibu berteriak memanggil anak-anak untuk segera pulang ke rumah. Pelototan, jeweran dan pukulan sandal dijadikan senjata untuk menakut-nakuti.
Ciboeh masih terus berbenah meski belum sepenuhnya kembali ke keadaan semula. Nyatanya, ketakutan it
Rojali sontak terkejut dengan pertanyaan barusan. “Saya pulang sendiri, Za. Mungkin kamu salah liat.”“I-iya kali.” Reza menyisir rambut dengan jari, lalu menoleh ke samping. Ia yakin kalau dirinya tak salah lihat, tetapi di sisi lain, tak mungkin juga Rojali berbohong. Aneh.“Tapi ...” Ucapan Rojali menggantung. “... saya merasa kalau motor saya jadi berat pas pulang tadi.”Aep yang mendengarnya seketika mundur dan membelah jarak Rojali dan Reza. Ia berjalan di tengah keduanya, tak bila peduli rokoknya harus jatuh ke genangan air. “Punten, Ustaz,” ucapnya.“Za,” panggil Aep pelan setelah meneguk saliva beberapa kali. “Memang ... bagaimana ciri-ciri orang yang kamu liat tadi?”Reza mengembus napas kuat. Jantungnya mendadak berdebar kencang. “Orang itu ... pake pakaian serba hitam. Tapi ...” Pria berjaket itu menjeda. “... saya tidak
Satu bulan berlalu semenjak kejadian pembunuhan Mbah Atim. Pihak kepolisian terpaksa menutup kasus dengan alasan sulitnya menemukan bukti dan mengungkapkan identitas pelaku. Di sisi lain, warga Desa Ciboeh perlahan menata hidup baru. Aktivitas yang sempat terkendala, mau tak mau kembali digarap. Mereka tak bisa selamanya akan berdiam diri di rumah dan hidup dalam ketakutan. Kehidupan harus tetap berjalan, meski mereka dipaksa berdamai dengan misteri yang sampai saat ini belum menemukan titik terang.Dalam teriknya matahari siang, beberapa truk mulai memasuki gerbang desa, melibas jalan berbatu, melewati perumahan penduduk. Beberapa kali mobil tampak bergoyang, berusaha stabil dan berdamai dengan jalan yang penuh lubang.Aktivitas warga Kampung Cigeutih teralihkan beberapa saat. Para wanita yang tengah berkumpul di teras depan sengaja berpindah ke sisi jalan, menyaksikan bagaimana truk-truk itu kian masuk ke perkampungan. Anak-anak berteriak sembari melambaikan tangan.
Warung milik Euis sudah dijejali para pria sejak pagi. Kopi yang mereka pesan hanya tinggal tersisa ampas hitam. Bakwan, pisang goreng, dan cireng sudah berkali-kali habis diembat, menyisakan beberapa buah gorengan dan minyak menggenang di koran yang dijadikan alas piring. Asap rokok tampak meliuk-liuk seiring dengan obrolan yang kian menghangatkan pagi.“Kalian sudah dengar belum kalau Ustaz Rojali dan si Reza ditemukan pingsan di selokan?” tanya pria berselandang sarung, Mahmud namanya. “Sekarang mereka sedang dirawat di puskesmas.”“Kok bisa, Kang? Bagaimana kejadiannya?” Euis yang tengah menggoreng gorengan lantas mengecilkan kompor. Wajah cemasnya kentara sekali. Saking panik mendengar Rojali kecelakaan, ia sampai tak sadar membawa spatula dan saringan ke kerumunan.“Katanya ... mereka berdua dikejar pocong,” bisik Mahmud, tetapi suaranya masih bisa didengar orang-orang di sekitar warung.“Astagfi
Waktu baru saja menunjukkan pukul empat sore saat Rojali berjalan ke arah teras puskesmas. Itu berarti hampir seharian ia dan Reza berada di tempat ini. Luka yang dialaminya akibat kecelakaan tadi malam memang tak seberapa. Hanya saja, bayangan peristiwa itu masih membekas di ingatan.Beberapa warga silih berganti berkunjung untuk menengok keadaan Rojali dan Reza. Beberapa datang membawa buah dan bingkisan, yang lainnya berkunjung dengan membawa cerita mengenai penampakan pocong Mbah Atim.Di beranda puskemas, beberapa warga sedang berkumpul. Pak Dede, Pak Yayat, Pak Juju, Aep serta dua aparat desa sudah berada di sana sejak setengah jam lalu.Pak Dede dibantu oleh dua aparat desa membantu Reza masuk ke mobil. Saat didudukkan, beberapa kali Reza meringis dan menjerit pelan. Bisa dibilang lukanya lebih parah dibanding Rojali.“Aya-aya wae! (ada-ada saja),” sindir Pak Dede sembari melangkah menuju kursi kemudi. Ia melirik Rojali dengan
Dua hari kemudian, Rojali dan Reza bersiap pergi ke gubuk Mbah Atim. Pukul tiga dini hari, keduanya menjalankan rencana yang telah disusun. Reza bahkan menginap di rumah Rojali agar tak menimbulkan kecurigaan Pak Dede. Berbalut jaket tebal serta senter kecil, keduanya melibas pekatnya jalanan persawahan.Sampai di depan gerbang pemakaman, keduanya menstabilkan napas sesaat. Mata mereka saling berbagi arah, mengawasi keadaan sekitar, takut bila ada warga yang curiga. Saat melihat sekelebat bayangan hitam, Rojali dengan cepat menarik Reza ke balik pepohonan.Rojali memberi tanda agar Reza tak banyak bertanya. Pandangan keduanya lalu tertuju pada sesosok makhluk berkain hitam yang berdiri di ambang gerbang pemakaman.“Itu manusia, Jali,” bisik Reza yang mengamati makhluk itu berlari ke gelapnya pemakaman. Ia bisa tahu saat mengamati kaki sosok itu yang menapak di tanah. “Curiga aing.”Rojali mengangguk, menghempas keringat ya
“Bukannya itu tujuan kita, Za? Saya yakin kalau pria yang kita lihat di gerbang pemakaman tadi masih ada hubungannya dengan orang yang masuk tadi, atau justru orang itu adalah orang yang masuk barusan,” terang Rojali.Reza mengangguk, tetapi masih diam di tempat.“Za,” panggil Rojali sembari menepuk bahu Reza.“Kamu benar, Jali.” Reza mengepalkan tangan, menghempas takut dan ragu. Masalah takut, pasti Rojali merasakan hal yang sama, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah memaksakan diri.Kedua pemuda itu lantas menuruni tangga. Mereka masuk lebih dalam dengan bantuan cahaya senter. Beberapa kali suara lolongan anjing terdengar, dan saat bunyi itu memasuki indra pendengaran, Rojali dan Reza berhenti untuk sesaat, saling menguatkan dan menyemangati lewat tatapan dan anggukan.Sampai di undakan tangga terakhir, mereka dihadapkan pada lorong panjang yang berdinding batu. Tampak rumput dan tanaman liar ikut tumbuh di
Euis masih berkutat dengan makanan yang sedang ia masukkan ke rantang. Setelah siap, ia beranjak ke luar dapur. Sesuai amanat bapaknya, ia diminta untuk mengantar makanan pada Ki Udin, pria tua yang masih memiliki ikatan keluarga sekaligus warga paling sepuh di Desa Ciboeh. Rumahnya hanya berjarak beberapa meter. Kakek tua itu seringkali sakit-sakitan. Usianya mungkin sekitar 80 tahunan. Meski sudah uzur, tetapi daya ingatnya masih tajam, tak pikun seperti orang tua kebanyakan.Matahari mulai meninggi saat Euis izin untuk mengantar makanan. Gadis itu sesekali berhenti untuk menyapa ibu-ibu yang tengah menyapu halaman. Rumah yang ditujunya berada di pinggiran perkampungan, hanya terhalang beberapa rumah lagi. Dari arahnya berjalan, terlihat rumah yang ditempati Rojali yang jaraknya cukup dekat dengan rumah Ki Udin. Hanya saja kediaman ustaz muda itu tampak sepi saat ini.Euis tiba-tiba berhenti saat melihat seorang anak tengah bermain bola di halaman. Cukup lama ia memp
“Apa yang bakal kita lakukan selanjutnya, Jali?” tanya Reza sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Suaranya kecil hampir seperti orang berbisik. “Apa kita harus lapor polisi?”Rojali yang tengah mematut diri di depan cermin yang berada di kamar langsung menyahut, “Yang pasti kita harus mencari informasi lain, Za.”Reza yang tengah berbaring di kursi seketika tersedak. Ia bangun dengan kondisi terbatuk.Rojali keluar kamar dengan tubuh yang dibalut kaus dan celana katun. “Sebaiknya kita jangan lapor ke siapa pun dulu, termasuk polisi dan bapak kamu. Saya takut masalahnya bisa jadi lebih rumit. Kita juga bisa ditanya macam-macam.”Reza mengangguk. “Lalu?”“Kamu masih ingat dengan orang berpakaian hitam sebelum kita masuk ke Mak Lilin?” Rojali ikut duduk di kursi.Reza kembali mengangguk.“Saya pikir orang itu sosok yang masuk ke gubuk tadi. Sejujurnya s