Euis masih berkutat dengan makanan yang sedang ia masukkan ke rantang. Setelah siap, ia beranjak ke luar dapur. Sesuai amanat bapaknya, ia diminta untuk mengantar makanan pada Ki Udin, pria tua yang masih memiliki ikatan keluarga sekaligus warga paling sepuh di Desa Ciboeh. Rumahnya hanya berjarak beberapa meter. Kakek tua itu seringkali sakit-sakitan. Usianya mungkin sekitar 80 tahunan. Meski sudah uzur, tetapi daya ingatnya masih tajam, tak pikun seperti orang tua kebanyakan.
Matahari mulai meninggi saat Euis izin untuk mengantar makanan. Gadis itu sesekali berhenti untuk menyapa ibu-ibu yang tengah menyapu halaman. Rumah yang ditujunya berada di pinggiran perkampungan, hanya terhalang beberapa rumah lagi. Dari arahnya berjalan, terlihat rumah yang ditempati Rojali yang jaraknya cukup dekat dengan rumah Ki Udin. Hanya saja kediaman ustaz muda itu tampak sepi saat ini.
Euis tiba-tiba berhenti saat melihat seorang anak tengah bermain bola di halaman. Cukup lama ia memp
“Apa yang bakal kita lakukan selanjutnya, Jali?” tanya Reza sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Suaranya kecil hampir seperti orang berbisik. “Apa kita harus lapor polisi?”Rojali yang tengah mematut diri di depan cermin yang berada di kamar langsung menyahut, “Yang pasti kita harus mencari informasi lain, Za.”Reza yang tengah berbaring di kursi seketika tersedak. Ia bangun dengan kondisi terbatuk.Rojali keluar kamar dengan tubuh yang dibalut kaus dan celana katun. “Sebaiknya kita jangan lapor ke siapa pun dulu, termasuk polisi dan bapak kamu. Saya takut masalahnya bisa jadi lebih rumit. Kita juga bisa ditanya macam-macam.”Reza mengangguk. “Lalu?”“Kamu masih ingat dengan orang berpakaian hitam sebelum kita masuk ke Mak Lilin?” Rojali ikut duduk di kursi.Reza kembali mengangguk.“Saya pikir orang itu sosok yang masuk ke gubuk tadi. Sejujurnya s
Lima orang pria berseragam serba hitam memasuki lorong panjang dengan bantuan pencahayaan obor. Jejak langkah mereka bersahutan dengan suara burung hantu yang bertengger entah di mana. Kelima wajah pria itu tertutup topeng hitam, di mana sebilah pisau bertengger di pinggang bagian kiri.Lima orang pria itu akhirnya tiba di sebuah ruangan. Atapnya ditutupi rerimbunan tanaman liar. Sisa cahaya bulan terperangkap di sela-selanya. Beberapa batu besar tertancap di sekeliling lokasi. Dinding batu yang mengelilingi mereka ditumbuhi lumut dan beberapa tanaman merambat.“Maneh duaan (Kalian berdua) periksa lorong itu dan laporkan situasinya nanti di markas,” pinta pria yang berdiri paling depan.Dua pria yang berada di pintu lorong seketika mengangguk, lalu mulai memeriksa tempat yang dimaksud.Pria yang memerintah dua orang tadi membuka topeng, menghirup oksigen dengan rakus. Pandangannya lalu menyisir sekeliling ruangan. Senyumnya seke
Note: Chapter berisi Flashback Kejadian Ujang setelah jatuh ke jurangDesa Ciboeh, 1985Seorang wanita berperut buncit baru saja terbangun. Mata sembapnya seketika mengedar ke sekeliling ruangan. Meski agak kesusahan, tangannya berhasil meraih gelas di atas nakas, lantas meneguknya hingga habis.Romlah namanya. Wanita yang tengah mengandung anak pertama hasil pernikahannya dengan sang suami. Memijat belakang perutnya, ia turun dari kasur. Langkahnya tergopoh-gopoh saat menyibak tirai kamar. Seketika pandangannya menggerus isi ruangan. Tak terlihat badan suaminya menempel di kursi seperti kebiasannya beberapa hari lalu.Romlah lalu mengikat rambut dengan karet di tangan. Dengan hati-hati, ia membuka sedikit celah tirai jendela, memandangi halaman rumah yang tampak lengang. Ia harus berperang dengan kegelapan di luar, berharap sang suami pulang membawa delima yang diinginkan. Nahas, hampir setengah jam terpaku di sana, Romlah
Pencarian Ujang dimulai keesokan harinya. Tepat pagi hari setelah matahari mengantarkan sinar hangat, para warga yang terdiri dari pemuda dan pria dewasa mulai menyisir kawasan desa. Terkhusus pencarian ke arah Mak Lilin, warga memilih berkelompok hingga sepuluh orang.“Apa kita izin dulu sama Mbah Atim, Kang?” tanya Asep yang masih berselandangkan sarung. Pandangannya menyisir kawasan gerbang pemakaman.Kelompok pencarian itu masih berjalan melewati gerbang sebelum akhirnya tiba di depan jembatan kayu.“Sebaiknya begitu, Sep,” sahut Mahmud.“Astagfirullah, Kang. Coba lihat!” pekik Cecep tiba-tiba. Telunjuknya terarah pada lubang di tengah jembatan.Asep dan Aep yang merupakan sahabat dekat Ujang langsung berlari ke tengah jembatan. Mereka terkejut ketika salah satu bagian jembatan berlubang. Niatan untuk memberi tahu Mbah Atim lenyap karena diterkam keadaan.“Apa mungkin Ujang jatuh, Sep?” tan
Para pria yang tengah berjaga di pos ronda tiba-tiba bubar setelah hujan turun. Aep adalah salah satunya. Rumahnya yang berada di ujung kampung memaksanya harus bersusah payah berlari dengan berpayung kain sarung. Terlihat sia-sia untuk mengusir air, tetapi hal itulah yang bisa terpikirkan olehnya saat ini.Suasana perkampungan yang Aep lewati tampak begitu sepi. Ia berjalan berjinjit sembari sesekali mengarahkan pandangan pada tiap-tiap pintu rumah yang ia lewati. Waktu memang belum terlalu larut, tetapi ketakutannya sudah merangkak ke ubun-ubun saat tetes hujan berkunjung ke Ciboeh.Banyak cerita yang Aep dengar tentang penampakan sosok itu dari warga saat hujan mengguyur. Tak jarang kisah itu kian menggerogoti keberanian karena sering ditambahi bumbu saat diceritakan dari mulut ke mulut. Meski sudah lama berlalu, nyatanya keangkeran pocong berbalut kain hitam itu tetap menciutkan nyali penduduk desa.Aep merengut kesal. Hujan kian deras menyapa Ciboeh. Terpak
Ilham meneguk kopinya untuk menjeda cerita, membiarkan kedua pemuda di dekatnya mencerna informasi yang baru saja dirinya bagikan.“Lalu sebenarnya apa hubungannya dengan kasus pembunuhan itu, Kang?” tanya Reza yang kini bersandar pada kaki kursi.Ilham mengembus napas panjang. Pandangannya teralih sesaat pada langit-langit ruangan. “Saya akan ceritakan sejarah desa ini dulu, dan setelah kalian mendengar semuanya, kalian akan tahu alasan di balik semua kejadian di desa ini.”Rojali memberi tanda pada Reza untuk diam. Reza mengangguk, tak banyak protes.“Saat warga menemukan rumah sudah kosong, kecurigaan warga pada orang-orang asing itu kian bertambah. Dengan amarah yang kian berkecamuk, warga kembali ke desa dan mengabarkan berita ini ke seluruh penduduk. Pencarian dikerahkan. Namun, usaha warga tampaknya sia-sia. Orang-orang asing itu tak ditemukan di mana pun.Beberapa minggu kemudian, terjadi hujan besar selama ber
Kedatangan Ilham ke Ciboeh nyatanya membuka secarik rahasia yang semula terkunci rapat. Informasi mengenai sejarah desa serta siapa sosok misterius yang penduduk desa panggil sebagai Mbah Atim mulai sedikit terkuak.Masih di kediaman Ki Udin, di tengah hujan yang kian mengganas, dua pemuda itu makin larut dalam informasi yang disampaikan Ilham. Baik Rojali dan Reza sontak berbagi pandangan saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ilham. Rona keterkejutan dengan jelas terpahat di paras mereka.“Alasan kenapa Mbah Atim datang dan menjadi penjaga makam di desa ini tak lain karena permintaan Ki Udin,” jelas Ilham.Pandangan Rojali dan Reza kembali menumbuk. Dua pemuda itu belum mampu bicara. Mulut mereka terbuka, tetapi bibir seakan enggan bicara.“Dan permintaan itu tentunya ada bukan tanpa sebab,” lanjut Ilham, “permintaan itu ada setelah Ki Udin mendengar cerita dari Mbah Atim mengenai sesuatu yang tersembunyi di desa in
Reza pulang ke rumahnya dengan membawa beragam pertanyaan. Seharian ini, pemuda itu menghabiskan waktu di dalam kamar. Masalah bengkel dan toko, ia serahkan pada bawahannya. Ia hanya keluar kamar hanya untuk urusan perut.Sebenarnya, kecurigaan Reza pada Ilham timbul saat ajakan Rojali untuk berjemaah di masjid ditolak pria itu. Ia sedikit tahu bagaimana keluarga Ki Udin. Keluarga itu bisa dibilang taat terhadap perintah agama. Jadi, aneh rasanya kalau Ilham sampai menolak ajakan tersebut. Toh, Ki Udin saat itu sudah dalam kondisi bangun.Lamunan Reza seketika buyar begitu mendengar teriakan bapaknya di pintu kamar. Pak Dede memelotot dengan tangan yang sudah berkacak pinggang. Tak ada raut ramah saat Reza bangkit dari kasur.“Aya naon, Pak?”“Aya naon, aya naon?” sentak Pak Dede, “Bapak panggil dari tadi malah cicing wae (diam aja)! Tuli kamu?”Reza segera duduk di bibir kasur, mengaca