"KAMU MAU BERCERAI?!"
Ah, aku lupa.
Hal lain yang juga sulit adalah menghadapi penghakiman dari sesama manusia.
Matamu, lidahmu, tanganmu, semua akan menjadi saksi.
Siang itu aku datang ke rumah Ibu mertuaku. Kunjungan rutin yang selalu kulakukan selama 6 tahun pernikahanku. Dengan atau tanpa pria itu. Toh lama-lama ia terlalu sibuk untuk menemani kami, jadi kami hanya pergi berdua.
Apakah dari sana mulanya?
Apakah kata-kata sibuk itu hanya sebuah alasan ketika ia meniduri peerempuan lain di tempat asing?
“Mi! Jangan asal bicara! Apa maksudmu? Kenapa tiba-tiba mau bercerai?!”
Mata itu menudingku, menyalahkanku dengan keras. Aku bersyukur putraku tengah bermain dengan tantenya di halaman belakang, jadi ia tidak mendengar perbincangan keras kami.
Atau mungkin ia mendengarnya?
“Jangan suka besar-besarkan masalah, Mi! Coba bicara baik-baik sama suamimu. Cari jalan keluarnya. Jangan mementingkan ego sendiri. Kamu sekarang sudah punya anak. kalian harus bisa menekan ego kalian masing-masing dan tetap bertahan demi anak!”
Oh.
Masuk akal juga, tapi hanya akal sehat mereka, tidak dengan akal sehatku.
"Gimana kalau ternyata Mia punya laki-laki lain yang Mia suka, Bu?"
Tangan Ibu mertuaku sontak terangkat, lalu dalam hitungan detik ia menamparku sangat keras. Wajahnya merah, dadanya mengembuskan napas memburu. Aku khawatir sebentar lagi ia akan pingsan karena serangan jantung, atau aku yang akan mati ditangannya.
"GILA! BERANI-BERANINYA KAMU!"
Aku menyentuh pipiku yang memerah, sengatan nyeri menjalar naik, tapi aku bahkan tidak bisa menangis.
Lagi pula, untuk apa aku menangis? Air mataku sudah menyerap jauh ke dalam kekeringan di hatiku sendiri. Lama sekali kemarau di sana, sampai aku lelah menanti hujan.
“KAMU SUDAH GILA, HAH?!” teriak Ibu gusar.
Tak lama, tergopoh-gopoh pria itu datang berlari setelah melompat keluar dari mobilnya. Ia jelas melihat Ibu yang menamparku dengan sangat keras.
“BU! ASTAGA!” Ia menahan lengan Ibu yang sudah kembali terangkat, siap memberikan tamparan yang lain untukku.
“Diam kamu Abrar! Perempuan ini sudah gila! Bisa-bisanya dia bilang mau cerai dari kamu karena punya laki-laki lain! Dasar perempuan murahan!”
Pria itu langsung menoleh kepadaku, tampak sangat terkejut.
"Sudah, Bu, sudah, nanti kita bicarain lagi. Sudah Ibu tenang dulu." Ia menenangkan ibunya, membawa wanita itu kembali duduk dan menurunkan tangan, tapi aku bisa melihat wajahnya masih memerah dipenuhi napsu membunuh.
Ah.
Aku jadi tenang.
Pria itu menoleh sekilas ke arahku. "Kita akan bicarain ini nanti," katanya kepada sang Ibu, tapi kutau itu ditujukan kepadaku.
Lalu aku harus menurut?
Tidak.
Kenapa aku harus menuruti kata-katanya?
“Mia minta maaf, Bu. Tapi Mia akan tetap bercerai dari Mas Abrar. Ini bukan karena Mia punya laki-laki lain. Tapi karena ada perempuan lain yang sudah dihamili Mas Abrar.”
Dan wajah ibu memucat seketika.
***
"KAMU SUDAH GILA?! KENAPA KAMU BILANG KE IBU?!"
Aku memiringkan kepalaku, bertanya dengan polos. "Kenapa?"
"KENAPA?! KAMU TANYA KENAPA?! IBU BISA SAKIT! KAMU MASIH TANYA KENAPA?! GIMANA KALAU SAKIT JANTUNGNYA KAMBUH?! GIMANA KALAU IBU KEPIKIRAN SOAL MASALAH INI?!"
"Kenapa?" ulangku sekali lagi.
Wajah pria itu menghitam karena terlalu marah.
“Kenapa kamu berselingkuh, Mas?” tanyaku datar.
Dan ia membatu seketika.
Itu selalu menjadi pertanyaan yang membuatku terjaga setiap malam. Kenapa? Di mana letak kesalahannya? Bukankah kami memiliki keluarga kecil yang sempurna? Tapi mengapa pria itu berselingkuh dariku?
"Kamu bilang kasihan Andra kalau kita bercerai. Kamu bilang apa aku nggak mikirin masa depan Andra kalau kita bercerai. Tapi kalau aku tanya balik ke kamu, apa kamu nggak mikirin Andra waktu kamu tiduri wanita itu?"
PLAK!
Tamparan lagi.
Dia yang salah, dan dia yang menampar.
Apa dia benar-benar pria yang kunikahi beberapa tahun yang lalu? Mengapa sosoknya kini sangat berbeda? Sejak kapan ia berubah?
Hidupku hancur.
Karirku yang tidak seberapa berantakan.
Keluargaku runtuh.
Dan yang terburuk, putraku akan terluka.
Ah, banyak sekali hal negatif yang kudapati dari perceraian.
Tapi apakah itu menjadi salahku?
Apakah itu salahku jika meminta cerai setelah seorang wanita menghubungiku dan mengatakan ia dihamili suamiku? Lalu, tanpa diminta ia juga menyertakan foto-foto suamiku terlelap bersamanya tanpa busana.
Foto yang diambil olehnya diam-diam, untuk disebar secara terang-terangan, kepadaku, istri sah pria itu.
"Kami saling mencintai."
Itu kelanjutan pesannya.
Dan jika mereka saling mencintai, rasa apakah yang tertinggal untukku dan putraku sekarang? Kau tidak bisa mencintai semua manusia di muka bumi ini dengan besaran cinta yang sama, bukan?
Lalu, apakah ini menjadi salahku jika menyerah?
Untuk beberapa waktu, aku benar-benar tidak bisa menulis apa pun. Aku mengabaikan semua telepon yang masuk dari Lina, atau telepon dari pria yang sudah kuusir itu.
Ya, aku mengusirnya. Aku membereskan semua barang-barangnya lalu mengirimkan ke kantor. Memintanya tidak pernah kembali ke rumah.
Ia marah besar. Datang mengamuk ke rumah dengan koper yang dibanting tepat di depan mataku. Lalu ia mulai memaki, membanting apapun, mengancam akan merebut anakku, dan bahkan mengancam akan membunuhku.
Aku hanya terdiam di depannya. Tidak ada gunanya membuka suara sekarang. Ia hanya memiliki mulut tanpa telinga. Ia akan terus berbicara tapi takkan bisa mendengar.
Ketika kemarahannya sedikit tersalurkan, dan ia berhenti berteriak.
Aku berdiri menghadapinya, "Kamu, kalau sekarang aku hamil sama laki-laki lain, apa kamu akan maafin aku?"
Dan wajahnya mulai membiru.
***
“Percayalah, kau tidak akan mendapatkan ujian diluar batas kemampuanmu.”Aku ingin mempercayai kata-kata itu, dan meyakini diriku sendiri bahwa aku bisa melaluinya, meski dengan hati tercabik, dan jiwa yang patah.“Tolong, Mi, tolong jangan bercerai dengan Abrar, Ibu mohon, demi Ibu.”Ibu mertuaku menangis tersedu-sedu di hadapanku, memohon sambil menggenggam jemariku dengan sangat erat. Seakan ia baru saja melakukan kesalahan yang sangat besar.“Ibu minta maaf. Ibu minta maaf atas nama Abrar, Ibu minta maaf karena nggak bisa mendidik dia dengan baik sampai dia begini sama kamu. Ibu minta maaf, Mi. Tapi tolong jangan bercerai. Ibu akan menegur Abrar dan meminta dia meninggalkan perempuan itu. Ibu janji. Tapi tolong jangan bercerai.”Orang yang melihat adegan itu akan beranggapan betapa aku adalah menantu jahat yang dingin. Wanita tua itu hampir bersimpuh di kakiku, tapi tak ada emosi yang tertinggal di w
“Mi, aku mohon, tolong jangan pergi dariku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu dan Andra. Tolong pikirkan lagi. Aku khilaf. Aku minta maaf.”Kata-kata itu lagi. Entah sudah berapa kali aku mendengar kata-kata yang sama. Namun, tidak sekalipun kata-kata itu menyentuh hatiku. Mungkin karena aku tau, tidak peduli sebanyak apa ia meminta maaf dan memintaku bertahan, kehidupan kami tidak akan pernah kembali seperti dulu.Sebenarnya apa arti kebahagiaan?Mengapa orang-orang sangat sibuk menunjukkan kebahagiaan mereka? Seakan kebahagiaan mereka tidak berati tanpa pengakuan dari orang lain.Foto yang terunggah,Cerita yang terdengar,Bahkan, senyuman lebar yang terlihat di dalam setiap rekaman memori itu, semua hanya menanti satu hal, yaitu pengakuan.Setiap foto yang diambil selalu memiliki maksud tertentu.Dan percayalah, maksud terbesarnya adalah untuk memamerkan apa yang ia miliki dan tidak kita miliki.Sesederhana
“Mana anakku?”Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling menyeramkan bagi seorang ibu. Jangan salah paham. Aku bukan wanita pengecut. Namun, ketika pertanyaan itu terlontar, maka artinya jiwaku tak lagi berada di tempatnya.Suara di sebrang sana terdengar gugup. “Andra baik-baik aja, kamu nggak perlu khawatir.”“Kamu culik dia?”“Demi Tuhan, Mi, dia juga anakku! Apa aku nggak boleh jemput dia pulang dari sekolahnya?”Aku bergeming. Mataku masih nanar menatap gedung sekolah putraku yang mulai sunyi. Satu persatu anak dijemput oleh wali mereka masing-masing. Dan putraku tidak ada di antaranya.“Aku nggak akan pernah sakiti anakku sendiri, Mia!” bentak pria itu, padahal aku tidak mengatakan apa pun.Namun, nyatanya, ia sudah melukai putranya.Perselingkuhannya, itu sangat melukai Andra, apakah ia tidak pernah berpikir seperti itu?“Di mana anakku?” t
“Andra kecelakaan.”Bagai petir di siang bolong. Aku mendengar kabar itu di hari yang terlalu tenang untuk sebuah musibah. Namun, aku lupa, musibah tidak selalu membutuhkan langit yang mendung untuk mengundangnya datang.Justru, musibah lah yang membuat langit cerah mendadak mendung di langitmu, tapi tidak di langit orang lain.Ketika aku sampai di rumah sakit. Orang-orang sudah berkumpul di tempat itu. Pihak sekolah putraku, pria itu, Ibu mertuaku, bahkan Lina. Seakan mereka sudah siap di sana, bahkan sebelum kecelakaan itu terjadi.Aku ingin bertanya apa yang terjadi. Bukankah seharusnya itu pertanyaan pertama yang akan kau ajukkan? Tapi kemudian aku mundur. Apa gunanya? Untuk apa aku bertanya tentang yang sudah terjadi? Bukankah itu hanya akan semakin menyakitiku?Seorang perawat keluar tidak lama setelah kedatanganku.“Keluarga Andra,” panggilnya. Aku maju, sebagai ibunya, dan pria itu maju sebagai a
Operasi pertama tetap dilakukan, meski tanpa jawabanku atas permintaannya. Kalau aku menganggap itu satu-satunya kebaikan yang tersisa darinya, maka aku sudah gila, mereka sudah gila!Ini anaknya! Bagaimana mungkin dia bisa diam saja ketika anaknya hampir mati? Bahkan binatang buas akan tetap melindungi anak mereka.Tamu lain yang mendatangiku diam-diam di rumah sakit adalah guru sekolah Andra. Silvia, gadis muda yang biasanya menyapa murid-murid seriang mentari pagi di pintu masuk sekolah. Kebiasaan yang mereka adaptasi dari sekolah di luar negeri.Ia tampak ketakutan melihatku, seakan aku akan melahapnya dalam sekali suapan.Kemarin ia sudah datang bersama kepala sekolah putraku, mengucapkan bela sungkawa, dan menyerahkan sebuah amplop yang tak pernah kubuka. Mungkin mereka takut aku menuntut, karena kejadian itu terjadi tepat di lingkungan sekolah dan di jam istirahat.Mudah saja, mereka lalai, atau anakku terlalu lincah.Aku menatap guru
Jika kau berpikir kau adalah wanita yang lemah, tunggulah sampai kau menjadi seorang ibu. Terlebih menjadi ibu dengan ancaman kematian sang anak. Saat itu, kau bahkan bisa menyelami dalamnya lautan jika ingin.Pukul 8 pagi, aku berdiri di ambang pintu ruang rawat inap putraku setelah dokter melakukan kunjungan rutin untuk memeriksa Andra. Ibu datang sesaat sebelum kedatangan dokter. Ia bersamaku ketika dokter menjelaskan keadaan Andra.Mereka mencoba menyambungkan tulang yang patah, mencoba menjahit kembali pembuluh darah yang putus, mencoba memperbaiki jaringan kulit yang koyak, tapi itu akan tetap meninggalkan luka. Kejadian kemarin akan menjadi trauma menakutkan untuk putra kecilku. Dan ibu mana pun tidak akan berbesar hati begitu saja menerima keadaan itu.Andra harus berada di rumah sakit selama beberapa hari lagi, menunggu dokter puas mengobservasinya, atau menunggu tagihan rumah sakit mulai tak bisa tercover asuransi dan uang pria itu lagi.Aku men
Percayalah. Kalau kau pikir aku adalah wanita yang tegar. Maka kau salah sepenuhnya.Sangat salah.Kebencian itu memang menguatkanku. Namun ketika aku melihat tangis diam-diam putraku di atas bantal rumah sakit setelah semua tamu pergi, hatiku patah berantakan.Tadi, dengan kejinya, pria itu mengatakan bahwa gadis itu akan menjadi ibu baru putraku. Apa dia pikir anaknya b*doh? Atau ia yang terlalu t*lol untuk menyadari perubahan ekspresi putraku?Aku muak.Aku membenci mereka semua.Tapi apapun yang mereka lakukan tidak akan menyakitiku, sampai mereka menyentuh putraku.Andra menutupi wajahnya dengan bantal saat mendengar aku menutup pintu di belakang punggungku. Ia tengah berpura-pura tidur, padahal sesekali bahunya masih terentak karena isak tangis.Aku menarik kursi di samping ranjangnya. Kini hanya tinggal kami berdua. Apakah seharusnya tetap begitu? Apakah kami memang ditakdirkan hanya untuk hidup berdua saja?&ldqu
Jangan pernah sombong dengan apa yang kau miliki sekarang.Jangan pernah.Jangan sekali pun.Karena dahulu kala ada seorang gadis yang kukenal. Ia begitu bahagia menunjukan pencapaiannya.Ia terlahir dari keluarga miskin, dan bertambah semakin miskin dari hari ke hari. Lalu ketika suatu hari ia bisa memakan sepotong roti segar setelah berhari-hari sebelumnya memakan roti berjamur, ia mulai memamerkan kebahagiaan itu kepada orang lain.Ia begitu pemalu. Jangankan bermimpi untuk memiliki anak, untuk berhubungan dengan orang lain saja rasanya sangat sulit. Tapi kemudian Tuhan mempertemukannya dengan seorang pria yang cukup baik, dan menikah, memiliki anak tampan yang pintar, ia kembali memamerkannya.Suami yang baik.Anak yang pintar.Kehidupan yang sempurna.Dengan angkuh ia memamerkan semua itu di hadapan semua orang. Menceritakan betapa dulu ia hidup tertatih-tatih dalam balutan luka dan kemiskinan, tapi kini segala jeri