Share

BAB 3

"KAMU MAU BERCERAI?!"

Ah, aku lupa.

Hal lain yang juga sulit adalah menghadapi penghakiman dari sesama manusia.

Matamu, lidahmu, tanganmu, semua akan menjadi saksi.

Siang itu aku datang ke rumah Ibu mertuaku. Kunjungan rutin yang selalu kulakukan selama 6 tahun pernikahanku. Dengan atau tanpa pria itu. Toh lama-lama ia terlalu sibuk untuk menemani kami, jadi kami hanya pergi berdua.

Apakah dari sana mulanya?

Apakah kata-kata sibuk itu hanya sebuah alasan ketika ia meniduri peerempuan lain di tempat asing?

“Mi! Jangan asal bicara! Apa maksudmu? Kenapa tiba-tiba mau bercerai?!”

Mata itu menudingku, menyalahkanku dengan keras. Aku bersyukur putraku tengah bermain dengan tantenya di halaman belakang, jadi ia tidak mendengar perbincangan keras kami.

Atau mungkin ia mendengarnya?

“Jangan suka besar-besarkan masalah, Mi! Coba bicara baik-baik sama suamimu. Cari jalan keluarnya. Jangan mementingkan ego sendiri. Kamu sekarang sudah punya anak. kalian harus bisa menekan ego kalian masing-masing dan tetap bertahan demi anak!”

Oh.

Masuk akal juga, tapi hanya akal sehat mereka, tidak dengan akal sehatku.

"Gimana kalau ternyata Mia punya laki-laki lain yang Mia suka, Bu?"

Tangan Ibu mertuaku sontak terangkat, lalu dalam hitungan detik ia menamparku sangat keras. Wajahnya merah, dadanya mengembuskan napas memburu. Aku khawatir sebentar lagi ia akan pingsan karena serangan jantung, atau aku yang akan mati ditangannya.

"GILA! BERANI-BERANINYA KAMU!"

Aku menyentuh pipiku yang memerah, sengatan nyeri menjalar naik, tapi aku bahkan tidak bisa menangis.

Lagi pula, untuk apa aku menangis? Air mataku sudah menyerap jauh ke dalam kekeringan di hatiku sendiri. Lama sekali kemarau di sana, sampai aku lelah menanti hujan.

“KAMU SUDAH GILA, HAH?!” teriak Ibu gusar.

Tak lama, tergopoh-gopoh pria itu datang berlari setelah melompat keluar dari mobilnya. Ia jelas melihat Ibu yang menamparku dengan sangat keras.

“BU! ASTAGA!” Ia menahan lengan Ibu yang sudah kembali terangkat, siap memberikan tamparan yang lain untukku.

            “Diam kamu Abrar! Perempuan ini sudah gila! Bisa-bisanya dia bilang mau cerai dari kamu karena punya laki-laki lain! Dasar perempuan murahan!”

Pria itu langsung menoleh kepadaku, tampak sangat terkejut.

"Sudah, Bu, sudah, nanti kita bicarain lagi. Sudah Ibu tenang dulu." Ia menenangkan ibunya, membawa wanita itu kembali duduk dan menurunkan tangan, tapi aku bisa melihat wajahnya masih memerah dipenuhi napsu membunuh.

Ah.

Aku jadi tenang.

Pria itu menoleh sekilas ke arahku. "Kita akan bicarain ini nanti," katanya kepada sang Ibu, tapi kutau itu ditujukan kepadaku.

Lalu aku harus menurut?

Tidak.

Kenapa aku harus menuruti kata-katanya?

“Mia minta maaf, Bu. Tapi Mia akan tetap bercerai dari Mas Abrar. Ini bukan karena Mia punya laki-laki lain. Tapi karena ada perempuan lain yang sudah dihamili Mas Abrar.”

Dan wajah ibu memucat seketika.

***

"KAMU SUDAH GILA?! KENAPA KAMU BILANG KE IBU?!"

Aku memiringkan kepalaku, bertanya dengan polos. "Kenapa?"

"KENAPA?! KAMU TANYA KENAPA?! IBU BISA SAKIT! KAMU MASIH TANYA KENAPA?! GIMANA KALAU SAKIT JANTUNGNYA KAMBUH?! GIMANA KALAU IBU KEPIKIRAN SOAL MASALAH INI?!"

"Kenapa?" ulangku sekali lagi.

Wajah pria itu menghitam karena terlalu marah.

“Kenapa kamu berselingkuh, Mas?” tanyaku datar.

Dan ia membatu seketika.

Itu selalu menjadi pertanyaan yang membuatku terjaga setiap malam. Kenapa? Di mana letak kesalahannya? Bukankah kami memiliki keluarga kecil yang sempurna? Tapi mengapa pria itu berselingkuh dariku?

"Kamu bilang kasihan Andra kalau kita bercerai. Kamu bilang apa aku nggak mikirin masa depan Andra kalau kita bercerai. Tapi kalau aku tanya balik ke kamu, apa kamu nggak mikirin Andra waktu kamu tiduri wanita itu?"

PLAK!

Tamparan lagi.

Dia yang salah, dan dia yang menampar.

Apa dia benar-benar pria yang kunikahi beberapa tahun yang lalu? Mengapa sosoknya kini sangat berbeda? Sejak kapan ia berubah?

Hidupku hancur.

Karirku yang tidak seberapa berantakan.

Keluargaku runtuh.

Dan yang terburuk, putraku akan terluka.

Ah, banyak sekali hal negatif yang kudapati dari perceraian.

Tapi apakah itu menjadi salahku?

Apakah itu salahku jika meminta cerai setelah seorang wanita menghubungiku dan mengatakan ia dihamili suamiku? Lalu, tanpa diminta ia juga menyertakan foto-foto suamiku terlelap bersamanya tanpa busana.

Foto yang diambil olehnya diam-diam, untuk disebar secara terang-terangan, kepadaku, istri sah pria itu.

"Kami saling mencintai."

Itu kelanjutan pesannya.

Dan jika mereka saling mencintai, rasa apakah yang tertinggal untukku dan putraku sekarang? Kau tidak bisa mencintai semua manusia di muka bumi ini dengan besaran cinta yang sama, bukan?

Lalu, apakah ini menjadi salahku jika menyerah?

Untuk beberapa waktu, aku benar-benar tidak bisa menulis apa pun. Aku mengabaikan semua telepon yang masuk dari Lina, atau telepon dari pria yang sudah kuusir itu.

Ya, aku mengusirnya. Aku membereskan semua barang-barangnya lalu mengirimkan ke kantor. Memintanya tidak pernah kembali ke rumah.

Ia marah besar. Datang mengamuk ke rumah dengan koper yang dibanting tepat di depan mataku. Lalu ia mulai memaki, membanting apapun, mengancam akan merebut anakku, dan bahkan mengancam akan membunuhku.

Aku hanya terdiam di depannya. Tidak ada gunanya membuka suara sekarang. Ia hanya memiliki mulut tanpa telinga. Ia akan terus berbicara tapi takkan bisa mendengar.

Ketika kemarahannya sedikit tersalurkan, dan ia berhenti berteriak.

Aku berdiri menghadapinya, "Kamu, kalau sekarang aku hamil sama laki-laki lain, apa kamu akan maafin aku?"

Dan wajahnya mulai membiru.

***

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ngebacotnya kebanyakan dlm hati. kena gampang banget msin gampar cerita ksu nyet dan yg digampar g bereaksi apa2. apa kulitnya tebal melebihi kulit badak. kurangi kdrt nya njing.
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
jdjdjdjdjjdidkdkdkd
goodnovel comment avatar
M Arkanudin
berlianku habis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status