"Ayo kita bercerai." Miranda tau, harusnya ia mengatakan hal itu sejak dulu. Tidak, seharusnya sejak awal ia tidak pernah menerima uluran tangan pria itu sama sekali.
View More“Kayaknya kita nggak bisa lanjut lagi. Ayo kita bercerai, Mas.”
“Mi! Apa maksud kamu?! Ini pernikahaan! Kamu sudah gila?! Kita bukan anak ABG Yang bisa putus nyambung! Dan kita juga sudah punya Andra! Mana bisa kita cerai begitu aja?”
Dia benar.
Apa yang sebenarnya kupikirkan?
Mengapa aku sesembrono ini? Aku pasti sudah gila.
Tapi, harus bagaimana lagi aku menyikapi semua hal yang begitu berbelit di kepalaku?
“Ayo kita bicara baik-baik. Ada apa? Kenapa kamu begini? Aku perhatiin sudah seminggu kamu kaya gini. Ada apa, Mi? kasihan Andra kalau kamu begini terus.”
Ah, benar juga. Kasihan anakku, bukan aku.
Apa yang sebenarnya kuharapkan?
“Kenapa? Kamu lagi capek? Kamu butuh me time? Silakan, aku akan jaga Andra. Kamu bisa beristirahat sebanyak yang kamu mau, Mi. Asal jangan bicara yang aneh-aneh lagi.”
Dia meminta dengan nada perhatian.
Itu membuatku semakin bungkam. Dari mana harus kumulai? Benang mana yang harus kutarik lebih dulu untuk mengurai kusut?
Kisah mana yang harus kujadikan prolog agar semua membaik dan aku bisa berdamai dengan hatiku sendiri?
Tapi, apakah semuanya akan baik-baik saja?
Apakah bisa membaik, setelah semua yang terjadi?
Tangan pria itu menyentuh jemariku di atas meja, membelainya lembut, seakan ia memiliki jutaan cinta yang tak pernah berkurang.
“Ayo, Sayang, cerita.”
Panggilan sayang itu tak lagi memiliki arti. Padahal beberapa tahun yang lalu, aku sangat menyukainya. Ucapan sayangnya selalu membuat jantungku berdebar dan tersipu malu.
Tapi toh kami sekarang kami sudah menua. Lambat laun cinta akan luntur. Lalu kau akan memasuki fase tenang yang membosankan. Perlahan-lahan percikan-percikan api asmara dengan debar tak karuan itu akan menghilang terlalap usia. Begitu, kan?
Kecuali, kalau kau menemukan cinta yang baru, yang segar.
Aku menatapnya dengan pandangan kosong. Tangannya di atas jemariku tak lagi memberikan kehangatan seperti dulu. Mengapa aku tidak menyadari bahwa di mata itu sudah tidak ada percikan yang sama? Sejak kapan tepatnya?
Padahal dulu, setiap mata kami saling bertaut, dunia seakan berubah menjadi surga yang tak lagi dihuni orang lain. Hanya ada aku dan dia.
Tapi sekarang semua berbeda.
Apakah kami telah memasuki masa jenuh dalam pernikahan?
6 tahun berlalu, dan kami menua. Apakah rasa cinta kami juga memudar? Seharusnya aku menyadari sejak awal, karena daun pun akan menguning terlalap musim.
“Sayang.” Sebuah panggilan formalitas kembali terucap. Ia meremas tanganku, mengembalikan anganku ke dunia nyata. “Ada apa?” tanyanya penuh perhatian.
Aku menarik tanganku dari genggamannya, membuat kening pria itu sedikit mengernyit, tapi tidak berkomentar. Sesaat kemudian, aku mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi percakapan, lalu meletakkan ponsel itu di atas meja.
Sudah kususun lusinan aksara sejak semalam, tapi semua menghilang. Kerongkonganku terlalu kering, lidahku kelu, dan entah bagaimana mengatakan semua hal itu tanpa meraung dalam tangis.
Ia sudah siap membuka mulut, bertanya dan protes. Namun, percakapan di dalam ponselku membungkam mulutnya. Matanya langsung terbelalak lebar, wajahnya mulai berubah warna, dan aku tau ia tengah membaca pesan singkatku bersama seorang wanita yang sengaja kutunjukkan kepadanya.
“Ayo kita bercerai, Mas.”
“Mi, a… aku bisa jelasin semuanya….” Ia tergagap panik. Kepalan tangannya mengeras marah. Seakan ia lah yang terkhianati. Bukan aku.
“Ayo kita bercerai, Mas.” Hanya kata itu yang mampu kuucapkan. Satu tambahan kata lain, dan seluruh pertahananku akan pecah berantakan.
“Mia, kita bisa bicarain semuanya. Aku akan jelasin. Tolong jangan ambil keputusan gegabah begini.”
Lekat kupandangi wajah itu.
“Tapi dia hamil, Mas. Dia hamil anakmu,” kataku, dan dia membeku.
***
Beberapa saat yang lalu. “Jadi itu orangnya?” tanya Lily pelan. “Jadi, aku benar-benar terlambat sekarang?” Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Hening yang membungkam setiap aksara, tapi tetap menyisakan serpihan rasa sakit. Lily mengerjap perlahan. Napasnya mendadak lebih berat oleh sesal. Andai ia lebih cepat kembali, apakah tempat di hati pria itu masih miliknya seorang? “Aku minta maaf.” Pria itu menatap pilu. Namun Lily sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kata maaf itu. Apakah ia baru saja meminta maaf karena sudah menempatkan sosok lain di hatinya? Jika memang ia menyesal, bukankah artinya mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu? Bukankah artinya mereka bisa memulai dari awal lagi? Lily meremas jemari di atas pangkuannya. Jutaan pemikiran itu membuat dadanya semakin sesak. “Apa kita nggak bisa mulai dari awal lagi?” tanya Lily, menggantungkan seluruh harapny
Kinan tau, ia seharusnya tidak pernah membiarkan rasa ingin tahu menguasai dirinya. Karena saat itu terjadi, tidak ada apa pun yang ia dapatkan kecuali luka yang begitu dalam.Susah payah Kinan menahan isakkannya sampai ke toilet. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seorang wanita kepada Andra. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata selama ini Andra bukannya tidak pernah bisa mencintai seorang wanita. Tapi, jauh di dalam lubuk hati pria itu, memang sudah tidak ada celah lain yang bisa dimasuki siapa pun.Karena seseorang dari masa lalunya, sudah mengambil tempat itu secara utuh.Kinan menangis pelan di dalam toilet, berharap tidak ada satu pun yang datang dan mendengar seluruh tangisnya. Ia mengutuki dirinya yang mencintai pria itu terlalu dalam.Sekarang, ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa melupakan rasa cintanya kepada pria itu.Saat ponselnya bergetar, Kinan membuka pesan yang masuk sambil menyeka air matanya.Sebua
“Gimana kabarmu sekarang?” tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka. Ia menarik napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. “Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan senyuman penuh haru.Rasanya masih seperti mimpi.Setelah lusinan hari berlalu dalam perasaan rindu yang menyesakkan, akhirnya mereka bisa kembali bertemu.Di dalam ruangannya yang sunyi, Andra duduk berhadapan dengan sosok yang selalu muncul dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha mencari wanita itu, tapi berkali-kali pula Andra menemukan kegagalan.4 tahun yang lalu, Andra hampir saja menemukannya. Ia berhasil melacak keberadaan Lily yang bekerja di Singapura. Namun saat Andra pergi mengejar keberadaannya, wanita itu sudah pergi, ikut bersama kekasihnya kembali ke Indonesia. Dan hanya meninggalkan selembar foto yang Andra dapatkan dari perusahaan lamanya.Andra kembali ke Indonesia dengan be
“Eciieeeee!!!!!!!” pekik Willia kencang. Wajah marahnya melebur seketika, tergantikan senyuman yang sangat teramat lebar. Ia melompat kegirangan bersama Wisnu. Bahkan sekarang ia lupa tentang rasa sukanya kepada dokter muda itu. “Cieeeee cieeee!!! Gimana dokter Kinan? Dokter keberatan nggak jadi istri Om-ku?” tanya Willia tanpa basa-basi.Wajah cantik Kinan semakin bersemu merah. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Padahal beberapa saat yang lalu, ia hampir saja putus asa karena penolakan Andra. Namun, ternyata pria itu membalikan suasana hatinya sekedipan mata.Mata Kinan berkabut oleh air mata haru yang tak bisa ditahannya lagi. Apakah itu artinya cinta bertepuk sebelah tangannya selama 7 tahun sudah terjawab?“Gimana, gimana, Dok? Dokter keberatan nggak??” tuntut Willia tidak sabar.“Mm, mungkin kalau anaknya nggak kaya Willia, saya juga nggak keberatan,” gumam Kinan malu-malu.
“Pagi, Dokter An,” sapa beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka di koridor. Andra mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.“Dokter Andra? Bukannya Dokter libur hari ini?” sapa seorang dokter muda dengan snelli di balik batiknya. Ia baru saja keluar pintu IGD dengan beberapa berkas di tangannya.“Dokter Wisnu.” Andra menghentikan langkahnya, membalas sapaan dokter umum itu.Melihat Andra berhenti, Willia ikut berhenti, meski berada jauh di depan.“Iya, hari ini saya lagi jadi keluarga pasien,” senyum Andra.“Eh, siapa yang sakit, Dok?”“Tante saya lahiran.”“Wah, punya sepupu baru dong?”Andra mengangguk.“Adiknya Willia?”“Iya. Tuh anaknya.” Andra menunjuk gadis kecil yang tengah bersembunyi di balik tiang rumah sakit. Ia tersenyum puas melihat kelakuan malu-malu Willia. Gadis itu memang sangat lemah
“Jadi itu yang namanya Dokter Kinan?” bisik Syila di telinga kakak iparnya. Saat ini, ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah operasi Caesar. Bayinya juga sudah berada di ruangan yang sama, dan baru saja selesai menyusu. Sekarang bayi itu sedang dikerumuni ayah, kakak, sepupu, dan gadis yang dipanggil Dokter Kinan.Miranda mengangguk pelan.“Ya ampun, cantik banget. Mbak yakin dia bukan artis?” desis Syila tidak percaya. Kinan adalah gambaran wanita cantik yang sempurna. Rambut hitam yang sehat, kulit seputih pualam, dan senyum secantik mawar. Ia pasti akan langsung melejit jika menjadi artis.“Hus. Dia dokter gigi.”“Tapi dia cantik banget, Mbak.”Miranda tidak membantah. Gadis itu memang menawan dan anggun.“Bisa-bisanya dewi secantik itu naksir Andra. Padahal dia anak yang punya rumah sakit kan?”Lagi-lagi Miranda hanya terdiam.“Pokoknya kalau sampai
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments