“Andra kecelakaan.”
Bagai petir di siang bolong. Aku mendengar kabar itu di hari yang terlalu tenang untuk sebuah musibah. Namun, aku lupa, musibah tidak selalu membutuhkan langit yang mendung untuk mengundangnya datang.
Justru, musibah lah yang membuat langit cerah mendadak mendung di langitmu, tapi tidak di langit orang lain.
Ketika aku sampai di rumah sakit. Orang-orang sudah berkumpul di tempat itu. Pihak sekolah putraku, pria itu, Ibu mertuaku, bahkan Lina. Seakan mereka sudah siap di sana, bahkan sebelum kecelakaan itu terjadi.
Aku ingin bertanya apa yang terjadi. Bukankah seharusnya itu pertanyaan pertama yang akan kau ajukkan? Tapi kemudian aku mundur. Apa gunanya? Untuk apa aku bertanya tentang yang sudah terjadi? Bukankah itu hanya akan semakin menyakitiku?
Seorang perawat keluar tidak lama setelah kedatanganku.
“Keluarga Andra,” panggilnya. Aku maju, sebagai ibunya, dan pria itu maju sebagai ayahnya.
Kami masuk ke dalam sebuah ruangan, bertemu seorang dokter berkaca mata tebal yang menatap penuh simpati. “Tulang kakinya patah, dan harus segera dilakukan operasi.” Dokter itu menunjukan foto rontgen tulang yang mencuat keluar kulit. “Kalau setuju, silakan tanda tangani berkas ini.”
Aku langsung mengambil pulpen yang tersedia di atas meja. Itu sama sekali tidak memerlukan persetujuan, mereka harus melakukannya, mereka harus menyelamatkan putraku. Namun, saat aku mendengar kata-kata pria itu, jantungku terasa berhenti berdetak sesaat.
“Akan kami pikirkan dulu, Dok.”
Aku menoleh kepada kata-kata itu. Putra kami sekarat, dan dia masih memiliki waktu untuk berpikir?
Dokter itu memberikan kami waktu untuk berpikir saat aku tidak memiliki hal lain yang bisa kupikirkan. Pria itu membawaku ke lorong rumah sakit yang sepi. Mengajakku bicara saat putraku mungkin bisa mati kapan saja.
Hidup dan mati. Kata itu terngiang-ngiang bagai nyanyian nina bobo yang tak kunjung usai di kepalaku.
Kau hidup untuk satu tujuan.
Dan aku mulai bertanya-tanya apa tujuanku hidup di dunia ini. Mengapa Tuhan membuat wanita lemah sepertiku tetap hidup, saat mati akan lebih mudah untuk dilalui.
Orang tuaku meninggal karena kecelakaan tragis. Keduanya tewas seketika. Dan aku menjadi yatim piatu dalam sekedipan mata. Hidupku yang miskin semakin miskin. Tapi aku selalu bekerja. Tak pernah sekalipun aku mengemis. Prinsipku, yang kumakan hari itu harus menjadi hasil keringatku, bukan hasil iba orang lain.
Lalu, pria itu datang. Kemiskinan membuat kami merasa menjadi teman seperjuangan. Di tengah malam-malam tanpa bintang, kami berbaring di atas aspal yang sepi, menatap langit seakan itu adalah milik kami. Dengan tubuh berbau peluh, kami mulai mengurai mimpi. Kami akan berusaha sekeras mungkin untuk menggapai tangga tertinggi kehidupan. Kami akan saling bahu membahu untuk mendapatkan kursi sosial yang tinggi, hingga bisa membalas pandangan rendah orang-orang selama ini.
Lalu secara ajaib, kami berhasil.
Dia berhasil. Aku berhasil. Sampai akhirnya sekarang ia melepaskan tanganku.
“Aku akan membiayai semua operasi Andra. Asalkan kamu membatalkan niat perceraian kita, dan menerima dia.”
Aku menatap pria itu lekat-lekat. Mencari celah yang menyembunyikan jiwa iblis di balik penampilan manusianya. Lalu, aku sadar, dicari bagaimana pun aku takkan menemukan celah itu. Karena sejak awal, ia tidak pernah bersembunyi. Ia adalah iblis yang membaur, dan aku baru saja terkecoh.
“Kamu memberikan syarat untuk menyelamatkan anakmu sendiri?” tanyaku dengan suara bergetar.
Dan pria itu berpura-pura kehilangan arah.
***
Beberapa saat yang lalu. “Jadi itu orangnya?” tanya Lily pelan. “Jadi, aku benar-benar terlambat sekarang?” Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Hening yang membungkam setiap aksara, tapi tetap menyisakan serpihan rasa sakit. Lily mengerjap perlahan. Napasnya mendadak lebih berat oleh sesal. Andai ia lebih cepat kembali, apakah tempat di hati pria itu masih miliknya seorang? “Aku minta maaf.” Pria itu menatap pilu. Namun Lily sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kata maaf itu. Apakah ia baru saja meminta maaf karena sudah menempatkan sosok lain di hatinya? Jika memang ia menyesal, bukankah artinya mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu? Bukankah artinya mereka bisa memulai dari awal lagi? Lily meremas jemari di atas pangkuannya. Jutaan pemikiran itu membuat dadanya semakin sesak. “Apa kita nggak bisa mulai dari awal lagi?” tanya Lily, menggantungkan seluruh harapny
Kinan tau, ia seharusnya tidak pernah membiarkan rasa ingin tahu menguasai dirinya. Karena saat itu terjadi, tidak ada apa pun yang ia dapatkan kecuali luka yang begitu dalam.Susah payah Kinan menahan isakkannya sampai ke toilet. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seorang wanita kepada Andra. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata selama ini Andra bukannya tidak pernah bisa mencintai seorang wanita. Tapi, jauh di dalam lubuk hati pria itu, memang sudah tidak ada celah lain yang bisa dimasuki siapa pun.Karena seseorang dari masa lalunya, sudah mengambil tempat itu secara utuh.Kinan menangis pelan di dalam toilet, berharap tidak ada satu pun yang datang dan mendengar seluruh tangisnya. Ia mengutuki dirinya yang mencintai pria itu terlalu dalam.Sekarang, ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa melupakan rasa cintanya kepada pria itu.Saat ponselnya bergetar, Kinan membuka pesan yang masuk sambil menyeka air matanya.Sebua
“Gimana kabarmu sekarang?” tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka. Ia menarik napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. “Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan senyuman penuh haru.Rasanya masih seperti mimpi.Setelah lusinan hari berlalu dalam perasaan rindu yang menyesakkan, akhirnya mereka bisa kembali bertemu.Di dalam ruangannya yang sunyi, Andra duduk berhadapan dengan sosok yang selalu muncul dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha mencari wanita itu, tapi berkali-kali pula Andra menemukan kegagalan.4 tahun yang lalu, Andra hampir saja menemukannya. Ia berhasil melacak keberadaan Lily yang bekerja di Singapura. Namun saat Andra pergi mengejar keberadaannya, wanita itu sudah pergi, ikut bersama kekasihnya kembali ke Indonesia. Dan hanya meninggalkan selembar foto yang Andra dapatkan dari perusahaan lamanya.Andra kembali ke Indonesia dengan be
“Eciieeeee!!!!!!!” pekik Willia kencang. Wajah marahnya melebur seketika, tergantikan senyuman yang sangat teramat lebar. Ia melompat kegirangan bersama Wisnu. Bahkan sekarang ia lupa tentang rasa sukanya kepada dokter muda itu. “Cieeeee cieeee!!! Gimana dokter Kinan? Dokter keberatan nggak jadi istri Om-ku?” tanya Willia tanpa basa-basi.Wajah cantik Kinan semakin bersemu merah. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Padahal beberapa saat yang lalu, ia hampir saja putus asa karena penolakan Andra. Namun, ternyata pria itu membalikan suasana hatinya sekedipan mata.Mata Kinan berkabut oleh air mata haru yang tak bisa ditahannya lagi. Apakah itu artinya cinta bertepuk sebelah tangannya selama 7 tahun sudah terjawab?“Gimana, gimana, Dok? Dokter keberatan nggak??” tuntut Willia tidak sabar.“Mm, mungkin kalau anaknya nggak kaya Willia, saya juga nggak keberatan,” gumam Kinan malu-malu.
“Pagi, Dokter An,” sapa beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka di koridor. Andra mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.“Dokter Andra? Bukannya Dokter libur hari ini?” sapa seorang dokter muda dengan snelli di balik batiknya. Ia baru saja keluar pintu IGD dengan beberapa berkas di tangannya.“Dokter Wisnu.” Andra menghentikan langkahnya, membalas sapaan dokter umum itu.Melihat Andra berhenti, Willia ikut berhenti, meski berada jauh di depan.“Iya, hari ini saya lagi jadi keluarga pasien,” senyum Andra.“Eh, siapa yang sakit, Dok?”“Tante saya lahiran.”“Wah, punya sepupu baru dong?”Andra mengangguk.“Adiknya Willia?”“Iya. Tuh anaknya.” Andra menunjuk gadis kecil yang tengah bersembunyi di balik tiang rumah sakit. Ia tersenyum puas melihat kelakuan malu-malu Willia. Gadis itu memang sangat lemah
“Jadi itu yang namanya Dokter Kinan?” bisik Syila di telinga kakak iparnya. Saat ini, ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah operasi Caesar. Bayinya juga sudah berada di ruangan yang sama, dan baru saja selesai menyusu. Sekarang bayi itu sedang dikerumuni ayah, kakak, sepupu, dan gadis yang dipanggil Dokter Kinan.Miranda mengangguk pelan.“Ya ampun, cantik banget. Mbak yakin dia bukan artis?” desis Syila tidak percaya. Kinan adalah gambaran wanita cantik yang sempurna. Rambut hitam yang sehat, kulit seputih pualam, dan senyum secantik mawar. Ia pasti akan langsung melejit jika menjadi artis.“Hus. Dia dokter gigi.”“Tapi dia cantik banget, Mbak.”Miranda tidak membantah. Gadis itu memang menawan dan anggun.“Bisa-bisanya dewi secantik itu naksir Andra. Padahal dia anak yang punya rumah sakit kan?”Lagi-lagi Miranda hanya terdiam.“Pokoknya kalau sampai