Operasi pertama tetap dilakukan, meski tanpa jawabanku atas permintaannya. Kalau aku menganggap itu satu-satunya kebaikan yang tersisa darinya, maka aku sudah gila, mereka sudah gila!
Ini anaknya! Bagaimana mungkin dia bisa diam saja ketika anaknya hampir mati? Bahkan binatang buas akan tetap melindungi anak mereka.
Tamu lain yang mendatangiku diam-diam di rumah sakit adalah guru sekolah Andra. Silvia, gadis muda yang biasanya menyapa murid-murid seriang mentari pagi di pintu masuk sekolah. Kebiasaan yang mereka adaptasi dari sekolah di luar negeri.
Ia tampak ketakutan melihatku, seakan aku akan melahapnya dalam sekali suapan.
Kemarin ia sudah datang bersama kepala sekolah putraku, mengucapkan bela sungkawa, dan menyerahkan sebuah amplop yang tak pernah kubuka. Mungkin mereka takut aku menuntut, karena kejadian itu terjadi tepat di lingkungan sekolah dan di jam istirahat.
Mudah saja, mereka lalai, atau anakku terlalu lincah.
Aku menatap guru muda itu. Wajah cantiknya tak lagi cerah, sampai-sampai kupikir ia mengalami trauma karena kejadian ini.
“Andra itu anak yang baik, Bu,” katanya, memecah kecanggungan di antara kami.
Aku tau, tapi aku tidak menjawab.
Aku juga butuh kambing hitam untuk kusalahkan, aku bukan ibu berhati malaikat yang akan memeluk orang-orang yang menyakiti anakku.
“Dia anak yang pintar. Andra nggak mungkin menyebrang sembarangan. Dia anak yang benar-benar cerdas dan paham peraturan.”
Ada ketakutan, keraguan, tapi juga kebenaran dari suara Silvia.
“Dan gerbang belakang hampir nggak bisa dibuka oleh anak-anak.”
Hampir bukan berarti tidak bisa, kan?
Apa dia sedang mencari sebuah pembenaran? Karena sejujurnya aku mulai merasa muak pada semua orang. Aku lelah.
“Saya nggak mau memperkeruh keadaan, tapi saya juga nggak bisa tetap diam.”
Setiap bibir merah mudanya berhenti bicara, aku bisa merasakan jantungku tersentak. Kuharap ia segera menyelesaikan semua kata-katanya.
“Ada apa?” tanyaku, pertama kali bersuara.
Silvia terlihat semakin gelisah. “Kalau Ibu mau, Ibu bisa lihat CCTV yang ada di minimarket dekat pertigaan. Memang dari CCTV sekolah tempat kecelakaan Andra adalah titik buta yang nggak terjangkau. Tapi mungkin kalau dari CCTV minimarket itu, akan ada sedikit rekaman yang membantu.”
Keningku berkerut. Jantungku berdetak semakin keras. Kutatap Andra yang masih terlelap, lalu menoleh kembali ke arahnya.
Apa maksud semua perkataannya? Apa ada sesuatu dengan kecelakan putraku? Bukankah penabraknya sudah meminta maaf dan bersedia bertanggung jawab? Meski karena dia juga miskin, ia hanya mampu membayar uang rumah sakit separuh saja.
Namun yang dikatakan Silvia benar. Putraku berusia 5 tahun, dan dia anak yang pintar. Ia tidak mungkin menyebrang begitu saja tanpa memperhatikan sekelilingnya.
“Saya benar-benar menyesal atas apa yang terjadi sama Andra, Bu,” katanya lagi.
“Iya, Bu Silvia, terima kasih,” jawabku pelan, entah atas informasi atau bela sungkawanya.
***
Kau tau, menerima permintaan maaf selalu lebih sulit daripada meminta maaf.
Karena ketika kau memutuskan untuk memaafkan orang itu, artinya kau harus melupakan kesalahannya, kau tidak boleh terluka atas apa yang sudah ia lakukan, dan kau harus menerima konsekuensinya, seakan kau juga bersalah.
Kapan itu bermula?
Jutaan kali aku memutar kenangan demi kenangan, mencari benang merah yang menjadi celah permulaan hal menjijikan itu.
Apakah sejak pertama kali aku memperkenalkan mereka? Atau ketika tanpa sengaja mereka bertemu di luar tanpaku? Atau ketika pria itu harus mendampingi Andra parawisata dan ia mendampingi anak Lina?
Semakin dipikirkan, sesalku semakin menumpuk tinggi. Esok hari kuyakin ia sudah menyentuh langit.
“Buat apa kamu ke sini?” tanyaku pada wanita itu.
Pagi masih terlalu dini untuk menerima kunjungan. Tapi ia tetap datang, tanpa diminta, tanpa pemberitahuan. Dan aku berani bertaruh tak ada yang mengetahui kedatangannya pagi ini. Kecuali aku, dan putraku yang terlelap dalam obat bius.
Ia membelai lembut perutnya yang masih terlalu datar.
“Kamu sudah mendapatkan semua yang kamu mau, urusan kita sudah selesai.” Dingin. Kuharap suaraku cukup kejam untuk membuatnya enyah.
Gadis itu tersenyum sinis. Padahal saat aku pertama kali berkenalan dengannya, ia adalah gadis ramah yang riang, sama seperti Lina, kakaknya.
Ah, aku lupa, bahkan Lina menyembunyikan seluruh kenaifannya dengan apik selama ini.
“Aku mau Mbak bercerai dari Mas Abrar.”
Aku mendegus. “Tanpa kamu minta, aku sudah mengajukan gugatanku sejak dulu.”
“Bohong. Mbak nggak benar-benar mau menceraikan Mas Abrar, kan? Mbak cuma mau gertak dia supaya dia takut.”
Omong kosong apa itu?
“Mba pasti mau tetap pertahankan pernikahan ini demi harta Mas Abrar, kan? Karena Mbak takut Andra akan tersingkirkan kalau anakku lahir.” Lagi-lagi ia mengelus perutnya yang belum seberapa besar. “Tapi asal Mbak tau, selama ini, Mas Abrar memang sudah nggak peduli sama Mbak atau Andra. Dia jatuh cinta sama aku yang lebih muda dan bisa lebih memuaskan dari pada perempuan tua kaya Mbak. Dia bahkan lebih sayang ke anakku dari pada ke Andra.”
Mengapa gadis itu berubah menjadi gadis yang menyedihkan sekarang?
“Menjatuhkan orang lain nggak akan membuatmu bahagia.”
“Munafik sekali. Buktinya sekarang aku puas.” Ia tersenyum sinis lalu melenggang pergi begitu saja.
***
Beberapa saat yang lalu. “Jadi itu orangnya?” tanya Lily pelan. “Jadi, aku benar-benar terlambat sekarang?” Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Hening yang membungkam setiap aksara, tapi tetap menyisakan serpihan rasa sakit. Lily mengerjap perlahan. Napasnya mendadak lebih berat oleh sesal. Andai ia lebih cepat kembali, apakah tempat di hati pria itu masih miliknya seorang? “Aku minta maaf.” Pria itu menatap pilu. Namun Lily sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kata maaf itu. Apakah ia baru saja meminta maaf karena sudah menempatkan sosok lain di hatinya? Jika memang ia menyesal, bukankah artinya mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu? Bukankah artinya mereka bisa memulai dari awal lagi? Lily meremas jemari di atas pangkuannya. Jutaan pemikiran itu membuat dadanya semakin sesak. “Apa kita nggak bisa mulai dari awal lagi?” tanya Lily, menggantungkan seluruh harapny
Kinan tau, ia seharusnya tidak pernah membiarkan rasa ingin tahu menguasai dirinya. Karena saat itu terjadi, tidak ada apa pun yang ia dapatkan kecuali luka yang begitu dalam.Susah payah Kinan menahan isakkannya sampai ke toilet. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seorang wanita kepada Andra. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata selama ini Andra bukannya tidak pernah bisa mencintai seorang wanita. Tapi, jauh di dalam lubuk hati pria itu, memang sudah tidak ada celah lain yang bisa dimasuki siapa pun.Karena seseorang dari masa lalunya, sudah mengambil tempat itu secara utuh.Kinan menangis pelan di dalam toilet, berharap tidak ada satu pun yang datang dan mendengar seluruh tangisnya. Ia mengutuki dirinya yang mencintai pria itu terlalu dalam.Sekarang, ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa melupakan rasa cintanya kepada pria itu.Saat ponselnya bergetar, Kinan membuka pesan yang masuk sambil menyeka air matanya.Sebua
“Gimana kabarmu sekarang?” tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka. Ia menarik napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. “Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan senyuman penuh haru.Rasanya masih seperti mimpi.Setelah lusinan hari berlalu dalam perasaan rindu yang menyesakkan, akhirnya mereka bisa kembali bertemu.Di dalam ruangannya yang sunyi, Andra duduk berhadapan dengan sosok yang selalu muncul dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha mencari wanita itu, tapi berkali-kali pula Andra menemukan kegagalan.4 tahun yang lalu, Andra hampir saja menemukannya. Ia berhasil melacak keberadaan Lily yang bekerja di Singapura. Namun saat Andra pergi mengejar keberadaannya, wanita itu sudah pergi, ikut bersama kekasihnya kembali ke Indonesia. Dan hanya meninggalkan selembar foto yang Andra dapatkan dari perusahaan lamanya.Andra kembali ke Indonesia dengan be
“Eciieeeee!!!!!!!” pekik Willia kencang. Wajah marahnya melebur seketika, tergantikan senyuman yang sangat teramat lebar. Ia melompat kegirangan bersama Wisnu. Bahkan sekarang ia lupa tentang rasa sukanya kepada dokter muda itu. “Cieeeee cieeee!!! Gimana dokter Kinan? Dokter keberatan nggak jadi istri Om-ku?” tanya Willia tanpa basa-basi.Wajah cantik Kinan semakin bersemu merah. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Padahal beberapa saat yang lalu, ia hampir saja putus asa karena penolakan Andra. Namun, ternyata pria itu membalikan suasana hatinya sekedipan mata.Mata Kinan berkabut oleh air mata haru yang tak bisa ditahannya lagi. Apakah itu artinya cinta bertepuk sebelah tangannya selama 7 tahun sudah terjawab?“Gimana, gimana, Dok? Dokter keberatan nggak??” tuntut Willia tidak sabar.“Mm, mungkin kalau anaknya nggak kaya Willia, saya juga nggak keberatan,” gumam Kinan malu-malu.
“Pagi, Dokter An,” sapa beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka di koridor. Andra mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.“Dokter Andra? Bukannya Dokter libur hari ini?” sapa seorang dokter muda dengan snelli di balik batiknya. Ia baru saja keluar pintu IGD dengan beberapa berkas di tangannya.“Dokter Wisnu.” Andra menghentikan langkahnya, membalas sapaan dokter umum itu.Melihat Andra berhenti, Willia ikut berhenti, meski berada jauh di depan.“Iya, hari ini saya lagi jadi keluarga pasien,” senyum Andra.“Eh, siapa yang sakit, Dok?”“Tante saya lahiran.”“Wah, punya sepupu baru dong?”Andra mengangguk.“Adiknya Willia?”“Iya. Tuh anaknya.” Andra menunjuk gadis kecil yang tengah bersembunyi di balik tiang rumah sakit. Ia tersenyum puas melihat kelakuan malu-malu Willia. Gadis itu memang sangat lemah
“Jadi itu yang namanya Dokter Kinan?” bisik Syila di telinga kakak iparnya. Saat ini, ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah operasi Caesar. Bayinya juga sudah berada di ruangan yang sama, dan baru saja selesai menyusu. Sekarang bayi itu sedang dikerumuni ayah, kakak, sepupu, dan gadis yang dipanggil Dokter Kinan.Miranda mengangguk pelan.“Ya ampun, cantik banget. Mbak yakin dia bukan artis?” desis Syila tidak percaya. Kinan adalah gambaran wanita cantik yang sempurna. Rambut hitam yang sehat, kulit seputih pualam, dan senyum secantik mawar. Ia pasti akan langsung melejit jika menjadi artis.“Hus. Dia dokter gigi.”“Tapi dia cantik banget, Mbak.”Miranda tidak membantah. Gadis itu memang menawan dan anggun.“Bisa-bisanya dewi secantik itu naksir Andra. Padahal dia anak yang punya rumah sakit kan?”Lagi-lagi Miranda hanya terdiam.“Pokoknya kalau sampai