“Mana anakku?”
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling menyeramkan bagi seorang ibu. Jangan salah paham. Aku bukan wanita pengecut. Namun, ketika pertanyaan itu terlontar, maka artinya jiwaku tak lagi berada di tempatnya.
Suara di sebrang sana terdengar gugup. “Andra baik-baik aja, kamu nggak perlu khawatir.”
“Kamu culik dia?”
“Demi Tuhan, Mi, dia juga anakku! Apa aku nggak boleh jemput dia pulang dari sekolahnya?”
Aku bergeming. Mataku masih nanar menatap gedung sekolah putraku yang mulai sunyi. Satu persatu anak dijemput oleh wali mereka masing-masing. Dan putraku tidak ada di antaranya.
“Aku nggak akan pernah sakiti anakku sendiri, Mia!” bentak pria itu, padahal aku tidak mengatakan apa pun.
Namun, nyatanya, ia sudah melukai putranya.
Perselingkuhannya, itu sangat melukai Andra, apakah ia tidak pernah berpikir seperti itu?
“Di mana anakku?” tanyaku sekali lagi.
Ia menghela napas berat. “Ayo kita bicara.”
Jadi ia benar-benar menculik anakku untuk menjadi sandera?
“Ayo kita ketemu di rumah Ibu, Andra ada di sana.”
Haruskah aku merasa lega? Atau sebaliknya?
Karena entah mengapa, saat aku mendengar tawa Andra dari gerbang depan rumah mertuaku, tidak ada ketentraman yang bisa kudapatkan sama sekali. Karena di sana aku juga mendengar suara tawa gadis itu.
Bagai keluarga bahagia dalam opera sabun yang kerap kulihat di televisi, mereka tertawa lepas tanpa rasa bersalah. Putraku, dengan putri Lina berceloteh riang, bermain seru. Sedang para orang tua menonton penuh syukur. Bukankah itu pemandangan yang sangat indah?
Ya, itu hal yang indah, asal kamu mengesampingkan kenyataan bahwa wanita yang tertawa itu bukanlah istri dari si pria, atau ibu dari sang anak. Bahwa perempuan lain di sampingnya bukan orang yang mengkhianati sahabatnya sendiri. Dan bahwa nenek si anak itu bukanlah orang yang mendukung perselingkuhan putranya sendiri.
Kedatanganku mengusik pemandangan bahagia itu. Semuanya hening, kecuali tawa dari dua bocah yang tetap riang tanpa tau apa pun.
Lalu akhirnya Ibu mengajakku berbicara berdua bersamanya.
“Mia, ibu sudah berpikir berulang kali. Ibu benar-benar minta maaf karena menempatkan kamu di posisi yang sulit begini. Tapi, bisakah kamu terima dia jadi istri kedua suamimu?”
Aku menatap daun yang gugur. Mereka bilang bahkan daun tidak akan marah meski angin berembus menjatuhkannya. Ya, benar, tapi itu karena waktunya memang sudah habis. Dengan atau tanpa angin yang berembus ia akan tetap jatuh.
Lalu, apakah waktuku juga sudah habis sekarang?
“Kemarin, waktu aku bilang aku punya laki-laki lain, ibu tampar aku.”
Lekat kutatap kedua mata tua itu tanpa berkedip. Tidak ada amarah yang tersisa. Jiwaku hanya lelah.
“Tapi sekarang, kenapa Ibu nggak menampar Mas Abrar dan malah menggelar karpet merah untuk menyambut perempuan itu? Apakah menjadi seorang ibu berarti harus menutup mata atas kesalahan anaknya?”
Dan wanita itu membeku dalam amarah.
***
Kau tau mengapa wali pernikahan sangat penting untuk mempelai wanita? Karena itu untuk menunjukkan bahwa mempelai wanita memiliki penjaga di belakangnya, yang secara tidak langsung akan berfungsi sebagai ancaman untuk menakuti mempelai pria agar memperlakukan istrinya dengan baik.
Tapi aku tidak memiliki siapa pun.
Aku yatim piatu.
Itukah yang menyebabkan mereka bersikap semena-mena seperti ini kepadaku?
“Kenapa kamu nggak melepaskan aku, Mas?” tanyaku kepadanya di suatu petang yang hening. Pertanyaan yang ratusan, bahkan jutaan kali kulontarkan di hadapan wajahnya.
“Karena aku cinta kamu, Mi.”
Aku tidak tahan untuk tidak mendengus.
“Cinta? Bagian mana yang kamu maksud cinta? Bagian ketika kamu mengkhianatiku? Ketika kamu meniduri perempuan itu? Atau ketika akhirnya kamu meminta aku menyambut kedatangannya di antara kita? Kamu bahkan berhasil bujuk Ibu buat meminta hal yang sama.”
“Mia!”
Ada dua jenis manusia ketika melakukan kesalahan. Satu, mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Dua, mengakui kesalahannya, meminta maaf, tapi tidak merasa bersalah sama sekali.
“Kenapa kamu nggak bisa menceraikan aku, Mas? Aku nggak akan mengalangi kamu kalau kamu mau menikahinya, atau menikahi semua perempuan lain di dunia ini. Tapi ceraikan aku, pernikahan kita sudah berakhir.”
“MIA! Aku nggak bisa berpisah dari kamu. Aku sayang kamu dan Andra! Aku nggak bisa jauh dari kalian!”
Apa ia baru saja berbicara dengan bahasa dari planet lain? Mengapa tidak ada satu patah katapun yang membuatku mengerti maksud dari kata-katanya?
“Kalau begitu, kenapa sejak awal kamu selingkuh? Kenapa kamu tiduri perempuan itu? Dia bahkan adik sahabatku sendiri.”
“Aku khilaf, Mia!”
“Yang pertama mungkin kamu khilaf. Tapi yang kedua? Ketiga? Kebelasan kali, apakah itu masih termasuk khilaf dalam kamus hidupmu?”
Dan, mulutnya terkatup rapat.
***
Beberapa saat yang lalu. “Jadi itu orangnya?” tanya Lily pelan. “Jadi, aku benar-benar terlambat sekarang?” Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Hening yang membungkam setiap aksara, tapi tetap menyisakan serpihan rasa sakit. Lily mengerjap perlahan. Napasnya mendadak lebih berat oleh sesal. Andai ia lebih cepat kembali, apakah tempat di hati pria itu masih miliknya seorang? “Aku minta maaf.” Pria itu menatap pilu. Namun Lily sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kata maaf itu. Apakah ia baru saja meminta maaf karena sudah menempatkan sosok lain di hatinya? Jika memang ia menyesal, bukankah artinya mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu? Bukankah artinya mereka bisa memulai dari awal lagi? Lily meremas jemari di atas pangkuannya. Jutaan pemikiran itu membuat dadanya semakin sesak. “Apa kita nggak bisa mulai dari awal lagi?” tanya Lily, menggantungkan seluruh harapny
Kinan tau, ia seharusnya tidak pernah membiarkan rasa ingin tahu menguasai dirinya. Karena saat itu terjadi, tidak ada apa pun yang ia dapatkan kecuali luka yang begitu dalam.Susah payah Kinan menahan isakkannya sampai ke toilet. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seorang wanita kepada Andra. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata selama ini Andra bukannya tidak pernah bisa mencintai seorang wanita. Tapi, jauh di dalam lubuk hati pria itu, memang sudah tidak ada celah lain yang bisa dimasuki siapa pun.Karena seseorang dari masa lalunya, sudah mengambil tempat itu secara utuh.Kinan menangis pelan di dalam toilet, berharap tidak ada satu pun yang datang dan mendengar seluruh tangisnya. Ia mengutuki dirinya yang mencintai pria itu terlalu dalam.Sekarang, ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa melupakan rasa cintanya kepada pria itu.Saat ponselnya bergetar, Kinan membuka pesan yang masuk sambil menyeka air matanya.Sebua
“Gimana kabarmu sekarang?” tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka. Ia menarik napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. “Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan senyuman penuh haru.Rasanya masih seperti mimpi.Setelah lusinan hari berlalu dalam perasaan rindu yang menyesakkan, akhirnya mereka bisa kembali bertemu.Di dalam ruangannya yang sunyi, Andra duduk berhadapan dengan sosok yang selalu muncul dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha mencari wanita itu, tapi berkali-kali pula Andra menemukan kegagalan.4 tahun yang lalu, Andra hampir saja menemukannya. Ia berhasil melacak keberadaan Lily yang bekerja di Singapura. Namun saat Andra pergi mengejar keberadaannya, wanita itu sudah pergi, ikut bersama kekasihnya kembali ke Indonesia. Dan hanya meninggalkan selembar foto yang Andra dapatkan dari perusahaan lamanya.Andra kembali ke Indonesia dengan be
“Eciieeeee!!!!!!!” pekik Willia kencang. Wajah marahnya melebur seketika, tergantikan senyuman yang sangat teramat lebar. Ia melompat kegirangan bersama Wisnu. Bahkan sekarang ia lupa tentang rasa sukanya kepada dokter muda itu. “Cieeeee cieeee!!! Gimana dokter Kinan? Dokter keberatan nggak jadi istri Om-ku?” tanya Willia tanpa basa-basi.Wajah cantik Kinan semakin bersemu merah. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Padahal beberapa saat yang lalu, ia hampir saja putus asa karena penolakan Andra. Namun, ternyata pria itu membalikan suasana hatinya sekedipan mata.Mata Kinan berkabut oleh air mata haru yang tak bisa ditahannya lagi. Apakah itu artinya cinta bertepuk sebelah tangannya selama 7 tahun sudah terjawab?“Gimana, gimana, Dok? Dokter keberatan nggak??” tuntut Willia tidak sabar.“Mm, mungkin kalau anaknya nggak kaya Willia, saya juga nggak keberatan,” gumam Kinan malu-malu.
“Pagi, Dokter An,” sapa beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka di koridor. Andra mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.“Dokter Andra? Bukannya Dokter libur hari ini?” sapa seorang dokter muda dengan snelli di balik batiknya. Ia baru saja keluar pintu IGD dengan beberapa berkas di tangannya.“Dokter Wisnu.” Andra menghentikan langkahnya, membalas sapaan dokter umum itu.Melihat Andra berhenti, Willia ikut berhenti, meski berada jauh di depan.“Iya, hari ini saya lagi jadi keluarga pasien,” senyum Andra.“Eh, siapa yang sakit, Dok?”“Tante saya lahiran.”“Wah, punya sepupu baru dong?”Andra mengangguk.“Adiknya Willia?”“Iya. Tuh anaknya.” Andra menunjuk gadis kecil yang tengah bersembunyi di balik tiang rumah sakit. Ia tersenyum puas melihat kelakuan malu-malu Willia. Gadis itu memang sangat lemah
“Jadi itu yang namanya Dokter Kinan?” bisik Syila di telinga kakak iparnya. Saat ini, ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah operasi Caesar. Bayinya juga sudah berada di ruangan yang sama, dan baru saja selesai menyusu. Sekarang bayi itu sedang dikerumuni ayah, kakak, sepupu, dan gadis yang dipanggil Dokter Kinan.Miranda mengangguk pelan.“Ya ampun, cantik banget. Mbak yakin dia bukan artis?” desis Syila tidak percaya. Kinan adalah gambaran wanita cantik yang sempurna. Rambut hitam yang sehat, kulit seputih pualam, dan senyum secantik mawar. Ia pasti akan langsung melejit jika menjadi artis.“Hus. Dia dokter gigi.”“Tapi dia cantik banget, Mbak.”Miranda tidak membantah. Gadis itu memang menawan dan anggun.“Bisa-bisanya dewi secantik itu naksir Andra. Padahal dia anak yang punya rumah sakit kan?”Lagi-lagi Miranda hanya terdiam.“Pokoknya kalau sampai
Kinan pikir ia akan melewati makan malam yang indah dan seru dengan keributan dua sepupu itu. Namun, saat keduanya sampai di rumah sakit, wajah mereka terlihat begitu murung. Bahkan, ketika mereka sampai di restoran yang berada tepat di belakang rumah sakit, mereka tetap tidak terlihat bersemangat.Willia hanya mengaduk makanannya tanpa selera, sedangkan Andra makan dengan sangat cepat, juga tanpa kata.“Dok, saya titip Willia sebentar boleh? Saya mau ambil berkas di ruangan dulu.”“Ya?”“Om mau ke rumah sakit lagi? Aku ikut!” rengek Willia.“Om cuma mau ambil berkas yang ketinggalan aja. Cuma sebentar. Kamu di sini sama Dokter Kinan. Cepat makan makananmu, jangan diaduk-aduk aja.”Wajah mungil Willia tertunduk menatap nasi goreng pesanannya, tapi tidak membantah. Kinan yang melihat kepergian Andra hanya bisa mengangguk pelan. Ini benar-benar aneh. Dan saat ia menoleh lagi ke arah Willia, betap
“Ah, ma-maaf.” Andra yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya. Ia mundur beberapa langkah, sampai menabrak dental chair di belakang punggungnya.Kinan ikut menegakkan punggung, saat sadar jika itu bukanlah sebuah mimpi. Saat ia bergerak, sesuatu meluncur jatuh dari pundaknya. Kinan menatap benda putih yang kini berada di bawah kaki kursi. Itu adalah snelli, tapi jelas bukan miliknya.Ketika Kinan membaca nama di jas putih itu, debaran jantungnya kian tak menentu. Apa pria itu sengaja memakaikan jas untuknya?“Ma-maaf, Dok, tadi dokter kelihatan kedinginan,” jelas Andra, sambil mengusap tengkuknya.“Iya, Dok, terima kasih,” senyum Kinan dengan pipi bersemu merah muda. Bahkan hanya dengan kebaikan sederhana saja, jantungnya sudah berdebar tak karuan.“Dokter kelihatannya kelelahan. Sebaiknya Dokter istirahat. Dan, terima kasih karena sudah menjaga sepupu saya. Saya minta maaf karena datang ter
Ternyata menjadi dokter gigi itu tidak semudah yang Willia bayangkan. Padahal Willia pikir, jika dibandingkan dengan proses menjadi dokter-dokter lainnya, maka dokter gigi lah yang termudah.Namun, ketika ia menonton Kinan yang harus berurusan dengan pasien-pasien beragam kondisi, Willia mulai meralat pikirannya. Terlebih, kebanyakan pasien Kinan adalah pasien anak-anak yang terlalu takut bertemu dengan dokter Juniar, dokter gigi lain di rumah sakit itu.Mereka bahkan rela untuk memundurkan jadwal berobat mereka jika Kinan sedang tidak praktek.Kinan tengah menuliskan status pasien saat mendengar helaan napas Willia di sudut ruangan. Sesuai permintaannya, saat ini Willia sudah berganti pakaian dengan pakaian steril yang disediakan rumah sakit. Ujung lengan dan kaki pakaiannya digulung sedemikian rupa karena masih terlalu besar untuk tubuhnya.“Kamu bosen ya, Will?”“Eh, nggak kok, Dok.” Willia menegakkan punggungnya. “