Share

2. Membela Harga Diri Suami

Bab 2.

Keluarga kami tinggal di rumah sederhana dengan sepetak tanah yang Bang Riswan beli saat pertama merantau ke desa kami. Tanah kecil yang digunakannya buat berkebun, ditanami sayur-sayuran buat keperluan sehari-hari.

Keluarga kami memang tidak seperti keluarga yang lain, tidak ada televisi, kulkas, bahkan handphone pun kami tidak punya. Tetapi untuk makan sehari-hari dengan lauk seadanya, Insya Allah tidak pernah kekurangan. 

Entahlah, walaupun kata bapak dan saudara-saudara suamiku selalu dibilang bodoh, tetapi jika aku dan anak-anaknya bertanya tentang apa pun, dia selalu tahu jawabannya. Enam tahun berumah tangga suamiku itu masih penuh misteri buatku.

Selesai memotong cabai dan bawang, kulanjutkan dengan memarut kelapa untuk membuat santan. Dua kilogram daging sapi yang kubeli di pasar selepas Salat Subuh tadi yang akan diolah untuk dibuat rendang.

Meninggalkan anak-anak yang masih terlelap tidur, dan Bang Riswan yang masih membaca kitab suci, hingga sampai saat ini aku masih berkutat di dapur bersama emak. Sementara tiga saudaraku yang lain beserta pasangannya masih asyik berbincang di ruang tamu bersama bapak.

Aku lebih sering memisahkan diri mencari kesibukan yang lain jika sedang berkumpul seperti ini. Bukannya tidak mau akur dengan saudara hanya saja aku merasa capek jika kehidupan susahku yang selalu dijadikan bahan pembicaraan. Padahal seingatku, sesusah apapun kehidupan rumah tanggaku tidak pernah aku meminta-minta bantuan kepada saudara-saudaraku yang lain, dengan bapak pun tidak pernah. Intinya aku sama sekali tidak mau menyusahkan mereka.

Tidak beberapa lama, bapak dan ketiga saudaraku masuk ke dapur yang berukuran cukup luas disaat aku masih memarut dan Emak sedang mengulek sambal. Firasatku sudah tidak enak, karena biasanya jika mereka berkumpul seperti ini maka aku yang pasti jadi sasaran bully-an mereka.

"Orang mah Teh Risma, di saat saudara-saudara lagi ngumpul begini suami Teteh harusnya ikut. Jangan nggak mau akur sama keluarga. Bantu-bantu kek, jangan nanti datang dengan anak-anak pas waktunya makan doang," sindir Samsiah, adik bungsuku. Aku hanya bisa menarik napas dalam. Rasa sesak kembali mengganjal.

"Si Riswan itu macam tidak tahu diri. Hidup susah saja bertingkah. Dengan saudara nggak mau ngumpul bareng," celetuk bapak. " Lihat tuh Risma, saudara-saudaramu yang lain, suami-suami dan istrinya ngumpul semua."

"Anak-anak Risma belum pada bangun, Pak. Masa mau ditinggal," sanggahku pelan.

"Iya nanti pas bangun saat masakan sudah matang!" sindir Ela ketus.

"Langsung deh, comot makanan sana-sini," sambung Samsiah.

'Astagfirullah' bisik hatiku, sedih. Kenapa anak-anakku ikut dibawa-bawa. Anak-anak seusia balita seperti itu mana pernah ngerti, padahal anak-anak mereka pun sama saja seperti itu.

"Memangnya kenapa itu Risma, si Riswan macam nggak mau akur sama keluarga? Orang mah Risma, kasih tahu itu sama si Riswan jika hidup susah itu jangan belagu. Jadi saudara nggak ragu-ragu buat bantu." Kang Amran sekarang yang bicara. Aku yang sedari tadi bicara hanya karena menjawab pertanyaan merasa tidak tahan juga untuk tidak ikut bicara.

"Risma mau tanya sama semua. Memangnya walaupun hidup Risma susah, Risma pernah meminta-minta bantuan sama Kang Amran, Ella, dan kamu Samsiah?" ucapku membela diri.

Sesaat mereka semua terdiam.

"Nah, itulah, karena suamimu si Riswan nggak mau akur sama keluarga, bikin kita jadi males buat kasih bantuan," sanggah Kang Amran.

"Iya, jadi ikut-ikutan malas ngasih jajan buat anak-anaknya, karena bapaknya songong. Sudah susah, belagu lagi," lanjut Samsiah. Tajam sekali mulut kedua adikku ini.

Padahal sebenarnya tidak pantas kesal dengan saudara, anakku yang juga keponakan mereka ikut terbawa-bawa, padahal jika dipikir masih ada pertalian sedarah dengan mereka. Aku walaupun terkadang kesal dengan saudaraku karena sering dihina dan direndahkan tetap bersikap baik dengan keponakan-keponakanku. Tidak pernah mau menyangkutkan urusan orang tua dengan anak-anaknya.

Mereka bilang suamiku juga tidak mau akur dengan mereka semua.

Ucapan mereka tidak benar sama sekali. Aku sering menyaksikan sendiri betapa suamiku itu selalu jadi bahan celaan dan hinaan jika kami sedang berkumpul bersama. Padahal, tidak pernah kulihat Bang Riswan melakukan perbuatan yang merugikan maupun membuat malu saudara-saudaraku.

Suamiku memang memilih untuk diam dan tidak banyak bicara. Bukannya songong atau pun sombong, tapi karena setiap kali ikut bicara pun tidak pernah dianggap atau pun didengar, bahkan terkesan diacuhkan dan dikucilkan. Sama seperti aku, terkadang Bang Riswan memilih untuk duduk menjauh karena merasa dianggap tidak ada.

Terkadang, aku kasihan tiap kali melihat dan mendengar suamiku diperlakukan seperti itu. Tetapi dia tidak pernah mengeluh ataupun melawan tentang perlakuan keluargaku terhadapnya. Justru aku yang sering mengadu tiap kali saudara-saudara atau bapakku merendahkan kemiskinan kami.

Suamiku itu terlalu sabar makanya sering sekali direndahkan. Terkadang aku suka geram juga dengan sabarnya yang keterlaluan.

Aku ingin sekali-kali dia membela dirinya saat sedang dihinakan saudara-saudaraku.

"Bang Riswan itu sebenarnya salah apa? Kenapa kalian semua sangat membenci suami Risma?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku sudah tidak sanggup lagi untuk bersabar.

"Apa karena suamiku miskin, makanya kalian sangat membenci Bang Riswan?! Kami tidak pernah menyusahkan walaupun hidup kami susah! Kenapa sih kalian tidak mengurusi kehidupan rumah tangga sendiri saja, tanpa harus mengusik kehidupan keluarga kami?!"

Mataku mulai tergenangi air bening.

"Sudah Risma, jangan ikutan emosi. Tidak baik bertengkar dengan saudara sendiri," bisik Emak menasehati sambil mengusap-usap punggungku.

"Memang si Risma ini sudah diracun sama si Riswan, makanya dia sendiri pun sekarang tidak mau akur sama saudara," sindir Bapak dengan mata melotot dan wajah memerah.

"Orang mah mikir Risma, suami itu ada bekasnya, jika saudara mana ada bekasnya," sindir Kang Amran. 

Baru saja aku ingin membalas ucapan Bapak dan Kang Amran. Emak memberi tanda kepadaku untuk tidak meladeni dan mendiamkan saja, tidak usah diperpanjang, apa lagi jadi bahan perdebatan dengan saudara sendiri. Aku langsung menahan diri dan kembali terdiam.

'Apa aku salah membela harga diri suamiku?' keluh batinku.

___

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Atiman Burhan
alur ceritanya bagus lanjut Thor...
goodnovel comment avatar
Maminya El Fatih
kalo saya yg di kata2in gitu.... langsung pulang... biar tuh masak sendiri.. bantu kagak , ngebacot iya....
goodnovel comment avatar
Mohamad Hamdan
Terbaik dan menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status