Share

3. Batas Kesabaran

Penulis: Pena Asmara
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-13 15:54:24

Bab 3.

Sembari menangis terdiam. Aku lanjutkan memarut kelapa sementara mereka terus saja membicarakan kejelekan suamiku, sambung menyambung.

Dibilang tidak mau akur. Tidak mau bantu-bantu kerja. Padahal sedari pagi aku sibuk berdua dengan Emak. Tidak saudaraku, tidak juga pasangannya, hanya sibuk mengobrol saja dan menghabiskan jajanan pasar yang tadi aku beli di pasar bersama Emak.

"Assalamualaikum." Sayup-sayup dari dalam dapur aku mendengar suara ucapan salam dari arah depan rumah dan itu suara suamiku, Bang Riswan.

Dari dalam dapur aku dengar tidak ada satupun yang menjawab salam suamiku. Tidak dari orang-orang yang ada di ruang tamu, tidak juga dari saudara-saudaraku yang berdiri tidak jauh dari pintu dapur dan ruang tengah. Aku yang berada di pojok ruangan dekat kompor saja masih bisa mendengarkan.

Bapak dan ketiga saudara-saudaraku langsung menuju ke ruang tamu. Perasaanku gelisah. Pasti mereka akan terus menghina dan menyudutkan Bang Riswan. Bahkan jelas-jelas Bapak menunjukkan rasa ketidak sukaannya dengan suamiku. Memintaku untuk meminta cerai kepada Bang Riswan dan aku jelas-jelas menolak mengikuti keinginannya. Apalagi alasannya karena kami miskin.

Aku mengangkat baskom tempatku memarut kelapa ke depan pintu masuk dapur yang berbatasan dengan ruang tengah, lalu melanjutkan pekerjaan memarut di situ. Aku hanya ingin mencuri dengar apa saja yang akan mereka katakan terhadap Bang Riswan.

"Anak-anakmu dari rumah tidak disiapkan sarapan Wan? Datang-datang langsung nyomot makanan di piring. Macam anak-anak kurang jajan saja." kata abangku Amran memulai pembicaraan yang bagiku terdengar menyakitkan. Tidak terdengar jawaban dari suamiku.

"Memangnya kamu tidak pernah ajarkan adab sama anak-anakmu, Wan? Main comot-comot makanan saja," sindir Bapak.

'Ya Allah ... Bapak, anakku masih umur  lima dan empat tahun. Tadi saat aku ada di ruang tamu pun, kulihat ponakan-ponakan yang usianya jauh lebih besar bolak-balik mengambil jajanan pasar di piring tanpa izin, tapi Bapak diam saja' rintih batinku.

"Maaf, Pak," ucap Bang Riswan pelan. Dari pintu ruang tengah dan dapur tempatku memarut kelapa terlihat jika suamiku hanya duduk bersila di lantai dekat pintu masuk rumah. Suamiku itu hanya menunduk dengan putri bungsuku Neti berada di pangkuannya.

"Wan, nanti kau ambilkan pupuk dari koperasi kelurahan, tiga karung antarkan ke rumah," kata Bang Amran menyuruh. Kembali dalam hatiku beristighfar.

"Iya, Kang," jawab Bang Riswan. Aku langsung bangun berdiri, kutinggalkan parutan kelapa yang tinggal sedikit.

'Ini tidak bisa lagi dibiarkan!' teriak hatiku.

Mereka seenaknya menghina dan merendahkan suamiku tetapi selalu memanfaatkan tenaga suamiku secara gratisan. Sudah seringkali mereka memanfaatkan kebaikan Bang Riswan tetapi masih terus menghina dan merendahkannya. Saudara-saudaraku memang tidak tahu diri.

Mencarikan rumput buat ternak mereka, membeli pakan ternak, dan kali ini diminta untuk membawa pupuk tiga karung, tetapi tidak pernah mengizinkan suamiku memakai kendaraan motor milik mereka untuk mengangkutnya. Hingga suamiku harus bolak-balik mengangkat karung satu persatu bolak-balik dengan berjalan kaki. Jangankan untuk memberikan uang lelah, ucapan terima kasih pun tidak terlontar dari mulut mereka.

Aku lantas berdiri, bergegas melangkah ke ruang tamu yang hanya berjarak sekitar empat meter.

"Maaf, Kang Amran, aku tidak mengizinkan suamiku untuk mengangkut pupuk milikmu," ucapku tegas. Berdiri di samping suamiku yang masih duduk bersila. 

Bapak melotot ke arahku tajam. Sedangkan Kang Amran sedikit terperangah begitupun dengan Ela dan Samsiah.

"Kenapa kamu yang nolak? Riswannya sudah mau, kok," kilah Amran.

"Iya, suamiku bersedia karena dia tidak enak hati. Kalian ini sering memanfaatkan tenaga suamiku untuk kepentingan kalian sendiri tanpa ada jasa imbal baliknya. Yang ada kalian malah sering menghina Bang Riswan. Macam orang tidak punya malu!" sindirku telak.

"Risma! Kurang ajar kamu yah!"bentak Bapak.

Emak kulihat tergopoh-gopoh keluar dari dalam dapur.

"Neng, sabar Neng," bujuk Bang Riswan berusaha menenangkan aku.

"Sabar! Sabar! Kurang sabar apa kita, Bang?!" Kini suamiku lah yang sekarang jadi sasaran kekesalanku. 

"Eneng tuh cape, Bang. Kehidupan kita selalu dihina. Abang selalu direndahkan tetapi tenaga Abang dimanfaatkan gratis oleh saudara-saudara eneng," ucapku sembari terisak.

"Sudah, Neng, sudah, yah," ujar Bang Riswan kembali menenangkan.

"Abang kenapa sih? Diam saja tidak mau melawan!" geramku pada Bang Riswan yang hanya diam menyaksikan aku marah seperti ini.

"Sudah Risma, malu banyak orang," ucap Emak menenangkan.

"Dasar si Risma nggak punya adab. Kamu memang tidak mengajarkan adab sama istrimu, Wan! Sudah susah miskin tata Krama," sindir Bapak.

"Dimata Bapak, keluarga Risma nggak pernah dianggap benar," keluhku pada Bapak. 

Aku langsung berbalik badan ke arah Bang Riswan. "Mungkin bagi Abang sabar nggak ada batasnya, tapi bagiku nggak bisa, Bang. Sakit hatiku, Bang. Mendengar Abang selalu direndahkan oleh saudara-saudara eneng," jelasku terisak-isak.

Aku langsung menggendong si bungsu Neti, berjalan cepat meninggalkan rumah Emak tanpa permisi lagi. Hatiku benar-benar terluka.

Terlihat suamiku Bang Riswan mengikuti dari belakang sembari menggendong putri pertama kami; Yuli, menjauhi rumah keluarga besarku.

Aku kesal dengan kesabaran suamiku.

"Neng, tunggu abang atuh, Neng," panggil Bang Riswan tak jauh di belakangku. Ku acuhkan saja suamiku karena hatiku masih kesal. Malah semakin kupercepat langkah.

Sebenarnya jarak rumah kami dan rumah keluarga besarku tidaklah terlalu jauh. Karena memang daerah yang kami tinggali berkontur perbukitan. Posisi rumahku sedikit lebih ke atas dari rumah Emak yang dekat dengan jalan utama kampung kami.

Kampung tempat kami tinggal memang ada di antara gunung dan perbukitan dengan udara yang sejuk. Dekat dengan perkebunan teh milik perusahaan swasta terkenal seluas ratusan hektar. Kedua orang suami adik-adikku juga bekerja di perkebunan ini sebagai mandor perkebunan. Mereka pun sama seperti istri-istrinya yang juga adik-adikku, tidak suka dengan Bang Riswan.

Saat ku utarakan kepada Bang Riswan tentang ketidaksukaan saudara dan ipar-iparku, enteng saja ucapnya, "Biar saja, Neng, asal jangan Allah yang benci dengan kita."

Sesantai itu Bang Riswan menanggapinya, sementara aku sendiri sudah cape hati.

___

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (13)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni M Karim
lanjut penasaran dengan ceritanya
goodnovel comment avatar
Wanda Natasya
lanjutkan bosssssssssssssssss
goodnovel comment avatar
Ahmad Syarifudin
bagsus ceritanya menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 394 Waktu Terbaik

    Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 393 Seperti Terdakwa

    Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 392 Pernah Menggugat Tuhan

    Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 391 Siapa yang Harus Dipercaya

    Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 390 Masa Lalu yang Belum Selesai

    Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 389 Tamu Yang Ingin Bertemu

    [ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status