Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Bab 1. Dari selepas Salat Subuh setelah pulang dari pasar, aku sudah di rumah Emak. Siang ini kakakku yang tinggal di Jakarta bersama anak dan cucunya akan datang mengunjungi kami keluarga besarnya di Desa Cibungah. Aku berdua dengan Emak sudah sibuk mempersiapkan bahan-bahan yang akan kami masak nanti. "Dasar bodoh! Kalau si Riswan sayang, peduli, dan mampu memenuhi segala kebutuhan keluarga itu baru pantas dipertahankan. Nah ini ... laki cuma bisa nyakitin, nggak bisa nyukupin. Kerja pun cuma berkebun, masih saja disayang-sayang. Kamu itu dulu disekolahkan orang tua bukan makin pintar, malah otakmu semakin tumpul!" sentak Bapak dengan penuh emosi. "Bang Riswan sayang, Pak dengan Risma," jawabku. “Bang Riswan juga tidak pernah menyakiti hati Risma." Sembari terus memotong daun kangkung. "Dengan hidup susah bersamanya itu sudah nyakitin, Risma!" bentak Bapak lagi. "Kamu lihat tuh hidup kedua kakak dan adik-adikmu. Mereka terlihat senang
Bab 2. Keluarga kami tinggal di rumah sederhana dengan sepetak tanah yang Bang Riswan beli saat pertama merantau ke desa kami. Tanah kecil yang digunakannya buat berkebun, ditanami sayur-sayuran buat keperluan sehari-hari. Keluarga kami memang tidak seperti keluarga yang lain, tidak ada televisi, kulkas, bahkan handphone pun kami tidak punya. Tetapi untuk makan sehari-hari dengan lauk seadanya, Insya Allah tidak pernah kekurangan. Entahlah, walaupun kata bapak dan saudara-saudara suamiku selalu dibilang bodoh, tetapi jika aku dan anak-anaknya bertanya tentang apa pun, dia selalu tahu jawabannya. Enam tahun berumah tangga suamiku itu masih penuh misteri buatku. Selesai memotong cabai dan bawang, kulanjutkan dengan memarut kelapa untuk membuat santan. Dua kilogram daging sapi yang kubeli di pasar selepas Salat Subuh tadi yang akan diolah untuk dibuat rendang. Meninggalkan anak-anak yang masih terlelap tidur, dan Bang Riswan
Bab 3. Sembari menangis terdiam. Aku lanjutkan memarut kelapa sementara mereka terus saja membicarakan kejelekan suamiku, sambung menyambung. Dibilang tidak mau akur. Tidak mau bantu-bantu kerja. Padahal sedari pagi aku sibuk berdua dengan Emak. Tidak saudaraku, tidak juga pasangannya, hanya sibuk mengobrol saja dan menghabiskan jajanan pasar yang tadi aku beli di pasar bersama Emak. "Assalamualaikum." Sayup-sayup dari dalam dapur aku mendengar suara ucapan salam dari arah depan rumah dan itu suara suamiku, Bang Riswan. Dari dalam dapur aku dengar tidak ada satupun yang menjawab salam suamiku. Tidak dari orang-orang yang ada di ruang tamu, tidak juga dari saudara-saudaraku yang berdiri tidak jauh dari pintu dapur dan ruang tengah. Aku yang berada di pojok ruangan dekat kompor saja masih bisa mendengarkan. Bapak dan ketiga saudara-saudaraku langsung menuju ke ruang tamu. Perasaanku gelisah. Pasti mereka akan terus menghina dan menyudutkan B
Bab 4Setibanya di rumah langsung kuturunkan putri bungsuku Neti dari gendongan di ruang tamu. Sementara aku sendiri langsung masuk ke kamar, menutup dan mengunci pintunya, menangis sepuasnya di atas kasur dengan ditutupi bantal agar tangisku tidak terdengar."Neng, buka pintunya, Neng," panggil Bang Riswan sembari terus mengetuk-ngetuk pintu kamar. Aku pura-pura tidak mendengar."Neng, tolong dibuka, Neng, kita bicara sebentar," pinta suamiku. Aku tetap tidak menghiraukan. Aku kesal dan kecewa dengan Bang Riswan."Neng." Pintu kamar terus diketuk-ketuknya. Aku bangun dari kasur, terduduk di sisi ranjang."Neng, buka pintunya, kenapa jadi marah sama abang, Neng?" tanyanya lagi dari balik pintu kamar.Aku berdiri berjalan mendekati pintu. "Abang mau tahu kenapa eneng marah sama Abang?" jawabku dari balik pintu."Buka dulu pintunya atuh, Neng. Biar enak kita bicaranya," pinta Bang Riswan."Nggak perlu!" sentakku masih
Bab 5.Aku sengaja masuk ke rumah Emak lewat pintu belakang yang langsung menuju dapur. Menghindari saudara-saudaraku yang masih berkumpul di ruang tamu.Kulihat hanya Emak sendiri yang sedang sibuk memasak di dapur. Kasihan melihatnya, pekerjaan sebanyak ini harus Emak kerjakan sendirian. Dua orang adik perempuanku itu memang seperti tidak punya hati dan akal, tega membiarkan Emak memasak sendirian. Namun anehnya bapak selalu menyanjung mereka. Sedangkan aku yang selalu diandalkan Emak saat sedang sibuk atau ada acara besar di rumah, justru malah selalu dinyinyiri dengan kata-kata yang pedas, apalagi jika bukan tentang suamiku, Bang Riswan.Di bawah dekat pintu dapur terdapat dua ayam kampung yang sudah disembelih hanya belum dicabuti bulu-bulunya."Mak." panggilku pelan dari depan pintu.Emak yang sedang sibuk memasak bumbu rendang menoleh sekilas ke arahku. "Tolongin emak pesiangin ayam, yah, Ris.""Iya, Mak." Aku langsung masuk dan