Home / Romansa / Suami Miskinku Ternyata Konglomerat / 6. Tidak Ada Yang Dibanggakan

Share

6. Tidak Ada Yang Dibanggakan

Author: Pena Asmara
last update Last Updated: 2022-01-13 16:00:36

Bab 6.

"Yah kan tidak apa-apa. Setahu akang memang hanya Risma yang suka bantu Emak di dapur," seloroh Kang Darman membelaku. Wajah Ela dan Samsiah terlihat cemberut.

"Risma tidak pernah misah-misahin makanan. Emak sendiri kok yang sengaja bungkusin buat dia dan anak-anaknya," sahut Emak ikut membelaku. "Kasihan 'kan sudah capek-capek masak di dapur," jelas Emak lagi.

"Emak memang selalu beda perlakuan jika dengan Risma," ucap jahat Amran menuduh Emak. Sekarang Emak yang langsung terdiam karena dianggap membedakan anak-anaknya.

"Dengar tuh Sawiyah, jangan suka beda-bedain anak makanya!" sentak Bapak. "Akhirnya malu 'kan diceplosin sama anak." 

Paras wajah Emak terlihat sedih, beliau langsung menunduk.

"Sudah-sudah, acara kumpul-kumpul kok malah jadi ribut begini," sela Kang Darman.

Ical yang tadi disuruh memanggil suamiku tiba dan langsung masuk ke rumah.

"Riswannya mana Cal?" 

Ical menjawab sembari sedikit terengah-engah, sepertinya dia seperti habis berlari. "Sedang jalan ke mari, Wak. Sebentar lagi juga sampai." 

Tidak beberapa lama setelah kedatangan Ical, terdengar salam yang sangat familiar bagiku. 

"Assalamualaikum," ucap salam suamiku dari depan pintu sembari menggendong dan menuntun kedua anakku.

Bapak dan ketiga saudaraku yang memang tidak suka dengan Bang Riswan mereka acuh-acuh saja tidak menjawab salam doa dari suamiku, menoleh pun tidak.

"Ayuk Riswan sini makan dulu sama-sama," ajak Kang Darman. Yuli anak pertamaku melepas pegangan tangan ayahnya lantas berlari ke arahku.

Bang Riswan mulai masuk. Baru saja dua langkah mendekati Kang Darman, Bapak kembali bicara.

"Riswan, si Risma 'kan sudah ngebungkus dan misahin makanan buat kamu. Jadi yah tidak usah lagi makan bareng di sini. Minta saja sama si Risma nasi dan lauk yang sudah dia bungkus tadi," sindir Bapak. 

Terlihat memerah muka suamiku karena menahan malu. "Baik, Pak," jawab suamiku pelan.

Sementara air mataku mulai mengembang. Sakit dan tidak tega rasanya melihat Ayah dari anak-anakku dihinakan seperti itu. 

Kang Darman dan Teh Uni juga kedua anaknya yang juga cucu Bapak terlihat bingung mendengar ucapan kakeknya yang begitu tajam terhadap Bang Riswan.

"Biar sajalah, Pak. Makanan yang tersedia banyak ini," jelas Kang Darman.

"Iya silahkan saja makan jika tidak punya malu," ketus Bapak lagi. 

Suamiku hanya menunduk saja, lalu berbelok arah dan duduk disebelahku. 

Kang Darman yang sepertinya tidak enak hati karena sudah menawari Bang Riswan makan lantas menyendoki nasi beserta lauk-pauknya buat suamiku.

Bang Riswan mencoba menolak. Mungkin karena malu mendengar ucapan Bapak. Tetapi kakak tertuaku itu tetap memaksa. Bang Riswan akhirnya mengambil nasi yang sudah disodorkan Kang Darman.

"Sudah, makan saja Riswan. Lauk pauk yang sudah dibungkus 'kan bisa buat makan malam nanti," sindir Kang Amran.

"Iya, lagi pula jarang-jarang 'kan bisa makan enak," celetuk Ela. Mereka lalu menertawakan Bang Riswan. Air mataku mengembang. Perih rasanya suamiku direndahkan seperti itu.

Bang Riswan menoleh ke arahku, memandangku dengan tatapan sedih. Lalu berbisik pelan di telingaku. "Percayalah dengan suamimu ini, Neng. Suatu saat mereka akan menerima balasannya karena sudah melukai hatimu. Persiapkan dirimu untuk bersikap tega nanti." 

Aku pun menatap wajahnya, ada gurat kegeraman pada tatapan matanya. Aku sendiri pun tidak paham dan tidak mengerti apa maksud perkataannya yang seperti bernada ancaman. Ucapannya sama seperti saat aku baru mengenalnya, terkesan kaku dan tegas. Sudah sangat lama aku tidak mendengar Bang Riswan berbicara semeyakinkan itu.

"Jika mereka tega, aku akan lebih tega, Bang. Bukankah orang sombong harus dibalas juga dengan kesombongan?" bisikku juga pelan ke Bang Riswan. 

"Andai roda kehidupan kita berputar ya, Bang," ucapku lagi pelan sembari menghapus bulir bening yang sudah terlanjur terjatuh.

"Maafkan abang, Neng. Ternyata perubahan hidup yang abang jalani malah membuat Eneng menderita," bisiknya lagi.

"Perubahan hidup apa Bang? Memangnya apa yang berubah pada hidup Abang?" tanyaku kembali saling bicara berbisik dengan suamiku.

"Kalau tidak suka, bicara saja langsung. Tidak usah bisik-bisik di belakang," sindir Samsiah pada aku dan Bang Riswan. Bapak, Kang Amran, dan Ela melihat ke arahku dengan penuh kecurigaan.

"Jangan dibiasakan Suudzon, Siah. Biarkan saja mereka saling berbisik. Mereka kan suami istri," tegur Kang Darman.

Samsiah terlihat melengos mendapat teguran dari Kang Darman. Sepertinya dia tidak suka jika Kakak pertama kami itu membelaku terus.

"Tapi tidak pantas, Man. Orang segini banyak malah bicara sembunyi-sembunyi. Tidak ada tata kramanya," sindir Bapak. Sekarang berganti si Samsiah yang tersenyum karena selalu dibela Bapak.

Bang Riswan menggenggam jemariku erat seperti ingin menguatkan. Aku pun membalas genggamannya sebagai pengganti kata jika aku tidak akan meninggalkannya.

Bang Riswan sesuap pun tidak memakan makanan yang diberikan Kang Darman. Nasi beserta lauknya itu disuapkan ke anak-anak kami, Yuli dan Neti. Suamiku itu sepertinya mulai berpikir ulang tentang sikap sabar dan mengalahnya pada keluargaku. Apalagi sekarang suamiku tahu bahwa ada upaya keras dari keluargaku untuk memisahkan dia dengan aku dan anak-anaknya.

Acara makan bersama sudah selesai dilakukan. Lagi-lagi aku dan Emak yang sibuk merapikan bekas makan mereka. Terkadang suka tidak habis pikir tentang sikap Bapak, matanya jelas masih bisa melihat, masih bisa menyaksikan siapa yang paling sibuk jika sedang ada acara di rumah ini. Tetapi selalu hanya Ela dan Samsiah yang dia bela. Sedangkan dengan aku dan keluarga, Bapak terlihat benci sekali. Dan hanya satu alasannya ... dia benci dengan kemiskinan kami.

Seperti suatu rutinitas pasti jika kami sekeluarga besar sedang berkumpul, maka masing-masing dari kami selalu bercerita tentang segala kesibukan pekerjaan.

Diselipi tentang kesuksesan dan apa saja yang mereka miliki. Tohir dan Gufron, suami dari Ela dan Samsiah, bercerita tentang kesibukan mereka sebagai mandor perkebunan di pabrik pengolahan teh modern di desa kami. Juga ambisi mereka untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi di pabrik pengolahan teh tempat mereka bekerja.

Kang Amran pun bercerita tentang keuntungan besarnya sebagai penampung limbah pabrik teh tersebut. Juga ambisinya untuk menjadi supplier atau pemasok kertas karton ke PT Teh terbesar di provinsi ini. Dia juga bercerita jika sudah menyogok orang-orang dalam untuk lebih memuluskan rencananya.

Bapak terlihat senang saat mendengarkan cerita mereka semua.

Kang Darman dan putri-putrinya juga menantu-menantunya pun bercerita tentang kesibukan mereka masing-masing. Semuanya berbicara tentang kesuksesan yang sudah mereka peroleh.

"Kesibukan kamu apa Wan sekarang?" tanya Kang Darman pada suamiku.

"Saya Ka--"

"Pengangguran macam dia mana ada cerita yang bisa dibanggakan." sindir Bapak pada suamiku.

___

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Putra Agung
bagus bagus
goodnovel comment avatar
Be Fros
muter-muter
goodnovel comment avatar
Nurul Laeli
minta disumbat tuh mulut mertua
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 394 Waktu Terbaik

    Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 393 Seperti Terdakwa

    Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 392 Pernah Menggugat Tuhan

    Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 391 Siapa yang Harus Dipercaya

    Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 390 Masa Lalu yang Belum Selesai

    Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 389 Tamu Yang Ingin Bertemu

    [ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status