Home / Romansa / Suami Miskinku Ternyata Konglomerat / 4. Tidak Apa Dibilang Miskin

Share

4. Tidak Apa Dibilang Miskin

Author: Pena Asmara
last update Last Updated: 2022-01-13 15:57:08

Bab 4

Setibanya di rumah langsung kuturunkan putri bungsuku Neti dari gendongan di ruang tamu. Sementara aku sendiri langsung masuk ke kamar, menutup dan mengunci pintunya, menangis sepuasnya di atas kasur dengan ditutupi bantal agar tangisku tidak terdengar.

"Neng, buka pintunya, Neng," panggil Bang Riswan sembari terus mengetuk-ngetuk pintu kamar. Aku pura-pura tidak mendengar.

"Neng, tolong dibuka, Neng, kita bicara sebentar," pinta suamiku. Aku tetap tidak menghiraukan. Aku kesal dan kecewa dengan Bang Riswan.

"Neng." Pintu kamar terus diketuk-ketuknya. Aku bangun dari kasur, terduduk di sisi ranjang.

"Neng, buka pintunya, kenapa jadi marah sama abang, Neng?" tanyanya lagi dari balik pintu kamar. 

Aku berdiri berjalan mendekati pintu. "Abang mau tahu kenapa eneng marah sama Abang?" jawabku dari balik pintu.

"Buka dulu pintunya atuh, Neng. Biar enak kita bicaranya," pinta Bang Riswan. 

"Nggak perlu!" sentakku masih menyimpan rasa kesal.

Sebenarnya, jika tidak dalam kondisi kesal seperti ini cara bicara suamiku sering membuat tertawa. Dialeknya sudah mengikuti gaya bicara sebagian besar suku asli desa ini. Padahal dulu saat pertama kali aku mengenalnya, gaya bicaranya juga cara bersikapnya terkesan formil dan kaku.

Ukuran tubuh dan tinggi badan pun suamiku tergolong berbeda jika dibandingkan dengan pemuda-pemuda di kampung ini. Dengan tinggi 180 cm, dan berat badan 68 kilogram, seharusnya Bang Riswan tidak perlu takut untuk melawan. Bahkan jika perlu suamiku itu bisa berkelahi untuk membela harga diri. 

Mungkin aku termasuk istri dan saudara yang tidak baik karena suka membayangkan andai saja suamiku tidak hanya diam dan penurut tetapi juga sesekali harus melawan jika dizalimi.

"Neng," panggilnya lagi sembari terus mengetuk pintu. Mengagetkan lamunanku yang sedang membayangkan Bang Riswan berkelahi membela diri.

"Berisik Bang! Nang-neng, nang-neng terus!" ujarku tambah kesal. Aku berniat untuk kembali ke tempat tidur.

"Ada Emak ini, Neng," kata Bang Riswan dari luar kamar.

"Sudah Bang, jangan Emak dijadikan alasan, Eneng lagi kepingin sendiri." Sembari mulai naik ke atas kasur.

"Risma, buka pintu, Ris."

'Emak?' batinku membatalkan untuk mencoba tidur. Turun ke lantai kembali dan langsung cepat-cepat membuka pintu sembari menyeka air mataku dengan ujung lengan baju.

"Apa, Mak?" tanyaku saat pintu kamar sudah terbuka separuh. Sementara Bang Riswan yang berdiri di belakang Emak senyum-senyum mencoba mengambil hatiku. Tetapi malah kupelototi. Dia lalu menggaruk-garuk kepalanya lantas menggendong Neti dan melangkah ke luar pintu rumah.

"Kamu kok pulang? Siapa yang mau bantu emak?"

Ya Allah ... sedih aku mendengarnya, dan aku tidak punya keberanian untuk membantah, ataupun meminta Emak agar menyuruh anak-anak perempuannya yang lain. Karena aku tahu sifat pemalas kedua adikku itu, yang rajin hanya mulutnya saja jika sedang menyindir.

"I-iya, Mak, Risma nanti langsung ke rumah."

Emak menatap mataku lekat, berbicara pelan. "Orang sabar itu memang tidak enak, Ris, selalu pegal hati. Maka itu harus ditambah dengan bersikap ikhlas," ucap Emak langsung melangkah keluar rumah. Berdiri sebentar di depan pintu kembali berkata, "Jangan lama-lama yah, Ris, takut akangmu dan keluarganya dari kota keburu datang. Semuanya belum selesai."

"Iya, Mak, Risma pasti langsung ke rumah." 

Emak sudah beranjak pergi. Aku lantas kembali ke dalam kamar untuk mengambil hijab yang tadi kugeletakkan di kasur. Merapikan pakaian yang sedikit kusut, lantas segera pergi menyusul.

Bang Riswan terlihat sedang bersama kedua anak kami memetik tanaman cabai yang sedang berbuah.

"Bang, aku ke rumah Emak dulu," ujarku cepat langsung bergegas pergi, tidak ingin berbicara lama. 

"Neng," panggil Bang Riswan sedikit berlari mendekat. Aku lantas berhenti lalu berbalik menatapnya.

"Maafkan Abang ya, Neng, sudah membuat Eneng kesal," ucapnya pelan. 

Kutatap mata suamiku dalam. "Eneng hanya cape, Bang, mendengar dan melihat Abang selalu direndahkan dan dimanfaatkan oleh saudara-saudara eneng," jawabku juga pelan.

"Biarkan saja, Neng, asal jangan Eneng saja yang merendahkan Abang," ujar suamiku sembari menggenggam tanganku.

"Tapi eneng tidak rela, Bang. Seolah-olah Abang itu tidak ada harga dirinya di mata saudara-saudara eneng. Abang terlalu diam dan sabar menghadapi mereka. Itu yang membuat saudara-saudara eneng semakin berbuat seenaknya sama Abang," jelasku lagi.

"Tetapi Abang ikhlas kok, Neng," ucap Bang Riswan. 

Kutepiskan pelan tangan suamiku agar terlepas dari jemariku. "Iya, Abang ikhlas, tapi Eneng nggak!" jawabku ketus, langsung berbalik badan meninggalkan Bang Riswan. Suamiku itu benar-benar bikin dongkol, nggak ngerti sama sekali dengan perasaan istrinya. Padahal aku berkata seperti ini karena kasihan melihat dia diperlakukan sembarangan.

Bang Riswan kembali lari mengejar dan menahan langkahku. Kembali aku berhenti.

"Neng, maafkan Abang yah? Tetapi tidak rugi kok Neng, jika kita mau berlaku ikhlas dengan apa yang sedang menimpa kita," jelas Bang Riswan. Dan aku menganggapnya keras kepala.

Kali ini mataku menatap jauh lebih tajam. "Memangnya Abang ikhlas jika kita bercerai dan anak-anak jauh dari Abang?" tanyaku menekan.

"Kok Eneng bicaranya sejauh itu?" terheran suamiku mendengar ucapanku, ucapan yang selama ini aku sembunyikan darinya.

"Asal Abang tahu, eneng tuh selalu didesak oleh Bapak dan saudara-saudara eneng yang lain agar meminta cerai sama Abang. Karena Abang dianggap miskin oleh mereka." 

Terperangah suamiku saat mendengarkan aku menceritakan apa yang sebenarnya tidak ingin suamiku ketahui.

"Makanya, eneng minta sama Abang. Nggak apa-apa kita dibilang miskin tetapi jangan sampai Abang dianggap tidak punya harga diri. Jika semuanya habis mereka injak, apalagi yang bisa eneng banggakan dari suami sendiri Bang?" ucapku kembali menangis terisak.

Suamiku diam terpaku, sepertinya dia kaget mendengar jika aku pun dipaksa untuk bercerai darinya. 

"Titip anak-anak, Bang. Aku harus segera membantu Emak." Sembari mengusap air mata, aku lantas beranjak pergi. Meninggalkan Bang Riswan yang masih berdiri diam terpaku.

___

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Atiman Burhan
lanjut thoor ikut sedih ah..
goodnovel comment avatar
Arynn Tan
mempunyai nilai nilai murni dalam alur ceritanya. "Orang sabar itu memang tidak enak, selalu pegal hati. Maka itu harus ditambah dengan bersikap ikhlas. "
goodnovel comment avatar
Adelia Zahra
ceritanya beda ama yg lain kisah dan lika liku baru . mantap
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 394 Waktu Terbaik

    Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 393 Seperti Terdakwa

    Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 392 Pernah Menggugat Tuhan

    Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 391 Siapa yang Harus Dipercaya

    Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 390 Masa Lalu yang Belum Selesai

    Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Part 389 Tamu Yang Ingin Bertemu

    [ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status