Bab 4
Setibanya di rumah langsung kuturunkan putri bungsuku Neti dari gendongan di ruang tamu. Sementara aku sendiri langsung masuk ke kamar, menutup dan mengunci pintunya, menangis sepuasnya di atas kasur dengan ditutupi bantal agar tangisku tidak terdengar.
"Neng, buka pintunya, Neng," panggil Bang Riswan sembari terus mengetuk-ngetuk pintu kamar. Aku pura-pura tidak mendengar.
"Neng, tolong dibuka, Neng, kita bicara sebentar," pinta suamiku. Aku tetap tidak menghiraukan. Aku kesal dan kecewa dengan Bang Riswan.
"Neng." Pintu kamar terus diketuk-ketuknya. Aku bangun dari kasur, terduduk di sisi ranjang.
"Neng, buka pintunya, kenapa jadi marah sama abang, Neng?" tanyanya lagi dari balik pintu kamar.
Aku berdiri berjalan mendekati pintu. "Abang mau tahu kenapa eneng marah sama Abang?" jawabku dari balik pintu.
"Buka dulu pintunya atuh, Neng. Biar enak kita bicaranya," pinta Bang Riswan.
"Nggak perlu!" sentakku masih menyimpan rasa kesal.
Sebenarnya, jika tidak dalam kondisi kesal seperti ini cara bicara suamiku sering membuat tertawa. Dialeknya sudah mengikuti gaya bicara sebagian besar suku asli desa ini. Padahal dulu saat pertama kali aku mengenalnya, gaya bicaranya juga cara bersikapnya terkesan formil dan kaku.
Ukuran tubuh dan tinggi badan pun suamiku tergolong berbeda jika dibandingkan dengan pemuda-pemuda di kampung ini. Dengan tinggi 180 cm, dan berat badan 68 kilogram, seharusnya Bang Riswan tidak perlu takut untuk melawan. Bahkan jika perlu suamiku itu bisa berkelahi untuk membela harga diri.
Mungkin aku termasuk istri dan saudara yang tidak baik karena suka membayangkan andai saja suamiku tidak hanya diam dan penurut tetapi juga sesekali harus melawan jika dizalimi.
"Neng," panggilnya lagi sembari terus mengetuk pintu. Mengagetkan lamunanku yang sedang membayangkan Bang Riswan berkelahi membela diri.
"Berisik Bang! Nang-neng, nang-neng terus!" ujarku tambah kesal. Aku berniat untuk kembali ke tempat tidur.
"Ada Emak ini, Neng," kata Bang Riswan dari luar kamar.
"Sudah Bang, jangan Emak dijadikan alasan, Eneng lagi kepingin sendiri." Sembari mulai naik ke atas kasur.
"Risma, buka pintu, Ris."
'Emak?' batinku membatalkan untuk mencoba tidur. Turun ke lantai kembali dan langsung cepat-cepat membuka pintu sembari menyeka air mataku dengan ujung lengan baju.
"Apa, Mak?" tanyaku saat pintu kamar sudah terbuka separuh. Sementara Bang Riswan yang berdiri di belakang Emak senyum-senyum mencoba mengambil hatiku. Tetapi malah kupelototi. Dia lalu menggaruk-garuk kepalanya lantas menggendong Neti dan melangkah ke luar pintu rumah.
"Kamu kok pulang? Siapa yang mau bantu emak?"
Ya Allah ... sedih aku mendengarnya, dan aku tidak punya keberanian untuk membantah, ataupun meminta Emak agar menyuruh anak-anak perempuannya yang lain. Karena aku tahu sifat pemalas kedua adikku itu, yang rajin hanya mulutnya saja jika sedang menyindir.
"I-iya, Mak, Risma nanti langsung ke rumah."
Emak menatap mataku lekat, berbicara pelan. "Orang sabar itu memang tidak enak, Ris, selalu pegal hati. Maka itu harus ditambah dengan bersikap ikhlas," ucap Emak langsung melangkah keluar rumah. Berdiri sebentar di depan pintu kembali berkata, "Jangan lama-lama yah, Ris, takut akangmu dan keluarganya dari kota keburu datang. Semuanya belum selesai."
"Iya, Mak, Risma pasti langsung ke rumah."
Emak sudah beranjak pergi. Aku lantas kembali ke dalam kamar untuk mengambil hijab yang tadi kugeletakkan di kasur. Merapikan pakaian yang sedikit kusut, lantas segera pergi menyusul.
Bang Riswan terlihat sedang bersama kedua anak kami memetik tanaman cabai yang sedang berbuah.
"Bang, aku ke rumah Emak dulu," ujarku cepat langsung bergegas pergi, tidak ingin berbicara lama.
"Neng," panggil Bang Riswan sedikit berlari mendekat. Aku lantas berhenti lalu berbalik menatapnya.
"Maafkan Abang ya, Neng, sudah membuat Eneng kesal," ucapnya pelan.
Kutatap mata suamiku dalam. "Eneng hanya cape, Bang, mendengar dan melihat Abang selalu direndahkan dan dimanfaatkan oleh saudara-saudara eneng," jawabku juga pelan.
"Biarkan saja, Neng, asal jangan Eneng saja yang merendahkan Abang," ujar suamiku sembari menggenggam tanganku.
"Tapi eneng tidak rela, Bang. Seolah-olah Abang itu tidak ada harga dirinya di mata saudara-saudara eneng. Abang terlalu diam dan sabar menghadapi mereka. Itu yang membuat saudara-saudara eneng semakin berbuat seenaknya sama Abang," jelasku lagi.
"Tetapi Abang ikhlas kok, Neng," ucap Bang Riswan.
Kutepiskan pelan tangan suamiku agar terlepas dari jemariku. "Iya, Abang ikhlas, tapi Eneng nggak!" jawabku ketus, langsung berbalik badan meninggalkan Bang Riswan. Suamiku itu benar-benar bikin dongkol, nggak ngerti sama sekali dengan perasaan istrinya. Padahal aku berkata seperti ini karena kasihan melihat dia diperlakukan sembarangan.
Bang Riswan kembali lari mengejar dan menahan langkahku. Kembali aku berhenti.
"Neng, maafkan Abang yah? Tetapi tidak rugi kok Neng, jika kita mau berlaku ikhlas dengan apa yang sedang menimpa kita," jelas Bang Riswan. Dan aku menganggapnya keras kepala.
Kali ini mataku menatap jauh lebih tajam. "Memangnya Abang ikhlas jika kita bercerai dan anak-anak jauh dari Abang?" tanyaku menekan.
"Kok Eneng bicaranya sejauh itu?" terheran suamiku mendengar ucapanku, ucapan yang selama ini aku sembunyikan darinya.
"Asal Abang tahu, eneng tuh selalu didesak oleh Bapak dan saudara-saudara eneng yang lain agar meminta cerai sama Abang. Karena Abang dianggap miskin oleh mereka."
Terperangah suamiku saat mendengarkan aku menceritakan apa yang sebenarnya tidak ingin suamiku ketahui.
"Makanya, eneng minta sama Abang. Nggak apa-apa kita dibilang miskin tetapi jangan sampai Abang dianggap tidak punya harga diri. Jika semuanya habis mereka injak, apalagi yang bisa eneng banggakan dari suami sendiri Bang?" ucapku kembali menangis terisak.
Suamiku diam terpaku, sepertinya dia kaget mendengar jika aku pun dipaksa untuk bercerai darinya.
"Titip anak-anak, Bang. Aku harus segera membantu Emak." Sembari mengusap air mata, aku lantas beranjak pergi. Meninggalkan Bang Riswan yang masih berdiri diam terpaku.
___
Bab 5.Aku sengaja masuk ke rumah Emak lewat pintu belakang yang langsung menuju dapur. Menghindari saudara-saudaraku yang masih berkumpul di ruang tamu.Kulihat hanya Emak sendiri yang sedang sibuk memasak di dapur. Kasihan melihatnya, pekerjaan sebanyak ini harus Emak kerjakan sendirian. Dua orang adik perempuanku itu memang seperti tidak punya hati dan akal, tega membiarkan Emak memasak sendirian. Namun anehnya bapak selalu menyanjung mereka. Sedangkan aku yang selalu diandalkan Emak saat sedang sibuk atau ada acara besar di rumah, justru malah selalu dinyinyiri dengan kata-kata yang pedas, apalagi jika bukan tentang suamiku, Bang Riswan.Di bawah dekat pintu dapur terdapat dua ayam kampung yang sudah disembelih hanya belum dicabuti bulu-bulunya."Mak." panggilku pelan dari depan pintu.Emak yang sedang sibuk memasak bumbu rendang menoleh sekilas ke arahku. "Tolongin emak pesiangin ayam, yah, Ris.""Iya, Mak." Aku langsung masuk dan
Bab 6. "Yah kan tidak apa-apa. Setahu akang memang hanya Risma yang suka bantu Emak di dapur," seloroh Kang Darman membelaku. Wajah Ela dan Samsiah terlihat cemberut. "Risma tidak pernah misah-misahin makanan. Emak sendiri kok yang sengaja bungkusin buat dia dan anak-anaknya," sahut Emak ikut membelaku. "Kasihan 'kan sudah capek-capek masak di dapur," jelas Emak lagi. "Emak memang selalu beda perlakuan jika dengan Risma," ucap jahat Amran menuduh Emak. Sekarang Emak yang langsung terdiam karena dianggap membedakan anak-anaknya. "Dengar tuh Sawiyah, jangan suka beda-bedain anak makanya!" sentak Bapak. "Akhirnya malu 'kan diceplosin sama anak." Paras wajah Emak terlihat sedih, beliau langsung menunduk. "Sudah-sudah, acara kumpul-kumpul kok malah jadi ribut begini," sela Kang Darman. Ical yang tadi disuruh memanggil suamiku tiba dan langsung masuk ke rumah. "Riswannya mana Cal?" Ical menjawab sembari se
Bab 7. "Pengangguran macam dia mana ada cerita yang bisa dibanggakan." sindir Bapak pada suamiku. "Tidak boleh begitu Pak," tegur Kang Darman mencoba mengingatkan Bapak. "Tidak boleh mengapa? Memang pada kenyataannya suami si Risma ini pengangguran kok!" sentak Bapak keras. "Walaupun kami miskin dan kekurangan tapi aku dan Bang Riswan tidak pernah merepotkan saudara kok, Kang Darman. Apalagi sampai harus meminta-minta," ujarku menjelaskan. Tidak tahan juga untuk jika tidak ikut bicara. "Belum lihat saja nanti jika anak-anak Teh Risma sakit. Pasti nanti saudara-saudara juga yang diuber-uber buat cari pinjaman," sindir Ela kepadaku. Bahkan ucapannya terdengar seperti sedang menyumpahi anak-anakku. "Insya Allah tidak akan," jawab cepat Bang Riswan. "Alahhh, sombong kau Riswan! Aku sumpahin biar anakmu sakit. Pengen tahu benar tidak nanti ucapanmu!" "Bapakk ...!" Sakit hatiku mendengar ucapan Bapak. Bahkan sakin
Part. 8Pembicaraanku dengan Kang Darman masih saja terus berlanjut. Suasana malam yang hening dengan udaranya yang dingin dan suara jangkrik yang masih sesekali terdengar."Mungkin setiap orang kepinginnya seperti itu Kang, tetapi jika seandainya suamiku hanya sanggup memenuhi kebutuhan utama sesuai standar tanggung jawab seorang suami, aku tidak bisa memaksa untuk meminta lebih." Kupegang tangan Kang Darman, saudara yang paling sayang kepadaku."Aku percaya suamiku pria yang bertanggung jawab, Kang. Dia akan penuhi setiap kebutuhan dasar kami, termasuk jika nanti anak-anakku besar dan butuh biaya yang lebih tinggi. Sekarang ini Bang Riswan hanya sanggup memenuhi kebutuhan sesuai standar hidup, dan itu sudah sesuai dengan tuntunan agama kita, Kang?"Aku tidak mengeluh karena dianggap miskin, tetapi aku tidak terima jika orang miskin dianggap tidak punya harga diri." Tidak terasa air mataku mengembang dan luruh perlahan. Kang Darman merengkuh bahuku, mend
Part 9Jalan utama kampung yang dekat dari rumah Emak terlihat ramai sekali, tidak seperti biasanya, karena ujung jalan ini ada di atas bukit milik perkebunan swasta yang tidak ada apa pun di sana. Terlihat mobil-mobil truck berukuran besar lalu lalang melewati jalan dengan membawa barang-barang material, seperti hendak membuat sebuah bangunan besar.Bukit di ujung jalan desa ini mempunyai pemandangan yang sangat indah. Berhadapan langsung dengan gunung, hamparan bukit teh, dan lembah hijau di bawahnya. Dari rumah Emak pun bukit itu terlihat sangat jelas, dengan banyak orang terlihat kecil dan kendaraan beragam macam. Entah, sedang dibangun apa di sana, berniat menanyakan nanti dengan Emak.Aku datang bersamaan dengan kedatangan dua orang pembawa sembako suruhanku. Emak terlihat terkejut dengan apa yang kubawa. Ini memang boleh dibilang pertama kalinya aku bisa memberikan sesuatu buat beliau. Seandainya saja hidupku lebih mampu, pasti aku akan sering-serin
PART 10Sudah hampir berjalan dua bulan, belum juga kuketahui keberadaan Bang Riswan. Segala doa kupanjatkan kepada Pemilik Kehidupan, untuk meminta perlindungan dan keselamatan di manapun suamiku berada. Menangis di sepertiga malam. Pagi dan petang, berharap semoga suamiku baik-baik saja di manapun dia berada.Sebenarnya, selama tidak ada Bang Riswan aku tidak ada kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam dua bulan ini saja orang-orang kantor dari perkebunan sudah tiga kali datang membawa paket sembako dalam jumlah yang sama seperti saat pertama kali memberi. Dua kali dari orang kantor yang sama, memberikan uang tunai dalam amplop dengan jumlah yang cukup besar, yang aku sendiri belum pernah memegang uang dalam jumlah sebanyak itu.Aku berusaha untuk menolak pemberian uang tersebut dan tidak mau menerima, tetapi orang-orang kantor yg dikirim itu memohon-mohon agar aku mau mengambilnya, takut mereka dipecat jika aku menolaknya.Setiap kali kut
PART 11Kedua putriku Yuli dan Neti sudah terlihat cantik dan lucu. Memakai baju muslim dengan warna yang senada, hijab motif bunga-bunga macam princess muslimah.Gamis terusan berbahan halus berwarna coklat muda dengan ujung lengan melebar, juga hijab hijau tua dari kain yang ku-kreasikan sendiri menjadi pakaian yang kupilih untuk memenuhi undangan dari pabrik pengolahan teh tersebut.Dari dalam jendela rumah sudah terlihat para tetangga dengan pakaian rapih dan bagus mulai berangkat menuju tempat yang sama.Undangan pabrik besar tersebut menjadi bahan perbincangan yang hangat dalam dua hari terakhir, karena hal ini belum pernah terjadi selama pabrik mulai berdiri di desa ini.Tertulis juga di situ jika setiap kepala keluarga yang hadir akan menerima paket sembako lengkap dan uang akomodasi dari pihak perusahaan. Juga ada sedikit rasa penasaran dari warga yang ingin mengetahui seperti apa dalam pabrik tersebut."sudah siap buat jalan-ja
Part 12"Sebentar lagi ya, Neng," jawab Bang Riswan, saat aku ingin mengajaknya pulang."Tapi, Bang.""Sudah, Neng, abaikan saja."Lampu ruangan seluruh aula lantas dimatikan. Semua lampu lantas menyorot ke atas panggung megah tersebut. Beberapa pria berpakaian seragam safari hitam berbaris dari pintu samping aula hingga sampai ke atas panggung. Pembawa acara mempersilahkan semua undangan yang hadir untuk berdiri. Sepertinya tamu agung yang ditunggu-tunggu sudah hadir di tempat ini.Seperti sebuah pertunjukan besar, lampu utama hanya menyorot ke arah panggung. Sinar handphone yang dinyalakan oleh para tamu undangan macam cahaya ribuan kunang-kunang yang berterbangan.Aku dan Bang Riswan hanya terdiam menyaksikan, kedua anakku menoleh kesana-kemari dengan penuh kekaguman."Hanya orang penghuni hutan, di jaman sekarang yang tidak punya handphone."Walaupun gelap, aku tahu jika itu suara Ela."Kasihan deh, gue." Suara Samsiah