"M ... menikah?"Ayah mengangguk dengan seulas senyum. "Dia akhirnya datang ngakuin semua kebrengsekannya. Ayah dan Mamamu nggak berhenti bersyukur, Drey. Akhirnya, Tuhan ngabulin doa Mamamu secepat ini. Ayah senang, Nak."Bukannya bahagia karena Kian berhasil menemui kedua orang tuaku, justru aku merasa akan dipermainkan kembali olehnya. Berkali-kali ditipu oleh ucapan manis dan kesungguhan wajahnya tidak menjamin apa yang ia ikrarkan berbanding lurus dengan yang ia lakukan.Bagiku, Kian adalah bunglon bermuka seribu!Bajingan!Brengsek!Pecundang!Aku menggeleng pelan sebagai jawaban atas kebahagiaan Ayah karena kedatangan Kian. Mungkin bagi Ayah, itu adalah oase di tengah gurun Sahara, tetapi bagiku hanyalah fatamorgana. Penuh dengan tipuan. Dan selamanya akan begitu.Aku sudah berikrar jika tidak akan memilih Kian atau Affar. Bagiku mereka berdua sama-sama brengseknya. "Gimana dia bisa tahu rumah kita, Yah?!""Dia cari tahu semuanya lewat data kepegawaianmu yang ada di kantor pus
Percaya Kian akan menjadi 'pria yang baik'?Aku tidak sependapat!Dia sudah membuatku benar-benar cinta mati saat itu tetapi kini cintaku untuknya sudah MATI. Andai aku diberi pilihan oleh Tuhan untuk kembali memilih, lebih baik aku tidak perlu diterima bekerja di Antara Karya dari pada harus bertemu dengan Affar lalu Kian. Semalam, setelah mendengar segala bujukan Ayah, dengan tegas aku berkata bila ..."Aku minta maaf, Yah. Aku nggak bisa terima Kian lagi. Keputusanku udah final.""Drey, lalu gimana sama Mamamu? Dia cuma nggak mau kamu hidup sendirian besarin anak. Sumpah Nak, jadi orang tua tunggal itu nggak mudah. Ayah dan Mamamu udah pernah ngalamin, jadi kamu jangan ikuti jejak kami.""Bukannya Ayah bilang bisa bantu aku kalau ada masalah? Masalahku cuma satu, aku butuh Mama bantu jaga anakku selama aku kerja. Semua rasaku ke Kian udah usai, Yah. Andai Ayah bisa ngerasain gimana keringnya hatiku sekarang.""Aku masih ingat semua kenangan kami. Gimana pertama kalinya aku jatuh h
POV PARALIO"Woi ... Kian!!! Bangun nggak lo?!"Aku hanya merasa kaki kiriku mendapat tendangan lalu kesadaranku sedikit terjaga. Hanya mengerjapkan mata dengan lemah."Bangun woi!!! Clubnya mau tutup, dodol!!" Aku mendengar seseorang memanggil namaku dan berkata club akan tutup tapi aku tidak kuat membawa diriku sendiri. Membuka mata saja sangat berat sekali."Payah lo, Kian!! Udah desperate bikin gue kerepotan! Anjir lo emang. Lembek jadi laki.""Heran gue, selain cakep sama mapan apa sih yang dilihat Sasha dari lo sih, Kian?!"Aku bisa mendengar geruruan Alfonso tapi ragaku enggan berkutik atau menanggapi ucapannya. Lalu tidak berapa lama aku merasakan saku celanaku dirogoh Alfonso. "Rick, tolong lo bawa mobilnya, Kian. Anterin ke rumah gue. Biar dia jadi urusan gue.""Kenapa si duda karatan itu?" "Broken heart. Urusan cewek.""Sama siapa?""Sasha."Terdengar suara kekehan Erick. "Kirain masih mabok mantan istri.""No anymore. Sekarang ganti mabok gadis."Detik kemudian aku mera
POV PARALIO "Bajingan!" "Terserah kamu mau bilang apa, Sha! Aku capek kamu cuekin terus! Aku mau kamu hargai perjuanganku!" "Setelah luka yang lo kasih ke gue?! Demi Tuhan Kian, gue nggak sudi hidup sama pria pemaksa kayak lo!!" "Terserah! Aku bakal kasih kamu hukuman lebih dari yang kamu bayangin kalau berani nggak nurut atau nggak hargai perjuanganku! Aku bisa bikin Pak RT langsung nikahin kita di rumahmu kalau kamu nggak nurut!!" Ucapku tegas dan tajam, biar saja Sasha terluka karena ucapanku. "Lo sakit jiwa, Kian!" Detik kemudian sambungan terputus. Baik aku dan Sasha sama-sama diliputi kemarahan. Aku menginginkannya saat ini juga tanpa mengindahkan perasaannya, tapi Sasha yang enggan bersamaku. "Selamat berjuang! Kayaknya naklukin Sasha bakal nggak mudah, Kian." "Oh ya, semalam waktu video call, wajah Sasha kok rada pucat ya?! Apa Sasha nggak enak badan ya?" Mendengar itu kekesalanku menguap berganti kekhawatiran. Namun malangnya, aku tidak bisa menghubungi nomer Sasha m
POV PARALIO Hati lelaki mana yang tidak bergetar melihat perempuan yang dulu kerap bersamanya kini justru terbaring nyenyak di atas tumpukan selimut yang digelar di atas lantai? Padahal ia tengah hamil besar. Sasha rela memberikan ranjangnya untukku tanpa mau banyak berdebat lalu ia sendiri menidurkan dirinya yang tengah berbadan dua di atas alas yang kuyakini tidak empuk sama sekali. Dia sudah banyak berkorban untukku tapi ... aku tidak pernah melihatnya. Derai air mata yang ia tumpahkan tanpa kuketahui cukup menyimpulkan jika aku teramat dalam melukai hatinya hingga ia rela membawa keturunanku pergi menjauh dari kehidupanku. Memilih tidak mau berdebat terlalu panjang dengan lelaki 'kurang' bertanggung jawab sepertiku. Aku mengusap air mata yang membasahi pipi. Ini kali pertama aku menangisinya yang begitu lelap tertidur. Hingga tidak terganggu dengan belaian tanganku di rambutnya. Perlahan aku menggendong tubuhnya yang berisi itu menuju ranjang lalu membaringkannya perlahan. T
POV PARALIO "Sha? Jawab pertanyaanku."Sasha memilih bungkam lalu kembali melepaskan tangkupan tanganku di kedua pipinya. "Sorry, Kian."Dia bangkit dari ranjang lalu pergi meninggalkanku yang masih termenung di kamarnya seorang diri.Yeah, meski aku berucap cinta padanya, tetapi Sasha tetap tidak mau menerimaku kembali. Hatinya telah kaku dan dingin untuk kusentuh. "Aku nggak nyangka kalau kamu bakal sesulit ini dideketin lagi, Sha. Lalu aku harus apa biar kamu luluh?" Gumamku seorang diri. Sadar hari ini aku harus menuju rumah orang tuanya, akhirnya aku menyudahi kesedihanku sendiri karena penolakan Sasha. Dia terlihat sudah segar dengan memakai baby dol warna kuning. Lalu giliranku membersihkan diri dan setelahnya menawarkan sarapan bersama tapi jawabannya lagi-lagi membuat hatiku ngilu."Sarapan di luar yuk, Sha?""Gue bisa beli sarapan sendiri. Lo nggak usah sok perhatian."Langkah kakinya terhenti setelah siap dengan sweater yang melekat di tubuhnya sambil membawa helm. "Gu
POV PARALIO "Kalau firasat gue sih lo bakal diperdaya seenaknya sama bokapnya Sasha. Bisa aja ntar lo disuruh naik genteng. Jadi ya lo minim persiapkan mental deh.""Naik genteng? Mending gue disuruh nyapu kebon, Al."Alfonso terkekeh begitu senang melihatku diperdaya. "Keren banget loh bokap tirinya Sasha. Ngasih lo hukuman fisik sama mental.""Gue udah prediksi. Soalnya dia nggak minta duit atau materi apapun.""Ya udah buruan bersihin, keburu datang orangnya."Akhirnya setelah berjibaku dengan debu dan kotoran yang menempel di mobil keluarga Sasha, aku duduk santai di teras rumah. Rasa haus mulai menyambangi dan betapa teganya mereka tidak menyajikan minuman apapun untukku. "Gue diperlakukan kayak babu sungguhan, padahal gue punya jabatan di kantor. Luar biasa!" Gerutuku.Ingin keluar membeli air minum tapi mereka membawa pergi mobilku. Juga, aku khawatir mereka akan menambah daftar hukuman jika tidak menemukanku saat datang.Yeah, akhirnya aku menyerah dengan keadaan. Duduk leseh
POV PARALIO"Tadi juragan bilang, Mas Kian harus tidur sini. Nggak boleh kemana-mana. Besoknya baru bantuin saya ngurus kerjaan yang lain."Mataku masih berselancar memandangi apa saja yang ada di dalam bangunan konveksi ini. Lebih tepatnya mencari secuil kenyamanan yang kebutuhkan untuk terlelap nanti malam. "Pak, nggak ada bantal gitu?!"Pak Mul menggeleng sambil tersenyum. "Saya biasanya tidur selimutan sarung sama ambil kain yang udah dipotongi buat dijadiin bantal, Mas."Aku kembali menghela nafas sambil merasakan pergolakan dalam batin. Mau bagaimana lagi, ini adalah titah dari ayah tiri Sasha bila aku ingin mendapat restu untuk menikahi putrinya."Pak, saya mau keluar dulu beli bantal sama alas tidur yang lebih nyaman.""Oh silahkan, Mas."Baru saja aku akan memasuki mobil, panggilan dari ayah tiri Sasha membuatku gugup. Kali ini, apa lagi yang mau beliau ucapkan?!Aku harap itu bukan sesuatu hal yang makin menambah daftar kerunyaman soreku kali ini."Udah sampai?""Sudah, Pak