Hana adalah wanita karier muda yang cerdas, disiplin, dan berdedikasi pada pekerjaannya di dunia marketing. Hidupnya yang teratur berubah saat Arga, bos baru yang karismatik, cerdas, dan dominan, datang ke kantornya. Pertemuan pertama mereka meninggalkan ketegangan yang sulit dijelaskan: tatapan tajam Arga, senyumnya yang hangat tapi penuh kendali, dan pertanyaannya yang menantang membuat Hana merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar interaksi profesional. Seiring waktu, hubungan mereka berkembang menjadi tarik-menarik yang halus namun terasa di setiap percakapan, gestur kecil, dan momen kebersamaan di kantor. Hana berjuang menjaga profesionalismenya, sementara Arga perlahan menembus batas-batas yang ia pertahankan. “Pelukan Terlarang” adalah kisah romansa dewasa yang realistis, tentang konflik antara logika dan perasaan, antara profesionalisme dan ketertarikan pribadi, di tengah tekanan dunia kerja yang menuntut fokus, kompetensi, dan kendali diri.
view moreHana baru saja selesai presentasi, keringat dingin tetap terasa di dahi walau AC menderu. Klien puas bukan main, target pun tercapai. Saat riuh rendah pujian mulai reda, Hana ingin cepat-cepat keluar. Tapi, sebuah suara berat menghentikannya.
Menarik. Tapi kayaknya kamu bisa lebih... fleksibel, ya, Hana? Hana menoleh. Arga Wirawan, sang CEO muda yang namanya sering wara-wiri di majalah bisnis, berdiri tegap bak patung. Rambut hitamnya klimis tertata, matanya setajam elang, seolah bisa membaca pikiran siapa saja. Terkenal dingin, cerdas, dan suka mempermainkan lawan bicara. Hana tarik napas dalam-dalam. Dia bukan tipe yang mudah ciut. Rambut hitamnya yang panjang terasa berat di pundak, kulitnya sedikit memerah karena gerah dan tegang. Matanya menatap Arga dengan hati-hati. Sejak kuliah manajemen, Hana selalu jadi bintang kelas. Magang di berbagai perusahaan besar membuatnya jadi pekerja keras, pantang menyerah, dan susah diatur. Proyek apa pun yang ditangani, hasilnya selalu di atas rata-rata. Sepertinya, Arga sadar akan hal itu. Dari sekian banyak kandidat, Hana bukan yang termanis, paling nurut, atau gampang dikendalikan. Hana menuntut dirinya sendiri lebih tinggi daripada orang lain, dan tanpa disadari, hal itu membuat Arga tertarik. Fleksibel dalam hal apa, Pak? Hana berusaha tenang, membusungkan dada dan merapikan roknya, berusaha menampilkan kesan profesional namun tetap elegan. Arga menyandarkan tubuhnya ke meja, tangannya meraih dasi, melonggarkannya sedikit. Matanya menelusuri tubuh Hana dari atas ke bawah, menilai terang-terangan. Target marketing memang sudah tercapai. Tapi masih ada deal tambahan. Hana mengerutkan kening. Deal apa? Arga menyunggingkan senyum tipis, senyum yang bikin perut Hana mulas. Makan malam. Malam ini. Sama saya. Anggap saja... selebrasi kecil. Hana menggeleng cepat. Maaf, saya tidak bisa. Ada urusan lain. Arga berdiri tegak, tinggi badannya menjulang, parfumnya menusuk hidung, membuat jarak di antara mereka terasa hilang seketika. Saya kurang suka ditolak. Apalagi sama orang yang pengen bertahan di perusahaan ini. Jantung Hana berdegup kencang. Kalimat itu lebih terdengar seperti ancaman daripada ajakan. Pak Arga, Bapak bercanda, kan...? Saya jarang bercanda, Arga memotong cepat. Ia mengeluarkan selembar kertas kontrak dari map, mendorongnya ke atas meja. Satu tanda tangan dari kamu, dan saya pastikan kariermu langsung meroket. Tapi kalau kamu nolak... Tatapannya berubah tajam. Kita lihat saja seberapa lama kamu bisa bertahan. Hana terdiam. Untuk pertama kalinya, ia sadar: pria ini bukan sekadar CEO brilian. Dia adalah predator profesional dengan senyum mematikan. --- Hana menatap kontrak di atas meja. Kertas putih itu terlihat seperti jebakan yang berkilauan emas. Menggoda sekaligus menakutkan. Kenapa harus saya, Pak? Suaranya lirih, lebih pelan dari yang ia inginkan. Arga mengambil mapnya kembali, tapi gerakannya santai, seolah yakin Hana sudah berada dalam genggamannya. Karena kamu menarik perhatian saya. Alasan itu cukup, kan? Ia berjalan menuju pintu, tubuhnya yang tinggi menonjol di bawah cahaya lampu, lalu menoleh sekilas. Restoran Grand Imperial. Jam delapan. Jangan telat. --- Sepanjang perjalanan pulang, Hana merasa seperti linglung. Tubuhnya bergerak otomatis, tapi pikirannya ke mana-mana. Ia terduduk di apartemennya, menatap bayangannya sendiri di cermin. Matanya yang cokelat, biasanya penuh semangat, kini tampak ragu. Rambut hitam panjangnya tergerai bebas, menambah kesan rapuh namun tetap kuat. Ia teringat masa-masa kuliah dan magang dulu. Dia selalu beda dari yang lain. Bukan karena haus pujian, tapi karena ia percaya hanya dengan kerja keras dan strategi yang jitu, ia bisa membuktikan kualitas diri. Saat magang, ketika teman-temannya minder menghadapi klien besar, Hana justru maju paling depan. Ia membaca bahasa tubuh klien, menyesuaikan presentasi, dan sering menyelamatkan proyek-proyek yang nyaris gagal. Arga pasti memperhatikan semua itu. Hana bukan cuma pintar, tapi juga mandiri, berani, dan punya insting yang bisa menandingi kepintaran Arga sendiri. Dia tahu kapan harus bertahan, kapan harus menyerang, dan tidak mudah ditaklukkan. Inilah yang membuatnya spesial di mata Arga. --- Pukul delapan kurang lima, Hana berdiri di depan restoran mewah dengan lampu kristal yang berkilauan. Jantungnya berdebar kencang, rasanya mau meledak. Seorang pelayan menyambutnya dengan sopan, lalu mengantarnya ke ruangan VIP di lantai atas. Pintu kayu besar itu terbuka, memperlihatkan Arga yang sudah duduk santai, tubuhnya yang tinggi dan atletis memenuhi ruangan. Segelas anggur merah ada di tangannya, tatapan matanya tajam dan sulit dihindari. Saya kira kamu bakal kabur, ucapnya sambil menyeringai tipis. Saya rasa, saya tidak punya pilihan, jawab Hana pelan, namun cukup jelas untuk didengar. Arga tertawa kecil, tawa yang dinginnya lebih menusuk dari pisau. Hana duduk dengan canggung, tubuhnya tegang tapi tetap berusaha anggun. Pelayan datang membawakan hidangan, lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Anggap saja ini makan malam perayaan, kata Arga, menatapnya intens. Kamu sudah bekerja keras, kamu pantas dapat sesuatu yang lebih... istimewa. Hana menelan ludah. Dia merasa terjebak dalam permainan yang tidak ia pahami aturannya. Arga bersandar, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan pelan. Saya bisa membuat kariermu melejit jauh lebih cepat dari yang kamu bayangkan. Atau... Ia berhenti sejenak, tatapannya menajam. Saya bisa membuatmu menghilang begitu saja dari dunia ini. Pilihannya cukup jelas. Hana membeku. Kata-kata itu bukan lagi kiasan, tapi ancaman terang-terangan. Kenapa saya? Suaranya bergetar. Karena kamu berbeda, jawab Arga cepat. Saya sudah memperhatikanmu sejak awal. Cara kamu berpikir, keberanianmu, insting bisnismu... semua itu langka. Dan karena saya bisa, saya ingin kamu ada di sisi saya, baik profesional maupun... yang lainnya. Saya tau kamu tidak akan menyerah begitu saja, dan hal itu sesuatu yang jarang saya temukan pada diri seseorang. Ruangan itu terasa pengap, walau AC menyala. Hana ingin lari, tapi kakinya terasa terpaku di tempat. Yang bisa ia lakukan hanya menatap piring di hadapannya, berusaha menyembunyikan bibirnya yang bergetar. Di luar sana, lampu kota berkelap-kelip indah. Tapi bagi Hana, malam itu hanyalah awal dari sebuah mimpi buruk. ---Hana membanting tutup laptopnya, seolah benda itu adalah bom waktu yang siap meledak. Jantungnya berdegup kencang, mengalahkan gemericik hujan yang mulai membasahi kaca jendela apartemennya. Otaknya seperti benang kusut, dipenuhi pertanyaan tanpa ujung. Siapa pengirim foto itu? Kapan foto itu diambil? Dan yang paling membuatnya merinding: apa maksud di balik semua ini?Ia bangkit dari sofa, mondar-mandir seperti tahanan dalam sel sempit. Tangannya sesekali meremas rambutnya yang panjang, lalu berhenti di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkilauan dalam bayang hujan. Kata Bukti di subjek email itu terus menghantuinya. Kata sederhana itu berubah menjadi teror yang membungkamnya.Hana mencoba menenangkan diri. Mungkin cuma orang iseng, bisiknya, tapi hatinya tak percaya. Kalau cuma iseng, kenapa fotonya begitu pas momennya? Kenapa dikirim malam-malam, saat ia sendirian? Tidak, ini bukan kebetulan belaka. Seseorang sedang mengawasinya.Tangannya gemetar saat meraih ponsel.
Hana terdiam di depan laptopnya, jari-jarinya menari ragu di atas *keyboard*. Pikirannya terbang jauh, terpaku pada ucapan Maya semalam, Dunia kantor itu kejam, Han. Kata-kata itu bagaikan hantu yang terus menghantuinya. Setiap lirikan sinis, setiap bisikan menusuk, terasa seperti duri yang siap menyayat hatinya. Siang itu, rapat besar bersama direktur utama sudah menunggu di depan mata. Semua tim sibuk mempersiapkan bahan presentasi, termasuk Hana. Ia mencoba fokus menyusun data, tapi suara-suara sumbang terus mengganggu pikirannya. Tiba-tiba, Arga melintas di depan mejanya. Gerakannya biasa saja, sama sekali tak mencurigakan. Ia hanya tampak seperti seorang atasan yang sedang memeriksa pekerjaan anak buahnya. Namun, sepersekian detik mata mereka bertemu. Singkat, namun ada sesuatu yang dalam dan sulit diartikan. Hana segera menunduk, jantungnya berdebar kencang, wajahnya terasa panas. Ia takut orang lain menyadari perubahan kecil yang terjadi pada dirinya. *** Rapat diadakan di
Hana terpaku di depan cermin kamar mandi kantor, kedua tangannya mencengkeram pinggiran wastafel keramik yang dingin. Aliran air dari keran yang terbuka hanya menemani kesunyian, tak menarik perhatiannya untuk sekadar membasuh muka. Sorot matanya nanar menatap pantulan dirinya di cermin seorang wanita yang tampak lelah dengan lingkaran hitam menghiasi bawah mata. Senyum yang dipaksakan pagi tadi lenyap, digantikan raut khawatir. Beberapa waktu lalu, telinganya tak sengaja menangkap bisikan dua staf dari divisi lain di koridor. Nama memang tak disebut, tapi nada bicaranya menusuk: Si asisten khusus itu? Pantas saja karirnya melejit. Lalu, tawa kecil menyusul ucapan itu. Hana tak bodoh, ia tahu betul siapa yang menjadi bahan perbincangan mereka. Ia menarik napas dalam-dalam, memutar keran hingga air berhenti mengalir, lalu meraih tisu untuk mengeringkan tangannya. Tenang, Hana. Tetap fokus, bisiknya pada diri sendiri, mencoba tegar meski hatinya bergetar hebat. Saat kembali ke mejany
Hana terdiam di depan cermin kamar mandi kantor, meneliti penampilannya. Wajahnya lesu, lingkaran hitam mulai menghiasi bawah mata, dan bibirnya pecah-pecah. Dengan gerakan cepat, ia memoleskan sedikit bedak di pipi, berupaya menyembunyikan jejak-jejak kelelahan yang kentara. Namun, ia sadar bahwa bukan hanya raganya yang merasakannya. Hatinya jauh lebih remuk. Sejak percakapan terakhir yang menegangkan dengan Arga, Hana merasa seperti seorang pesirkus yang berjalan di atas tali yang licin. Setiap gerakannya terasa diperhatikan, setiap langkahnya berpotensi menjatuhkan. Meskipun Arga sudah berulang kali mengingatkannya untuk menjaga profesionalisme, perasaan yang tumbuh di antara mereka terasa seperti api dalam sekam, sesuatu yang tidak bisa dipadamkan hanya dengan kata-kata hampa. Kalau terus begini, aku yang akan hancur lebih dulu, bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka, dan Maya muncul dengan tas makeup di tangannya. Begitu melihat Ha
Hana sampai di kantor bahkan sebelum mentari menyingsing. Kantung matanya menghitam, kurang tidur gara-gara semalam suntuk pikirannya disesaki tatapan sinis rekan kerja dan pesan singkat dari Arga yang terus terbayang di layar ponselnya. Saat laptopnya menyala, samar-samar terdengar obrolan dari meja sebelah. Eh, tau gak sih? Kemarin, Pak Arga sama Hana kayaknya pulang barengan, deh, bisik salah seorang, disusul cekikikan yang justru terdengar jelas. Iya, jangan-jangan ada apa-apa nih, timpal yang lain dengan nada berbisik, tapi cukup keras agar bisa didengar Hana. Jari-jarinya yang tadi lincah menari di atas keyboard langsung terhenti. Membaku. Dadanya sesak. Dia berusaha menelan semua perasaan itu, mencoba pura-pura tuli. Tak lama, Maya datang membawa secangkir kopi. Nih, buat kamu. Biar gak tegang banget, katanya sambil tersenyum, tapi tatapan matanya menyimpan sesuatu di balik basa-basinya. Makasih, jawab Hana pelan, sambil mencoba tersenyum tipis. Hana menarik napas dalam-d
Hana terpaku di kursinya, mata terpaku pada layar laptop yang dipenuhi lautan angka laporan yang membosankan. Pikirannya melayang jauh, tak benar-benar hadir di sana. Sesekali, matanya mencuri pandang ke jam dinding, menghitung detik demi detik menuju rapat sore yang dijadwalkan bersama Arga. Sisa-sisa percakapan mereka semalam masih membekas kuat di benaknya: singkat, sederhana, namun sulit dilupakan. Ia ingat bagaimana nada suara Arga melembut, sebuah kontras mencolok dari ketegasannya yang biasa. Satu kalimat terus terngiang di kepalanya, Kadang, kita tidak bisa mengatur segalanya, termasuk hati. Hana menarik napas dalam, menutup laptopnya sejenak. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena perasaan yang tumbuh, tapi juga karena rasa khawatir yang menghantui. Belakangan ini, beberapa rekan kerja mulai menyadari frekuensi kunjungannya ke ruangan Arga. Bisik-bisik mulai terdengar, tatapan curiga dilemparkan, bahkan senyum sinis terlukis di wajah mereka. Sore itu, sebelum rapa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments