"Mond, nikah aja yuk mumpung gue lagi mood..." Setelah ditinggal kekasih yang sudah lima tahun bersamanya, Ayara (35) mendadak mengajak Raymond (38)—teman masa kecil yang paling sering ia ejek—untuk menikah. Bukan karena cinta, tapi karena sama-sama patah hati… dan sama-sama lelah dituntut menikah. “Tiga bulan aja ya, kalau gak cocok cerai.” Tapi justru setelah mereka mulai serius membangun rumah tangga, takdir menyentil lebih keras: mereka sama-sama tidak bisa memiliki anak. Alih-alih runtuh, Ayara dan Raymond memilih kabur keliling dunia—meninggalkan ekspektasi, membangun kembali makna hidup dan cinta dari puing-puing. Di tengah pelarian, mereka justru menemukan bahwa kebahagiaan tak harus selalu datang dari rahim. Kadang, cinta sejati lahir dari luka terdalam.
View MoreRestoran hotel itu terlalu terang untuk Ayara yang baru saja menuntaskan rapat panjang dengan penulis yang hobi menunda-nunda naskah.
Ia menutup laptop, menepuk sisa buih cappuccino, lalu menghela napas. Di mejanya, outline plot calon novel “bestseller” itu masih tergeletak, penuh coretan revisi. “Bab tujuhnya bakal pecah,” kata penulisnya tadi. Kalimat yang terdengar persis seperti janji-janji Alex selama tujuh tahun: selalu akan pecah, tapi entah kapan.Ayara berdiri, mengusap rok birunya yang mulai kusut, lalu melangkah keluar menuju lobi. Karpet tebal menyerap bunyi langkahnya, chandelier menebar cahaya seperti serpihan emas di udara. Sejenak, ia merasa hidupnya cukup rapi: pekerjaan selesai, invoice akan dikirim, dan pacarnya berjanji menemuinya malam ini. “Ada kejutan,” kata Alex tadi pagi.
Ke–ju–tan.
Ayara menahan senyum kecil. Alex memang tipe metrosexual yang doyan bikin drama romantis—setidaknya di awal hubungan dulu. Sekarang, kejutan lebih sering berarti bunga diskon atau reservasi restoran yang bayar patungan. Tapi tetap saja, kata itu memantik harap.
Di depan lift, ia menekan tombol turun. Lampu indikator turun perlahan: 21… 20… 19… Ayara mengintip ponsel. Tidak ada pesan baru. Alex biasanya cerewet soal lokasi dan waktu.
Pintu putar lobi berputar lembut. Dari kaca, seseorang masuk—tinggi, kemeja linen krem yang disetrika sempurna, celana chino slim fit, sepatu kulit yang mengilap. Rambutnya ditata rapi, wajahnya wangi lotion aftershave yang ia kenal. Alex.
Hanya saja…
Alex tidak sendirian. Tangannya menggenggam erat tangan seorang perempuan bergaun hitam sederhana, sepatu hak sedang, makeup elegan. Cindy. Ayara mengenalnya. Bukan teman. Bukan rekan kerja. Cindy adalah klien Alex di event beberapa bulan lalu. Alex pernah mengenalkannya ke wanita yang sedang menikmati pinggangnya dirangkul mesra Alex.
Langkah Ayara terhenti.
Alex menoleh sebentar—tidak melihatnya—dan malah tertawa kecil pada Cindy, lalu berkata cukup keras untuk terdengar, “Lo makin cantik aja, Cin.” Cindy menatap Alex dengan tatapan puas milik orang yang tahu persis posisinya spesial.
Tombol lift di depan Ayara berbunyi “ting”. Pintu terbuka. Ia tidak masuk.
Kakinya memilih mengikuti. Tidak buru-buru, tapi cukup dekat untuk melihat ke mana mereka pergi.
Alex dan Cindy menuju lift ujung. Angka di panel menyala: 23. Ayara menunggu sebentar, lalu menekan tombol yang sama di lift lain. Begitu masuk, ia menatap pantulan dirinya di cermin: makeup sempurna, senyum hilang.
Pintu terbuka di 23. Koridor sunyi. Karpet empuk meredam langkahnya. Bau AC bercampur aroma pembersih ruangan yang terlalu manis. Di ujung lorong, Alex dan Cindy berhenti di depan pintu.
Cindy menoleh ke Alex sambil tertawa, lalu Alex menunduk, mencium bibirnya mesra—bukan, bukan ciuman kilat, tapi ciuman yang tahu rasanya pernah dilakukan berkali-kali dengan penuh hasrat.
Ayara merasakan jantungnya berdetak di telinga. Dadanya sesak. Tangannya bergetar.
Cindy tersenyum puas, menyelipkan kunci kartu ke pintu. Klik. Mereka masuk, pintu menutup rapat.
“Klik”
Terdengar suara pintu kamar hotel ditutup.
Ayara berjalan ke arah pintu yang akan ia ingat seumur hidupnya. Pintu yang sudah membukakan matanya. Terdengar sekilas desahan-desahan yang menusuk dadanya. Sepertinya Alex dan Cindy sedang bercumbu di sisi lain pintu.
Dengan tangan gemetar Ayara menyalakan kamera dan memotret bukti kelakuan bejat pacarnya.
Tujuh tahun hubungan. Tujuh tahun ulang tahun, tujuh tahun liburan hemat di puncak, tujuh tahun rencana “nanti kita beli apartemen” yang tak pernah jadi. Alex selalu mengira Ayara hanya gadis keluarga sederhana dari apartemen tipe studio. Dia tidak pernah tahu kalau Ayara sebenarnya anak dari keluarga yang sangat mampu—keluarga yang memilih hidup rendah hati tanpa pamer kekayaan.
Ayara berbalik, menekan tombol lift, dan pergi.
Lobi terasa terlalu terang. Ia melangkah keluar hotel, melewati kafe kecil di sisi lobi. Dan di sanalah Nadia, sahabatnya sejak kuliah, melambai.
“Gue kebetulan abis meeting di tower sebelah,” kata Nadia sambil menarik kursi. “Lo kenapa? Muka lo kaya abis liat setan Ra.”Ayara duduk, memesan air putih. “Mati rasa gue...”
“Alex?” tanya Nadia tanpa basa-basi.Ayara tersenyum miris. “Barusan liat dia masuk kamar hotel sama Cindy. Kliennya.”Nadia terdiam sebentar. “Lo mau gue ikutin dia bawa panci, atau kita pura-pura gak liat?”
“Gue cuma mau duduk di sini sebentar.”Mereka diam. Musik latar kafe memutar lagu cinta lama. Akhirnya Nadia bicara pelan, “Gue harus jujur. Pernikahan gue… gak bahagia.”
Ayara menoleh. “Loh?! Kalian kan pas pacaran so sweet banget!”
“Iya. Gue dulu cinta mati sama suami gue, Ra. Gue pikir nikah itu jawaban. Ternyata… cuma status. Kalau pondasinya gak kuat, cinta aja gak cukup.”Ayara menatap meja. “Jadi nikah itu… bullshit?”
Nadia mengangkat bahu. “Gue gak bilang gitu. Gue cuma bilang… bahagia itu gak otomatis datang karena lo sah di KUA. Lo yang bikin sendiri.”Ayara meneguk air putihnya. Pikirannya berlari pada tujuh tahun yang diinvestasikan pada Alex—dan bagaimana semuanya bisa runtuh hanya karena satu ciuman di depan pintu kamar hotel.
“Gue capek, Di,” katanya pelan. “Capek jadi orang yang ‘cukup baik’ tapi tetep gak cukup buat setia.”
“Lo cukup, Ra,” jawab Nadia. “Alex yang nggak.”Ponsel Ayara bergetar.
Alex: “Yank, kamu di mana? Sorry honey agak telat ya masih meeting.”Ayara mengetik pelan: “Pulang. Nikmatin kejutan lo Lex. Kita putus aja.” dan mengirimkan foto pintu kamar Alex dan Cindy tadi.
Sore itu Reykjavik berbau garam dan roti panggang. Angin dari pelabuhan menggigit telinga, tapi pasar akhir-pekan tetap ramai. Di deret paling ujung, Freya merapikan stand kecilnya: kotak-kotak poskort berilustrasi mercusuar, sketsa paus biru, dan seri “Aurora yang Tersesat”—gradasi hijau yang seolah patah di tengah.“Kalau gue jadi London, beneran nggak ada yang kangen?” gumamnya, menatap pesan pemesanan yang belum ia kirim.Suara tawa lelaki memecah pikirannya.Erik datang dengan coat hitam, scarf dililit asal, senyum yang terdengar seperti ajakan main. Freya mengangkat alis, datar tapi ramah. “Hari ini ‘open space’. Mau beli atau cuma bikin keributan?”Erik tertawa, mengambil satu set kartu pos. “Yang ini kayak kita.”“Kayak lo,” koreksi Freya. “Gue sih enggak.”Bel kafe di belakang mereka berdenting. Ayara masuk dengan syal krem dan tote bag kain. Raymond menyusul, telinganya memerah oleh dingin. Wajah mereka cerah tenang, seperti orang yang rajin mempraktikkan keputusan baru.“St
Bar kecil di tepi pelabuhan itu hampir gelap seluruhnya. Hanya sisa dua lampu gantung kuning pucat yang bergoyang pelan tertiup hembus angin laut yang merembes lewat celah pintu. Rak botol memantulkan kilau samar; kaca-kaca tinggi berkabut tipis, menyisakan garis-garis lembap yang mengalir perlahan. Di luar, Reykjavik tertidur: denting tiang bendera, desir ombak halus menyapu dermaga, dan sesekali bunyi langkah turis yang tersesat malam-malam.Erik tertidur tengkurap di meja bar, pipi menempel pada lengan, rambut pirangnya acak-acakan. Nafasnya berat, menyisakan wangi bercampur antara whiskey, garam laut, dan parfum maskulin yang mahal. Di sampingnya, gelas kosong berderet seperti saksi nakal: terlalu banyak tawa, terlalu sedikit kendali. Lelaki itu tetap tampan bahkan dalam kekalahan kecil begini; sialnya, hal itulah yang membuat banyak hati—termasuk hati Freya—selalu memaafkannya.Freya berdiri beberapa langkah darinya. Mengenakan mantel wol abu-abunya yang bergelayut di bahu; dari
Sore di Reykjavik mulai redup. Cahaya matahari musim dingin hanya tersisa sedikit, membuat langit berwarna oranye pucat. Di sebuah bar kecil dekat pelabuhan, Erik duduk santai di kursi tinggi, satu tangan memutar gelas whiskey, sementara matanya sibuk menatap layar ponsel. Senyum tipisnya muncul sesekali—senyum khas Erik yang entah untuk siapa, tapi selalu berhasil menyalakan rasa penasaran orang di sekitarnya.Freya masuk. Seorang wanita cantik mengenakan kemeja flanel motif kotak-kotak dan jeans keluar dari pantry. Tubuhnya kurus tapi payudaranya yang besar terlihat mencuat menantang diantara 2 kancing yang terbuka. Rambut pirangnya diikat setengah, mantel panjang wolnya menutupi tubuh mungil tapi anggun. Begitu melihat Erik, ia langsung menegang. Ada banyak pria di kota ini, tapi hanya Erik yang bisa membuat jantungnya berdebar tidak karuan.“Hey,” sapa Freya, mencoba tenang, meski senyumannya agak ragu.Erik menoleh, lalu tersenyum lebar seolah benar-benar baru sadar ada dunia sel
Pagi itu Reykjavik diselimuti kabut tipis. Dari jendela apartemen, terlihat burung-burung beterbangan rendah, mencari santapan ikan di danau. Raymond sudah duduk di meja kerja, laptop terbuka dengan tiga jendela zoom meeting sekaligus. Rambutnya agak acak-acakan, matanya fokus penuh.“Gue harus rapat sampai jam makan siang, sayang. Lo mau ngapain hari ini?” tanya Raymond tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Ayara mengikat syal di lehernya, tersenyum kecil. “Gue harus ke pasar. Mau beli bahan makanan. Biar lo gak kerja sambil ngeluh lapar terus.”Raymond mengangkat alis sekilas, lalu tersenyum hangat. “Hati-hati ya honey. Jangan nyasar. Pake google maps.”“Siap, boss.” Ayara mencium cepat pipi Raymond sebelum mengambil tote bag kanvas besar.Pasar Reykjavik bukan seperti pasar di Jakarta yang bising dan penuh teriakan. Di sini, deretan kios kayu berwarna pastel menjual ikan segar, sayur organik, dan roti hangat. Bau laut bercampur dengan aroma kopi hitam dari gerobak kecil di ujung
Pagi itu Ayara terbangun di pelukan Raymond dengan telanjang bulat. Ia tersenyum melihat wajah tampan suaminya yang sangat seksi itu. Ayara berencana untuk menjauhkan diri dari dada bidang dan berorot Raymond. Tapi gerakannya malah justru membangunkan suaminya."Morning sayang..." kata Raymond sambil mengecup bahu dan leher istrinya."Ih geli sayang...""Ra, liat pemandangannya indah banget ya..." Raymond menatap jendela kamar mereka yang langsung dapat melihat bagaimana sinar matahari pagi menerangi hamparan padang rumput yang beberapa bagian tertutupi salju dan danau yang cukup besar di depan mereka dengan tenang. "Gue mau lo bangun tiap hari kaya gini Ra...""Tenang, kita tinggal di sini sebulan sayang...kenyang-kenyangin deh liat pemandangan ini...mau dua bulan juga bisa...apa mau pindah juga bisa...", jawab Ayara tengil.“Ra...” Raymond berbisik. “Ini pertama kalinya setelah semua drama akhir-akhir ini, gue ngerasa... ringan.”Ayara menggeser tubuhnya, kepalanya bersandar di bahu
Raymond tersenyum nakal, lalu menindihnya di atas kasur dengan bulu-bulu lembut yang memberikan sensasi berbeda, siap membuktikan bahwa bahkan di Reykjavik yang dingin, mereka bisa bikin panas dunia mereka sendiri. Kepalanya dengan sekejap sudah diselusupkan di ceruk leher Ayara dan membuat bulu roma Ayara berdiri karena kenikmatan.Ayara tersenyum menikmati setiap sentuhan yang diberikan Raymond. Jemarinya mengelus leher Fajar, seolah menyampaikan pesan bahwa Ayara sangat menginginkannya malam itu."Ahh...Raymond...suami gue...", suara Ayara manja dan mendesah di telinga Fajar yang sedang asik menikmati lehernya. Ia bisa merasakan tangan Raymond sudah mulai bermain ke dadanya."Gue ijin perk*sa lo ya Ra...""Please lakuin Mond...Suami seksi gue...""Lo bakal gue nikmatin malem ini sayang...desah aja sekuat lo karena di bukit dan danau ini cuma ada kita...gak punya tetangga..." desah Raymond."Mau dong digerayangin Raymond Maharadja..." ucap Ayara genit.Raymond saling menatap Ayara i
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments